Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Dalam tulisan saya berjudul “Triple Foults” Kebijakan Pendidikan Nasional, jelas terpampang bahwa pemerintah Indonesia faham tentang jebloknya kompetensi sains, numerasi dan membaca siswa Indonesia yang digadang gadang akan menjemput Bonus Demografi karena jelas terutulis di “baseline” RPJMN Pendidikan Indonesia dan Renstra Kemdikbud dan selama 5 Tahun hingga 2024 tertulis juga target capaian. Ukurannya jelas. Jika target tercapai, Mendikbud dan Presiden sukses.
PISA, RISE-Smeru, INAP/AKSI Kemdikbud dan AusAid Kemenag sudah dengan akurat mengukur kompetensi itu dan hasilnya saling mendukung dan karena pandemi, PISA tidak melakukannya di Tahun 2021 ini, namun karena selain penyakit lama belum “diobati”, kena lagi penyakit baru, pandemi. Sehingga, semua orang waras pasti akan setuju jika “suhu tubuh” diukur maka hasilnya akan memburuk. Namun, apakah kita menjadi panik ? Tidaklah.
Indonesia justru segera akan melakukan uji atau asesmen yang sama persis dengan uji sebelumnya dalam bentuk AKM (Asesmen Kompetensi Minimal). Yang akan dihasilkan nanti adalah hasil seperti pengukuran sebelumnya dan jelas memburuk.
Saya membayangkan. Sikap ini seperti seorang kawan yang hidup di pedalaman Papua dan putranya sedang sakit, namun yang bisa dan sedang dilakukan terus menerus adalah mengetahui keparahan sakit si putra dengan suhu semakin naik dari normal, namun tak melakukan upaya penyembuhan.
Jika kondisi Indonesia seperti kawan itu yang tak berdaya, bolehlah kita maklum, namun ini Indonesia yang memiliki ratusan Guru Besar bidang Pendidikan. Atau, ibaratnya seperti warga tajir Jakarta sedang sakit dan di sekelilingnya dipenuhi ratusan RS dan ribuan dokter hebat, namun tak bergerak dan hanya sibuk mengukuri suhu pasien dan sesekali memberinya parasetamol.
Jika kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia toh akhirnya menyelenggarakan AKM dan menemukan hasilnya, semakin memburuk, so what gitu? Buat saya, jika guru SD/MI sebagai garda depan “penyembuhan” tak segera dibekali cara mengajar yang benar di kelasnya, maka kita sedang dengan sengaja melakukan upaya “Gol Bunuh Diri” dan menjadi “Quadruple Faults” menuju kematian.
“Double Faults” dan Pedagogi Konten (2).
Pemerintah yang diwakili Kemdikbud sudah melakukan “double foults” kesalahan ganda, yaitu fokus hanya ke akses di jenjang SD/MI pada periode sebelum pandemi dan di saat pendemi. Padahal sebelum pandemi kinerja membaca (reading) Indonesia di angka 371 jauh dari rerata OECD 480 an disebut “functionally illiterate” dan akan turun sebanyak sekitar 30 point di masa pandemi (WB 2020) sehingga saya menyebutnya “deepest functionally illiterate”.
Mengapa kesalahan ganda? Karena meski faham bahwa kondisi kinerja murid di jenjang SD/MI buruk, pemerintah tak juga melakukan gebrakan strategis dan berdampak besar seperti ketika Soeharto memutuskan menerbitkan “Inpres SD” guna menaikan angka partisipasi sekolah. Jika enggan menerbitkan regulasi yang akan menghela semua akrivitas, semestinya pemerintah faham bahwa guru kelas jenjang SD/MI wajib dilatih teknik menyampaikan mapel sains, membaca dan matematika dengan benar. Sesuai dengan sifat mapelnya.
Selama ini, yang dilakukan adalah upaya menguatkah pedagogi, menguatkan konten dan membangkitkan spirit menjadi pendidik merdeka. Semua itu tidak salah, namun yang diperlukan guru kelas adalah bagaimana mengajarkan numerasi agar murid faham konsep dan pada akhirnya membentuk nalar, demikian pula sains dan membaca. Inilah yang dalam berbagai literatur saya kutip sebagai Pedagogi Konten.
Melatih Pedagogi Konten bukan urusan mudah. Karena sifat mapel matematika jenjang SD/MI dan mapel Membaca tentu beda, meski otak dan cara kerjanya mirip. Sehingga, cara mengajarkan numerasi (pedagogi numerasi) akan berbeda dengan membaca (pedagogi membaca). Selain mapel IPS, Sejarah, Agama dan Seni Budaya. Karena sulitnya, mungkin, pemerintah mengambil jalan pintas dengan “hanya” melatih guru kelas membuat soal soal HOTS yang diharapkan memicu pembelajaran HOTS dan berakhir pada kenaikan kinerja sains, matematika dan membaca.
Jika diteruskan, inilah “Triple Foults” pemerintah Indonesia di bidang Pendidikan dan rasanya sudah terjadi, maka mohon maaf, saya hanya bisa mengatakan “hopeless” kepada kebijakan dan situasi dunia pendidikan saat ini dan saya sudah tak napsu lagi ngobrol tentang kebijakan “Triple Foults” yang adalah “diskualifikasi” mengikuti Liga Era Tahun 2045, 100 Tahun Indonesia Merdeka yang tanpa Bonus Demografi.