Oleh Bussairi D. Nyak Diwa
Puisi adalah salah satu media di mana penyair bebas melukiskan perasaannya. Melalui puisi penyair mengungkapkan segala pengalaman yang dialaminya, baik pengalaman yang kasat mata maupun pengalaman batin yang hanya dapat dirasakan melalui dawai-dawai batin penyair itu sendiri. Pengalaman dari dunia kehidupan dan dunia batin itu dibumbui sedemikian rupa dengan olesan saripati kata, sehingga melahirkan sebuah hidangan ke hadapan pembaca dalam bentuk rangkaian-rangkaian indah, manis dan penuh pesona.
Setiap pembaca yang mengerti citarasa puisi tidak akan pernah membuang-buang kesempatan tanpa mencicipi hidangan puisi itu. Menikmati sebuah puisi sama maknanya dengan menghayati setiap gerak lahir dan tersembunyi dari kehidupan penyair, pembaca, dan alam sekitarnya. Sebab puisi adalah wakil dari dunia penyair, pembaca, sekaligus alam sekitarnya itu.
Seorang penyair tidak lahir begitu saja, tetapi melalui proses. Bahkan melalui proses yang pelik dan berliku-liku. Oleh karena itu tidak sembarang orang dapat dikatakan penyair. Predikat penyair tidak diberikan serta-merta dengan selembar sertifikat, piagam, atau apalah namanya. Predikat penyair juga tidak ditabalkan lewat upacara yang sakral dan terhormat. Sekali lagi, predikat penyair lahir melalui proses yang sangat panjang. Tentu saja melalui jalan yang berliku-liku dan lama, melahirkan dan membesarkan berpuluh-puluh, beratus- ratus, bahkan beribu-ribu puisi dengan cita rasa yang menggugah pemahaman, penghayatan, dan apresiasi pembaca.
Indonesia umumnya dan Aceh khususnya, dari dulu hingga kini telah melahirkan banyak penyair. Penyair-penyair Aceh telah banyak yang menyandang predikat penyair nasional. Karya-karya mereka telah diakui sebagai karya-karya yang bertaraf nasional, bahkan internasional. Banyak diantara karya-karya penyair Aceh yang dijadikan materi bahan ajar oleh guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia baik di SD, SMP, maupun SMA. Bahkan banyak pula karya penyair Aceh yang menjadi materi pembelajaran dalam buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah seorang penyair Aceh yang sangat kreatif dari dulu hingga kini dalam kancah perpuisian nasional, di Aceh adalah Nurdin F. Joes.
Nurdin F. Joes telah memproklamirkan karya-karyanya sejak tahun 80-an. Mengawali kiprahnya di dunia sastra, Iamempublikasikan puisi-puisinya lewat koran- koran Aceh, Medan, dan Jakarta. Kreativitasnyasebagai penyair kian menggema, saat dia mulai berkiprah menerbitkan dan mengembangkan media-media (baca:surat kabar) kampus Universitas Syiah Kuala di tahun 1986. Di tahun-tahun diatercatat sebagai Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Unsyiah, bendera kepenyairannya kian berkibar. Bersama beberapa karibnya sesama penyair seumpama, C. Harun al Rasyid
(Mohd. Harun, kini Profesor di FKIP Unsyiah), Burce Realy (Bukhari M. Ali, kini Sekretaris Redaksi Serambi Indonesia), Agam Ismayani (alm), B.S. Ende (Bussairi D. Nyak Diwa), dan Soel J. Said Oesie (Sulaiman Juned), Nurdin F. Joes mengembangkan Surat Kabar Kampus Unsyiah Monumen dan Warta Unsyiah. Kreativitas dan kredibilitasnya dalam mengembangkan dunia sastra (baca: kepenyairan) di kampus Unsyiah di masanya tidak dapat disangsikan.
Tidak hanya menulis puisi-puisi untuk konsumsi Surat Kabar, Majalah, dan media massa lainnya, tetapi juga menulis untuk ajang-ajang lomba, baik bertaraf daerah, regional, nasional, maupun internasional. Banyak puisinya yang menjuarai lomba, mulai dari peringkat daerah hingga tingkat internasional. Salah satu karya puisinyayang sangat terkenal adalah “Menangislah untuk Anak-anak Negeri” yang dalam Bahasa Inggris berjudul “Weep for the Children of the Land”. Puisi ini menjuarai Lombo Cipta Puisi yang diselenggarakan Kantor Penerangan PBB (UNIC) Jakarta dalam rangka memperingati kemerdekaan Namibiatahun 1987.
Penyair Kemanusian.
Hingga kini ia masih sangat kreatif menulis puisi. Puisi-puisinya pernah menghiasi halaman budaya Harian Waspada, Mingguan Atjeh Post, Mingguan Peristiwa, Harian Pelita, Majalah Horisan, Harian Lampung Post, Mingguan Swadesi, dan lain-lain. Di Aceh puisi-puisinya kerap menghiasi ruang budaya Harian Serambi Indonesia hingga saat ini.
Nurdin F. Joes memiliki ciri khas tersendiri dalam kepenyairan dan karya-karyanya. Sajak-sajaknyapada umumnya berbicara tentang kemanusian. Ia begitu peka terhadap pranata alam kehidupan di sekitarnya. Dari puisi-puisinya kita dapat merasakan irama dan alunan jiwanya yang begitu perasa, penyayang, dan penuh empati. Rasa kemanusiaannya laksana embun di musim kemarau, menetes dan membasahi daun-daun kering. Dengarlah betapa dia amat peka terhadap nasib anak yatim dalam sajaknya “Adakah Sedikit Waktu Menatap Anak Yatim”. (Serambi Indonesia, 7/2/2010)
Adakah sedikit waktu kita menatap// wajah anak yatim/
Lalu tataplah lekat-lekat bola matanya/ Pada tatapan yang lekat itu/
Adakah kita mendengar bola matanya/ bicara//
Kepekaan Nurdin terhadap nasib anak yatim membuat dirinya sadar betapa harus perlunya kita memperhatikan nasib anak yatim. Akibat dari kesibukan kehidupan sehari-hari kita menjadi lalai bahkan lupa kepada anak yatim. Iamenyadari akan hal itu, lalu menyindir kita (bahkan dirinya sendiri) dengan sangat bijak, dengan sebuah pertanyaan ‘Adakah sedikit waktu kita menatap’ dengan penuh hiba dan kasih sayang ‘wajah anak yatim’ yang kemudian menegaskan lagi bukan hanya sekadar menatap anak yatim sambil lalu. Akan tetapi, ‘Lalu tataplah lekat-lekat bola matanya’ agar kita menemukan bahwa ‘Pada tatapan yang lekat itu’ ada berjuta harapan yang digantungkan pada tangan-tangan kita (pemimpin dan orang-orang berada). Lalu ‘Adakah kita mendengar bola matanya’ itu ‘bicara’ dengan penuh hiba? Atau sudah butakah mata hati kita?
Pada bait berikutnya Nurdin mengunjurkan kepada kita untuk mempraktikkan sikap Nabi yang mulia memperlakukan anak yatim. Bagaimana seharusnya kita bersikap kepada anak yatim seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Simaklah nukilannyaberikut.
………………………………//
Luangkan waktu mengusap rambutnya/
Pada usapan rambut mereka itu/
Adakah kita merasakan detak ubun-ubunnya/ bicara//
Dalam sebuah kisah, pada suatu Hari Raya di zaman Rasulullah di mana anak-anak bergembira ria, Baginda menyaksikan seorang anak yang menyendiri, bersedih, dan berurai air mata. Rasulullah mendekatinya, lalu bertanya mengapa gerangan bersedih. Anak tersebut mengatakan bahwa orang tuanya sudah tiada dan tidak ada tempat mengadu. Lalu Baginda Rasulullah membelai rambutnya, mengusapnya dengan penuh kasih dan sayang, menghiburnya dan memberikannya makanan serta pakaian baru sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak yang lain di hari lebaran. Anak yatim itu menjadi terhibur hatinya dan mempunyai harapan akan masa depan. Hal itulah yang ingin dianjurkan Nurdin kepada kita.
Betapa melaksanakan perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah kewajiban sekaligus ibadah setiap muslim. Jangan pernah alpa ‘luangkan waktu mengusap rambutnya’ agar hati kita terbuka untuk memberikan sedikit kesenangan kepada mereka, sambil merasakan bahwa pada usapan rambut mereka itu mengalir rahmat dan rezeki yang tidak terduga-duga. ‘Adakah kita merasakan detak ubun-ubunnya’ yang sebenarnya mereka tidak mampu untuk ‘bicara’. Ataukah kita sudah tidak mengikuti lagi tuntunan Rasulullah SAW yang telah dianjurkan kepada setiap umatnya? Begitu lugas dan halus Nurdin mengukir kata-kata untuk menyatakan perasaannya, betapa ia ingin kita pamrih dan tegarasa terhadap anak-anak yatim di sekitar kita.
Puisi yang terdiri atas sembilan bait itu ditutup oleh Nurdin dengan wanti-wanti dan rasa pamrih yang cukup dalam. Mungkin karena di masa kecilnya iapernah merasakan bagaimana pengalamannya mengemban predikat sebagai anak yatim? Atau mungkin begitulah iadalam kesehariannya, tak pernah lepas dari perhatian dan memperhatikan nasib anak-anak yatim. Coba simak ungkapan terakhirnyaterhadap anak yatim ini.
Adakah sedikit waktu kita menatap para anak/ yatim/
Lalu sempatkan berbicara dengannya/
Pada kata dan kalimat paling akhir/
Mereka berucap dengan patah-patah/ Menyusun jutaan kalimat dalam derai airmata//
Dapatkah kita bayangkan betapa sedihnya jika kita menjadi anak yatim. Bagaimana perasaan kita jika tidak ada yang memperhatikan, bahkan hanya untuk berbicara sejenak saja. Jika engkau dapat merasakannya ‘Lalu sempatkan berbicara dengannya’, karena jika engkau memperhatikannya dengan sungguh-sungguh ‘Pada kata dan kalimat paling akhir’ yang diucapkannya engkau akan merasakan bahwa ‘Mereka berucap dengan patah-patah’ karena tak mampu lagi ‘Menyusun jutaan kalimat dalam derai airmata’.
Sungguh tragis nasib anak yatim seandainya kita (pemimpin, pejabat, ulama, orang kaya, dan siapa saja) tidak memperhatikan mereka. Bahkan hanya untuk sekadar mendengarkan keluh-kesah dan sedu-sedannya. Betapa tidak berarti apa-apa hidup kita jika tidak pernah tersentuh hati kita terhadap penderitaan mereka. Padahal hidup kita penuh dengan kemewahan. Punya rumah besar dan mobil mewah. Jika sakit dapat dengan mudah berobat sampai ke Penang. Ke haji sudah berkali-kali bahkan puluhan kali. Sementara di sekeliling kita anak yatim mengais-ngais masa depan yang tak pasti. Sementara di sekitar kita anak yatim menahan lapar dengan linangan air mata. Bahkan dengan sedu-sedan yang menyayat seganap sanubari kita. Tidak pernahkah kita mendengarkannya? Oleh karena itu, dengan gaya repetisi yang memesona, Nurdin F. Joes berulang-ulang mengajak kita berkomunikasi dengan anak yatim; dengan penglihatan, dengan perkataan, dan dengan perbuatan nyata.
Penyair dari Kembang Tanjong
Nurdin F. Joes lahir di Kembang Tanjong, Pidie pada 4 Januari 1963. Menjalani masa kecil di Langsa Aceh Timur bersama Ibu dan seorang adiknya. Hidup dalam keprihatinan karena telah yatim sejak usia empat tahun, tidak menyurutkan tekat dan semangatnya untuk meraih cita-cita. Karena bercita-cita ingin menjadi orang yang berguna, setamat SMA, iamelanjutkan pendidikannya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah tahun 1984. Di bangku kuliah debut Nurdin di bidang Sastra mulai mencuat dengan banyak menulis puisi dan essay sastra. Ia juga aktif di teater kampus dan luar kampus, di samping mengelola beberapa media kampus Unsyiah. Usai kuliah tahun 1990, iasempat bekerja beberapa lama sebagai wartawan. Pernah mengasuh Ruang Budaya Mingguan Aceh Post dan Mingguan Peristiwa. Profesi wartawan akhirnya ditinggalkannya menyusul tawaran sebagai karyawan pada Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi di tahun 1997. Di samping menjalani tugas pokok sebagai abdi negara di kantor yang menangani kependudukan itu, iamengasuhMajalah Panca yang diterbitkan atas prakarsa Ir. Iskandar Husen, Kakanwil Transmigrasi kala itu. Di tangannya Majalah Panca menjadi terkenal, menjadi sumber bacaan masyarakat di desa-desa di Aceh, terutama masyarakat di daerah-daerah transmigrasi.
Seiring kepindahan tugas Ir. Iskandar Husen dari Kanwil Trasmigrasi, Nurdin F. Joes ikut angkat sauh. Penyair yang peramah dan akrab dengan semua kalangan ini hijrah keKantor Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau Sekretariat Daerah NAD. Lika-liku dan pasang surut dirasakannya di kantor orang nomor satu di Aceh itu. Iapernah menduduki jabatan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Sekretariat Pemerintah Aceh.
Sebagai seorang muslim yang taat, Nurdin sangat peka terhadap kegiatan yang bernama dakwah. Lewat puisi-puisinya ia senantiasa memberi warna dakwah dalam bait-bait yang menggugah jiwa. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, Ia sangat santun dalam gerak dan tutur kata serta sangat menyanjungi peri kehidupan Islami dalam kehidupannya. Sebagai perwujudan kesempurnaannya sebagai muslim, tahun 2011 ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah al Mukarramah bersama keluarga.
Meskipun tugas dan kewajibannya sehari-hari cukup banyak menyita waktunya, namun ia tetap produktif menulis puisi. Penyair Kemanusian ini senantiasa menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan karib-kerabatnya sesama penyair, meskipun karibnya itu berada di tempat yang jauh sekalipun. Kita senantiasa berharap, langkah-langkahnyayang dekat dengan anak yatim dan kaum duafa dapat diikuti oleh para penyair dan pejabat lainnya. Semoga.
Penulis
Drs. Bussairi D. Nyak Diwakerap menggunakan nama pena Bussairi Ende, atau B.S. Ende; lahir di Bakongan Aceh Selatan pada 10 Juli 1965. Saat ini menjabat Kepala SMP Negeri 4 Kluet Utara, Aceh Selatan. Alumni Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah, 1992. Pernah memimpin Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) sebagai Ketua Umum Periode 1988-1992. Pendiri Majalah Mahasiswa FKIP Unsyiah KALAM, 1990. Bersama Said Fadhil, Agam Ismayani, dan Mohd. Harun mendirikan Majalah Mahasiswa Unsyiah Monomen, 1991. Menulis puisi, cerpen, dan esai sastra di beberapa koran lokal. Bulan November 2009 diundang ke Jakarta sebagai Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek Guru Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Cerpen dengan judul “Bulohseuma” terpilih sebagai 15 Cerpen Terbaik Tingkat Nasional 2009 dan memperoleh Tropi dari Depdiknas. Sementara Kumpulan Puisi dengan judul Ziarah Hati, memperoleh Juara III Tingkat Nasional dalam Lomba Menulis Buku Pengayaan Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas Jakarta. Untuk menerima hadiah diundang ke Jakarta bersamaan dengan peringatan Hari Buku Nasional yang disiarkan langsung oleh TVRI Pusat Jakarta 9 Juni 2010. Penulis juga tercatat sebagai penulis Indonesia dalam Buku Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 7.
Hingga hari ini Penulis telah menghasilkan beberapa buku, diantaranya; Ziarah Hati (Kumpuln Puisi, Pusbuk, 2010), Senyum Terakhir Siti Sara (Kumpuln Cerpen, Fam Publishing 2017), Doa Sajadah (Kumpulan Puisi, Fam Publishing 2019), dan beberapa Buku Kumpulan Puisi Bersama. Sedangkan Buku yang bakal terbit dalam waktu dekat adalah Kumpulan Cerpen Ayah dan Anak (2021).