TELUK MEULABOH
Teluk Meulaboh meringis
Dadanya tersayat di tiku petuah
Matanya merah nyala
Ianya bijeh ampon Meulaboh
– perjuangan indatu dikebiri
Di pusar arusnya
Aku berdiri
: orang orang memupuk dendam
Di teluk Meulaboh itu
Teuku Umar membakar cinta
Padang Seurahet,02 Juni 2021
SAJAK KECIL DIBULDOZER JAMAN
Sajak kecil menitik air
Di ranting basah.Hujan semalam
– sajakku di buldozer jaman
SENJA MERAH JAMBU
Senja merah jambu
Menyemai rindu di batang kering
Lalu ia pahat indah
-di dinding ombak
Meulaboh, 17.04.2021
SKETSA
Ia pun memeras peluh
Di tulang miskinku
Ah negeri mulia
Kurayu angin dalam gigil
Gerimis malam tempias ke muka
April 2021
DI UJUNG SENJA
Terkatup di ujung senja.Saat ombak
Kirimkan badai
Memanggil hamba untuk sujud
Kepadanya
Ah Meulaboh di apit sunyi
Aku
Terkatup di ujung senja
Pasar Aceh,maret 2021
SEUTIA
Sekarat asa disematkan
Di pucuk ombak
Menderu rindu
Ya Rabb
Sampaikan segala hajat ini
Meulaboh, april 2021
DIKALUNGI LUKA
kita pernah berikrar
Di taman itu,untuk merawat wanginya
Meulaboh,2019
JINAK DI DEKAP
Kau menyelam merayu ombak
Waktu ke waktu.lalu
Cinta yang diikrarkan
Maret 2021
AKU
Aku rerumputan kering yang dicabik terik menyengat
Aku akan terus berlari
Tak henti
Meulaboh,06.04.2021
Mustiar, AR dilahirkan dari pasangan suami istri yang bernama Teungku Abdul Rafar Bin Muhammad Amin dan Siti Rohani binti Muhammad Samad. Keduanya telah almarhum pada tanggal 15 April 1967,di sebuah desa pesisir,yakni desa pasir,lebih populer desa ini akrab dalam sebutan Pantai Lhok Aroun. Mustiar memiliki 4 saudara,tiga laki satu perempuan. Seiring waktu , ia dalam asuhan kecintaan keluarga yang taat beragama. Selain itu juga ibu adalah seorang penari tari ratoh, namun bapak tak memberi ijin ibu terlibat lebih jauh lagi,berkutat di dunia seni
• • •
Mustiar lahir dalam kondisi cacat,l yang kalau sekarang dikatakan disabilitas, karena kali sebelah kanan agak melemah. Masa kecilnya selalu dalam gendongan,karena bila ia berjalan, kerap jatuh sendiri. Di usianya 6 tahun, menurut ceritanya Ibu, ia sudah beberapa kali berganti nama.Oneh,Harry Murti, namun yang melekat hanya nama Oneh. Mustiar hobby bicara seperti berpidato dengan berdiri pada tempat yang tinggi, tanpa ada yang menyuruh dan di depan rumah ada bivak tentara dimana mereka ini amat menyayangi Mustiar dan mereka bila malam tiba,terlebih cuaca pun cerah bulan purnama muncul, bapak-bapak tentara ini kerap kali membakar ikan di halaman bivaknya. Jarak antara rumah’ dan bivak tentara ini hanya beberapa langkah saja,terus mereka meminta Mustiar untuk bernyanyi atau apalah itu, hitung hitung buat hiburan bagi mereka, sebagai obat pelipur rasa lelah.’ Ya, karena pada masa itu tak ada yang namanya band atau karaoke.
• • •
Waktu pun berlalu. Dalam usia 9 tahun, ia dimasukkan ke Madrasah ibtidaiyah negeri ( MIN) Kampung Belakang di mana jarak sekolah dan rumah’ tidak begitu jauh.Hari hari pun berjalan seperti biasa.Genap usia untuk menuju jenjang pendidikan ke tingkat pertama. Dalam masa di pendidikan itu, Mustiar mengenal dunia tulisan,di awali dengan mencoret buku pelajaran. Keadaan yang serba kekurangan itu ia terus saja merangkai kata-kata walau cercaan kerap ia terima dengan berbagai julukan,hingga pada suatu hari masih jam istirahat, ia tidak mempergunakan masa jam istirahatnya. Ia mengambil buku dan menulis dengan kata kata mutiara,”lagi ngapain Mus” suara itu itu mengejutkanya. Saat ia menoleh ternyata Pak Ismail Masdar,guru sejarah di MTSN 1 Meulaboh. Beliau ini juga seorang kuli tinta terbitan Sumatera. ” Ng ga Pak,coret coret saja” jawabnya sekenanya.” Coba,sini Pak lihat.Bagus ni,sama Bapak ya”. saya mengangguk.”iya Pak”
Dua Minggu kemudian ia dipanggil ke ruangan guru. Pak Ismail Masdar menyodorkan sebuah koran SKM Taruna Baru ” Coba buka halaman dua,”.tanpa menunggu lama, ia menyibak koran itu. Ada nama Mustiar tertera di kolom hiburan Mustiar Ar,dengan judul puisinya waktu itu ‘kutambat Kapal di Dermagamu, tahun 1987. Kaget,haru larut bercampur dan tak terasa air bening menitik di pipi.”Makasih pak, ujarnya. Iapun pamit. ” Mus honormu besok ya,bapak kasih?” ujar pak Ismail Masdar datar. Dari itulah ia terpicu untuk terus menulis sampai sekarang.
Bertemu Isnu Kembara
Di jalan Diponegoro, ia ingin memangkas rambut. Di sebelah kedai usaha kelontongnya ada tempat pangkas rambut.Bang Isnu,namanya.Beliau orangnya amat familiar,saat Bang Isnu kembara memangkas rambutnya, Beliau bercerita banyak tentang kebudayaan dan sejarah Aceh. Sambil memangkas, Bang Isnu terus bercerita. Apalagi di tempat pangkalnya ada kawan-kawannya seangkatan,di Kuta raja,seperti Hasyim Ks,Maskirbi dan Hasbi Burman yang seprofesi katanya. Hingga suatu pagi,saat kedai lagi sepi dari pembeli, ia merajut kata di helai sobekan kertas rokok. Di antara sela toples rupanya bang isnu mengintip,kerja saya di sepi begini.” Lagi ngapain Mus, nulis apa” tanya Isnu menelisik.”ni coret saja”. Mereka pun akrab.dari pertemuan itu. Mustiar mengetahui bahwa Isnu kembara adalah seorang budayawan mumpuni di kota Meulaboh. “ Neh,puisi ini besok pagi kamu kirim ya ke koran yang ada di Kutaraja sana”. Mustiar bingung, sambil bertanyabmaksudnya? Mustiar membatin hati.” Iyo bang” katanya.
Nah, puisi pertamanya pun termuat di harian Serambi Indonesia,yang berjudul Isyarat Laut’ itu terjadi tahun 1991 yang redaktur budayanya Hasyim Ks ( almarhum) dan puisi Isyarat Laut’. Saat itulah ia menjadi kenal dengan sang paus Sastra Aceh itu,Hasyim Ks dan Beliau mengultimatum Mustiar ,”teruslah menulis dan kamu jadikan kota Meulaboh sebagai kota puisi” Mustiar mengangguk.
Sebelum ada media harian Serambi Indonesia karya puisi Mustiar terbit di SKM Atjeh Post,majalah Santunan, terbitan Kanwik Depag Aceh,majalah Kiprah, majalah Dharma Wanita terbitan Medan dan majalah Nova lain sebagainya.Selain itu karya puisi Mustiar ada di berbagai antologi puisi bersama sastrawan baik itu di Aceh mau pun yang di tingkat nasional dan internasional, seperti pada kumpulan puisi Bebas melata edisi Singapura 2018 dan ada juga di antologi puisi Seulawah, Sekilas pintas,Nuansa dari Pantai barat, Putroe Phang , Ziarah ombak,Eklopedi Aceh Adat Hikayat dan Sastra 2008.Antologi sastra Bulir Mutiara Pantai Barat,edisi DKAB Juni 2014, Antologi Sastra Deru Pesisir Pantai Barat, edisi Disparbuparpora Aceh Barat 2015, Ensiklopedi Penulis FAM’ Indonesia April 2015 Jawa Timur, Eklopedgila koruptor, puisi menolak korupsi, edisi forum Sastra Surakarta Mei 2015, Memo untuk wakil rakyat edisi forum Sastra Surakarta, November 2015, Memo Anti Teroris edisi forum Sastra Surakarta 2016, Antologi puisi Ibu dalam balutan rindu edisi FAM’ Puslishing Maret 2016,11 tahun rehab dan rekon ( 2004_2015) Gempa & Ie Beuna Aceh Barat, Antologi Jejak Jati Diri dan 2016 Antologi puisi Pasie karam,Temu Penyair Nusantara 1 pada pekan kebudayaan Aceh Barat 2016.
Kala Gempa tsunami 26 Desember 2004 yang mencabik-cabik dataran Aceh Nias dan sekitarnya sempat dianggap hilang di dalam tragedi kemanusiaan itu.
Selain menulis Mustiar juga berkutat di dunia teater. Sekitar tahun 1993 ikut serta di eventnya budaya’ Aceh yang bertajuk ‘ Semalam di Bumi TEUKU UMAR,yakni : Adat Perkawinan Aceh Barat dan drama dua babak Tewasnya TEUKU UMAR dan perjuangan Tjut nyak Dhien’ di gedung graha bakti Yudha Kejagung Jakarta. Puisi adalah darah yang mengalir dalam jiwa Mustiar dan hidupnya