Oleh Tabrani Yunis
Empang atau karung berwarna putih, dengan tulisan atau label “ Batu Putih”
Lembah Sabil, Abdya. Karung berisi batu-batu kecil berwarna putih yang digunakan untuk taman dan di kuburan itu kini banyak ditemukan dijual di luar wilayah kecamatan Manggeng dan kecamatan Lembah Sabil. Kita banyak menemukan empang batu putih, Krueng Baru, Lembah Sabil itu di taman-taman bunga di kota Banda Aceh dan bahkan kini ada di POTRET Gallery di jalan Prof Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh.
Batu-batu putih yang dimasukan di karung atau empang putih itu, seingat penulis dulunya setiap hari diambil dan diangkut oleh truk-truk untuk material bangunan rumah, sekolah dan lainnya serta untuk pembangunan jalan. Bedanya tidak dipiih, tetapi dikeruk dan dimasukan ke truk dalam bentuk batu campuran. Bahkan ada juga hanya pasir atau batu-batu besar. Semuanya merupakan karunia Allah yang sangat banyak dan khas untuk masyarakat di kawasan Manggeng, Labuhan Haji dan kini di kawasan kecamatan Lembah Sabil.
Maka, ketika membaca tulisan “ Lembah Sabil” di empang atau karung putih berisi batu putih itu, membawa pikiran dan ingatan penulis pada masa kecil, masa-masa masih di kampung halaman, desa Kedai Manggeng, kala itu masih dalam wilayah administrasi Aceh Selatan. Kini, sudah pecah dan masuk ke wilayah Aceh Barat Daya. Ada banyak hal yang menjadi kenangan.
Lembah Sabil, punya masa jaya, masa keemasan, karena bukit yang luas terbentang itu di tahun 1970 an hingga 1980 an pernah menjadi lumbung cengkeh yang menyejetarakan masyarakat yang memiliki kebun cengkeh dan juga masyarakat yang tak punya. Tak heran bila saat itu, banyak petani kaya dan juga toke cengkeh yang kaya ( menurut standar) masa itu. Orang-orang miskin seperti penulis kala itu juga bisa menikmati hasil cengkeh, walau dengan cara memilih cengkeh yang jatuh di bawah pohon dan dengan cara ambil upah memetik cengkeh.
Nah, mengenang Lembah Sabil, kiranya masih segar dalam ingatan penulisnakan indahnya bunga cengkeh yang memenuhi dahan -dahan yang lebat, juga semerbak harum bau cengkeh yang dijemur di depan-depan rumah dan toko-toko penduduk di sekitar Lembah Sabil. Bukan hanya itu, kenangan tak terlupakan tentang Lembah Sabil atau juga sering disebut dengan gunung Sabil, ketika di masa kecil, kala masih duduk belajar di bangku sekolah SD dan SMP Kala penulis pernah tinggal menumpang di sebuah gubuk kecil, ukuran 3 x 5 meter yang berlantai tanah dan tempatnya tidur berlantai bambu. Pondok atau gubuk kecil milik abang Ibunda, di kebun cengkeh Lembah Sabil, menjadi tempat tinggal sambil berkebun menanam ubi atau singkong dan mentimun.
Apa yang terasa sangat menarik kala musim cengkeh berbunga? Kala setiap kali panen cengkeh tiba? Penulis ingat sekali di setiap pagi ketika matahari belum terbit, sudah bergegas memilih bunga cengkeh yang jatuh ke tanah pada malam harinya. Memilih cengkeh yang jatuh di kebun orang-orang. Yang penting tidak memetik yang di dahan. Kala itu pula, untuk mendapatkan uang, penulis mengambil upah memetik cengkeh sepulang sekolah. Lumayan jauh perjalanan ke sekolah. Lebih dari 4 km berjalan kaki turun ke pasar Manggeng saat itu. Jarak itu harus ditempuh agar bisa bersekolah.
Bagi penulis, Lembah Sabil dua kata yang menjadi nama sebuah tempat atau kawasan bukit di Kabupaten Aceh Barat Daya itu adalah kenangan yang tak terlupakan, walau penulis sendiri sudah diberikan kesempatan oleh Allah mengarurungi perjalanan ke beberapa negara, seperti Australia, Asia, Eropa dan Amerika, namun kenangan masa kecil di Lembah Sabil merupakan kenangan yang selalu ada di dalam ingatan.
Terlepas apakah Lembah Sabil kini masih dalam wilayah kecamatan Manggeng atau Lembah Sabil, Lembah itu telah ikut andil membangun cita-cita atau tekat penulis untuk hijrah mengubah nasib. Terbentang cita-cita untuk mengubah hidup dan berdoa kepada Allah agar bisa hidup lebih baik dari kehidupan orang tua yang sangat miskin.
Sudah 42 tahun penulis meninggalkan kampung halaman, Manggeng dan juga meninggalkan Lembah Sabil, tentu kondisi lembah ini tidak sama seperti dahulu. Mengapa demikian? Tentu saja seiring dengan perubahan waktu dan generasi, Lembah Sabil tidak lagi dikenal sebagai lumbung cengkeh, karena kejayaan cengkeh telah runtuh akibat dari turunnya harga cengkeh yang kala itu dipengaruhi oleh aksi pasar yang kita kenal dengan “monopoli” di era Soeharto. Runtuhnya kejayaan cengkeh di Lembah Sabil Manggeng saat itu, meruapakan momentum menurunnya tingkat kemakmuran petani cengkeh. Maka, tidak heran bila secara perlahan, lembah sabil yang menjadi lumbung cengkeh banyak ditinggalkan dan petani berlahi ke tanaman lain. Bahkan ketika booming sawit, mereka ramai-ramai menanam sawit yang sesungguhnya tanaman itu adalah tanaman yang tidak merdeka, karena hasil panen sawit tidak bisa dijual seperti kita menjual cengkeh, bisa dimana saja.
Bagi penulis, sekali lagi bahwa Lembah Sabil dahulu, bukan lagi yang dahulu. Lembah Sabil ikut berubah mengikuti perubahan zaman dan perilaku masyarakat pemiliknya.
Apalagi setelah terbentuknya kecamatan Lembah Sabil yang merupakan pemekaran dari kecamatan Manggeng tersebut, maka orang-orang sudah terbiasa menyebutkan kata lembah sabil sebagai wilayah kecamatan, bukan lagi wilayah kejayaan cengkeh di Manggeng.
Ya, Lembah sabil adalah hal yang begitu mengena untuk dikenang, terutama bagi penulis sendiri. Maka, ketika berulang kali menyebut Lembah Sabil, ada kenangan yang tak pernah hilang dan bersemayam di alam pikiran. Mengapa demikian?
Lembah Sabil adalah bagian dari masa kecil. Ya, ketika penulis masih bersekolah di SMP Negeri Manggeng,Aceh Selatan kala itu, belum menjadi bagian dari Abdya. Tahun 1970 an, lembah sabil menjadi bagian dari perjalan hidup penulis. Betapa tidak? Ya, Lembah sabil adalah lembah yang kaya dan menghidupkan banyak orang yang berdomisili di kecamatan Manggeng kala itu. Bukan hanya menghidupkan masyaakat dengan berbagai sumber pangan, tetapi lembah sabil lama berjaya. Sayangnya, penulis sudah lama tidak menginjakan kaki di Lembah itu. Tulisan ini menjadi tulisan kenangan masa kecil