Oleh Ahmad Rizali
Berdimisili di Depok
Seingatku sejak lahir hingga umur menjelang SR, aku termasuk pemberani. Pernah mewakili TK IWKA Gadang Malang , lomba menyanyi di RRI Malang (Sekarang Hotel yg bagus) dan lomba lomba di Balaikota Malang. Sewaktu SR kelas 1 juga sudah pernah membolos dan mencuri mangga dan salak dagangan di pasar kecil di depan SR IWKA Comboran, Malang.
Namun, saat pindah ke SDN 3 Mawar Kencana, Banjarbaru Kalsel, aku kok menjadi penakut dan nampaknya perasaan takut kepada hantu, anak anak yang membuli dan seterusnya, kuendapkan dengan membaca apa saja. Pernahkah mengalami kesan khusus dalam belajar membaca ? Tidak pernah, biasa saja. Bahkan membaca huruf hijaiyahpun belajar sendiri dan merangkai sendiri, akhirnya diperbaiki tajwidnya oleh almarhumah mamak yang fasih.
Dari menghilangkan rasa takut jika malam hari dengan membaca, keterusan dengan menyukainya dan menyandu. Dengan cepat ribuan judul buku dari cergam hingga buku sastra absurd dan esai rumit kulahap. Mengerti semuakah? Tidak juga. Buku karya Jalaludin Rumi dan Moh. Iqbal baru saat lulus mahasiswa aku fahami. Si Bongkok Dari Notredam juga baru faham saat mahasiswa. Namun Papillon dan The Gun of Navarone sejak STM sudah menjadi favoritku.
Yang selalu menyenangkan adalah membaca Cersil. Pengarang Indonesia, khususnya SH. Mintarja, S Djatilaksana dan Kho Ping Ho, atau Chin Yung dan Gan KL, sama saja dilahap tuntas pula. Kami membaca cersil itu bisa jilid berapa saja dan kami rangkai sendiri menjadi utuh. Serial Sia Tiauw Eng Hiong Kwee Ceng hingga Thio Boe Kie dibaca berulang kali, sama dengan serial Api di Bukit Menoreh dan Naga Sasra dan Sabuk Inten.
Jika di daerah, hanya membaca produk cergam TB. Maranatha Jln. Ciateul Bandung dan Cersilgam dari Si Buta, Panji Tengkorak hingga Pendekar Sungai Ular dan sejenisnya, saat mahasiswa di Jakarta, kenal dengan komik terjemahan Eropa. Koboi Lucky Luke, penerbang Tanguy dan Leverdure, Tintin dkk, Asterik hingga Paman Donal. Di sini pula kenal dengan buku sastra terjemahan yang lebih berat. Mulai mengenal buku teks petualangan karya tokoh pendaki gunung dan OR ektrim lain seperti Rheinhold Messner, Chris Bonnington dan lain-laim,dan mulai suka karya-karya Milan Kundera. Karya imigran China “Black Swan” juga menggugah.
Jadi, membaca untuk kenikmatan memang akan terus dilakukan seperti makan Tongseng pak Djono di Benhil. Bukankah doing sex juga kita lakukan “for pleasure” dan dilakukan terus. Pleasure yang bisa dilakukan hingga ketika manusia hanya bisa tiduran saja, hanyalah membaca dan mendengarkan musik atau readingbook.
Namun, sekali lagi, ada disclaimer. Membaca yang terlihat sederhana itu juga mirip olahraga. Jika otak tak terlatih, maka intensitas dan frekuensi tinggi saat membaca akan melelahkan otak, puyenglah. Sehingga, tak sedikit manusia yang mengatakan “pusing kebanyakan membaca”. Padahal buat suheng Satria Dharma itu baru “peregangan otak”. Mirip, pegel kaki kejauhan berjalan, padahal 1 Km juga belum.
Mari kita nikmati adanya Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dengan mengajak kawan guru menikmati asiknya membaca.