Oleh: Drs. Hasbi Yusuf
Pemerhati Pendidikan, Pensiunan Guru
Pada saat Aceh telah berstatus menggunakan nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, telah pernah disusun Kurikulum Pendidikan yang diberi nama “Kurikulum Pendidikan NAD”. Kurikum Pendidikan NAD disusun oleh sebuah tim Pengembang Kurikulum yang dibentuk dengan SK Kepala Dinas Pendidikan NAD atas arahan gubernur NAD saat itu. Tim Pengembang Kurikulum ini terdiri dari beberapa ahli pendidikan, ada yang berasal dari perguruan tinggi dengan gelar profesor dan praktisi pendidikan serta para instruktur di bidang pendidikan kala itu, serta beberapa kepala sekolah berprestasi yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, terutama yang berdomisili di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar. Penulis sendiri saat itu sebagai instruktur Fisika ditugaskan bertanggung jawab untuk pelajaran Fisika seluruh jenjang pendidikan (MI, MTs dan MA). Melalui kajian konperehensif dan pembahasan yang lumayan lama, akhirnya disepakati bahwa di Aceh tidak ada nama sekolah (SD, SMP dan SMA), yang ada hanya Madrasah (MI, MTs dan MA).
Semua materi dari semua pelajaran pada semua jenjang madrasah (MI, MTs dan MA) telah diupayakan pengintegrasian dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits yang terkait dan relevan yang diseleksi oleh anggota tim dan diseminarkan secara berlapis-berulang secara intensif serta konperehensif dihadapan para pakar terutama dari perguruan tinggi yang relevan dan instansi terkait. Melalui upaya pengintegrasian itu diharapkan siswa mampu berfikir, berkreasi dan bersikap secara holistik serta memiliki kemampuan “Iptek & Imtaq” yang seimbang untuk menghadapi tantangan dan peluang serta issue globalisasi yang kala itu sedang bergema dan bergaung ke seluruh dunia.
Secara garis besar ada beberapa keputusan tim yang strategis kala itu, yang masih mampu kami ingat, diantaranya adalah bahwa, pertama: di Nanggroe Aceh Darussalam semua sekolah (SD, SMP dan SMA) harus diubah menjadi Madrasah (MI, MTs dan MA). Ke-dua: ke dalam materi seluruh mata pelajaran madrasah harus diintegrasikan ayat-ayat Al Quran dan Hadits yang relevan dengan konsep dan materi pelajaran, dan materi muatan lokal yang relevan disisipkan ke dalam Kompensi Dasar (KD) Kurikulum Nasinal. Sebagai contoh misalnya ke dalam KD Pengukuran dan Satuan dalam Fisika dapat dimasukkan ukuran dan satuan volum yang ada dalam masyarakat Aceh, seperti: Kuyan, Gunca, Naleh, Gantang, Arè, Cupak, Kai, Ndie, dst. Di samping itu ada ukuran massa dalam perdagangan emas seperti: Bungkai Mayam, Paôn Rupia (15 mayam emas), Paôn Ringgét (20 mayam emas), dst. Begitu juga di dalam mata pelajaran lain tentu juga ada kearifan lokal yang dapat di masukkan ke dalam materi dasar sesuai KD yang ada di Kurikulum Nasional. Yang perlu diperhatikan adalah kita tidak mengurangi KD Kurikulum Nasional kita, yang ada hanya menambah dengan materi yang relevan dengan KD yang ada dalam Kurikulum Nasional. Ke-tiga: jadwal belajar sekolah (Pagi) mulai pukul 7.30 – menjelang Adzan Dzuhur). Sedangkan jadwal petang, mulai pukul 14.00 – menjelang Adzan Ashar), kecuali hari Jum’at disesuaikan dengan jadwal ibadah shalat Jumat. Ke-empat: pelajaran Bahasa Aceh dan bahasa Arab lebih diintensifkan, dan merupakan mata pelajaran wajib dalam kurikulum muatan lokal. Pengajaran bahasa Aceh menggunakan huruf Latin dengan menerapkan “tanda diakritik” secara mrmadai dan huruf Arab Melayu (huruf Jawi), yaitu huruf Arab yang telah diperkaya dengan lima huruf Arab yang dimodifikasi, yaitu:
ݢ – ڠ – ڽ – چ – ڤ
Selain yang berhasil disusun dan disepakati, ada juga satu usul saran yang mengemuka secara sangat deras sejak awal dari para pakar pendidikan dari kalangan senior waktu itu, yakni setiap sekolah di Nanggroe Aceh Darussalam, tidak boleh ada penjurusan lagi di setiap jenjang pendidikan dengan berbagai alasan yang cukup kuat dan sulit serta riskan untuk dibantah saat itu. Namun team dari kalangan mewakili praktisi dan pelaku langsung pendidikan serta dari dinas pendidikan sendiri juga mencari dan mengumpulkan berbagai alasan strategis dengan sangat hati-hati menyampaikan argumen yang dapat menunjukkan berbagai kelemahan dan kesulitan serta kerugian yang akan kita hadapi bersama (baik peserta didik, pendidik, penyelenggara dan praktisi pendidikan lainnya) jika kita tidak lagi melakukan penjurusan bagi peserta didik, terutama bagi lulusan MA.
Alhamdulillah usaha tersebut dari kalangan yang rata-rata berusia masih muda dan masih kurang bekal dalam ilmu pendidikan kala itu melalui jalan sangat panjang dan penuh kesabaran akhirnya secara perlahan, namun berhasil dan mampu membendung rencana para pakar dengan argumen yang juga menarik dan unik serta punya alasan logis untuk meniadakan penjurusan di sekolah.
Akhirnya usaha keras dan tulus dari kalangan praktisi dan dinas terkait melalui jalan panjang dan sangat menantang serta jalan terjal berhasil melunakkan para pakar pendidikan kita yang rata-rata menurut penjelasan masing-masing beliau telah mengalami dan menjadi saksi hidup sebagai korban keganasan penjurusan oleh para guru yang kurang pengalaman dan kurang cermat dalam melakukan penjurusan terhadap para siswanya.
Siswa yang mengalami penjurusan sewenang-wenang atau keliru penjurusan oleh gurunya akan menghadapi berbagai kendala dan penyesalan serta beban psikologis sepanjang karier dalam hidupnya. Oleh sebab itu penjurusan di sekolah harus dilakukan secara ekstra hati-hati dengan melibatkan lebih banyak pihak dan stakeholder pendidikan, terutama para ahli terutama dari pihak psikolog dan siswa itu sendiri, serta orang tuanya.
Pada akhir tulisan ini ada 3 pertanyaan yang selalu menggelitik kami dan sebagian besar kawan-kawan tim yang terlibat langsung dalam kegiatan penyusunannya, yaitu Pertama: Kemanakah draf kurikulum yang pernah kami susun dan diskusikan melalui jalan panjang dan berliku kini berada, dan yang ke-dua: Apa yang menyebabkan tidak jadi diberlakukan Kurikulum NAD yang telah selesai disusun, yang telah menguras dana pendidikan (walaupun tidak terlalu besar), dan malah sudah selesai dilaksanakan RDP beberapa kali tersebut?
Ke-tiga: Tidak adakah nyali dan keberanian pejabat pendidikan sekarang untuk mengisi ruang-ruang yang masih dapat dimanfaatkan untuk menyusun program dalam rangka menangkap kembali peluang yang pernah diberikan kepada NAD yaitu peluang untuk memanfaatkan Keistimewaan di bidang Pendidikan yang pernah diberikan kepada Aceh selesai perjanjian Lamteh dan selesai penandatanganan MOU Helsinki ?
Ataukah menjadi pejabat sekarang hanya cukup menjalankan agenda normatif bersifat rutinitas adat belaka, dengan hanya mengandalkan WTP (Wajar Tanpa Prestasi) ? yang identik dengan pelaksaan “Adat Töt Apam” dan “Adat Pajôh Apam” yang dilaksanakan sebagian besar masyarakat Aceh sangat disiplin dan rutin pada setiap “Buleuen Apam” setiap tahunnya ?
Wallahu’a’lam bish-shawab !