Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Tahun ini ramadan sama sepinya dengan tahun kemarin, tak cukup beriman untuk berani i’tikaf di masjid Istiqlal sembari ikut salat malam dengan mutu suara Imam setara Syech Sudais di Makkah. Berbuka dengan ratusan jamaah di lantai dasar masjid juga mengasyikan. Istiqlal di kala Ramadan, bak masjid antar bangsa, kulit sawo matang, kuning, putih, dan hitam kelam terlihat di sana. Sahur di warung tenda di halaman masjid juga mendekatkan hati kita dengan jelata.
Ramadan Tahun ini seakan mengulang sejarah alm. Abah yang memulai lagi “back to basic” di usia early 60th kembali memulai pekerjaan baru di Jeddah dan saya memulai pekerjaan mengurusi sekolah yang mikro sesudah melanglang ke pekerjaan makro. Seperti sebuah tugas khusus dan mengingatkanku “apalah artinya makro, tanpa faham esensi mikro” dan mengingatkan “the devil is in the detail”.
Sepinya tahun ini meski lebih sibuk dari tahun lalu membuatku diberiNya kesempatan menuntaskan resital kitab suci sebelum usai bulan, entah mengapa lidahku terasa semakin lancar dalam membaca. Padahal ya cuma setahun sekali. Tahun ini juga tak pernah telat dibangunkan sejam sebelum saat subuh dan lumayan hening untuk kontemplasi.
Ramadan Tahun ini juga beruntung dibayari ziarah ke Ponpes Tebu Ireng, Tambak Beras dan Denanyar Jombang, menemani bu Nyai Lily Wahid Full, Gus PU dan Guk HB Heru Arifin. Menginap di kasepuhan di kamar tempat khalwat Mbah KH. Hasyim Asyarie dan diskusi gayeng dengan Gus Kikin pengasuh pondok dan tentu makan sahur dan berbukan penganan yang sederhana namun lezat.Tak lama kemudian, di Jakarta, bukber dengan menu “bintang sembilan” ala Waka MPR mas Arsul Sani di Kompleks Perumahan Pejabat Tinggi yang tak beliau tempati.
Ramadan ini pula ikut memfasilitasi berbagai miskomunikasi di antara manusia dengan persepsi masing masing. Dan, menyaksikan beberapa kematian tokoh, sekaratnya KPK, dipercayanya kembali Nadiem dan Bahlil menjadi Menteri oleh Jokowi dan ditangkapnya Bupati terpuji hebat oleh KPK serta terpelesetnya Presiden membaca narasi tentang makanan yang sensitif di kala Ramadan, karena salah tulis. Bulan Ramadan yang agak muram dan lebih banyak kabar buruk dari pada kabar baik.
Ketika menulis tulisan ini, pemerintah yang tak ingin pandemi membesar lagi melarang rakyatnya mudik dan rakyat dengan semangat kucing – kucingan dengan aparat memaksa tetap mudik. Rakyat dan wakilnya bertanya “WNA diperbolehkan masuk negeri, mengapa kami dilarang pulkam ? Mal dan tempat Wisata Lokal akan dibuka, mengapa yang mudik saja disebut akan menimbulkan ledakan pandemi? macam macam.
Saya sendiri, hanya Jumaat pergi ke masjid dan masih berfikir apakah akan salat Ied di luar atau ngopi saja di rumah sembari takbiran dan menyimak khutbah melalui radio. Praktek beragama memang penuh emosi dan karena di situ ada dogma, maka nalar sehat sering terpaksa minggir dan menjadi marjinal seperti pedagang ATK di depan sekolah yang sudah mempraktikan BOS daring dan Ojek pangkalan yang dilibas Ojol.
Semoga 1 Syawal lusa, menjadi awal hari hari yg lebih baik dan semakin baik.
Ramadan ke 29