Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Semua warga negara yang terdidik baik akan faham beda reformasi dengan deformasi. Reformasi adalah membentuk ulang formasi yang ada sedangkan deformasi adalah menghancurkan formasi. Dalam ilmu metalurgi ada istilah deformasi plastis yang arti sederhananya seperti plastik yang mulur tak kembali ke bentuk semula atau baja per mobil yang ditempa menjadi golok.
Beberapa periode Presiden sesudah era reformasi, dibentuklah Kementrian Reformasi Birokrasi (RB) yang ditempelkan ke Kementrian Penertiban Aparatur Negara (PAN), sehingga munculah Kementrian PAN/RB. Banyak kebijakan baru yang ditelurkan oleh kebijakan ini yang salah satunya kesempatan masuknya pihak non ASN/PNS menempati posisi setara eselon-1 (Kepala Badan, Dirjen dan Deputi).
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah salah satu Kementrian yang paling dinamis. Mungkin agar Kebudayaan fokus dan punya nilai jual, maka Kebudayaan dilepas dari Depdikbud menjadi Depdiknas. Kemudian Depdiknas menjadi Kemdiknas dan segera dalam periode berikutnya Kebudayaan “pulang kampung”, jadi lah Kemdikbud. Periode Presiden berikut diubah lagi dengan melepas Ditjen Dikti ke Kementrian Riset dan Teknologi. Jadilah Kemdikbud hanya mengurusi Dikdas dan Kebudayaan. Periode berikutnya, diubah lagi menjadi Kemdikbud “asli” dengan Dikti masuk kembali dan di tengah jalan, diserahi lagi mengurusi Riset dan Teknologi.
Melihat rekam jejak dinamika Kementrian strategis ini, bagi pakar manajemen akan langsung faham bahwa sungguh rumit melakukan konsolidasi budaya masing – masing pihak yang bergabung agar cara berfikir “Silo” bisa diubah menjadi “whole team”. Namun, meski budaya “ruh” masing – masing beda, ada satu budaya yang sama, Budaya Birokrasi yang seragam karena mereka digerakan dengan Sistim dan Prosedur (Sisdur) Administrasi Birokrasi termasuk Sistim Administrasi Keuangannya yang seragam dan ketat.
Ketika memilih pembantunya, Presiden pasti menimbang kompetensi Leadership mereka dan jelas di kepala Presiden, selain membantunya menjalankan janji kampanye yang diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pembantu Presiden wajib mereformasi Birokrasi ASN yang tersedia. Jika perlu memecat jabatan, merotasi, mengangkat dan melatih birokrasi yang tersedia.
Pembantu Presiden yang ingin cepat menyelesaikan PR target RPJMN akan enggan melakukan konsolidasi dan akan membawa sendiri gerbong full termasuk konsultannya dan mengabaikan “pasukan lama” . Lebih gawat lagi jika sejak awal sudah menganggap “pasukan lama” tak berguna sama sekali dan dianggap bejat, maka mereka akan “lontang lantung” dan lemah semangat dan pelan, tetapi pasti akan hancur. Padahal, bukankah tugas Pembantu Presiden adalah mengaktifkan kembali “pasukan lama” ini dengan melakukan “Reform” bukan bersikap mengabaikan dan melakukan “Deform”?
Jika mengamati “produk kebijakan” yang diterbitkan oleh Kemdikbud selama hampir 18 Bulan sejak dilantik Oktober 2019, maka dugaan saya Mendikbud melakukan proses yang secara (mungkin) sadar menuju “Deformasi” Birokrasi, karena terlihat sekali kebijakan yang ditelurkan nyaris selalu gaduh karena paradoks dan akhirnya diklarifikasi. Sampai seorang pengamat Pendidikan memanjangkan akronim Kementrian P & K atau Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Kementrian Paradoks dan Klarifikasi.
Jika Mendikbud masih menjalankan gaya Leadership ke internal ASN di Kemdikbud masih seperti itu, saya ngeri membayangkan hasil kebijakan yang akan berdampak langsung ke murid Indonesia. Belum lagi target RPJMN Dikdas, Dikti, Ristek dan Kebudayaan di tahun 2024, akankah bisa diraih? Maaf pak Presiden, janji Visi/Misi saat kampanye itu capaiannya ada di Renstra keempat sektor itu. Jika capaian akan jauh sekali, bahkan lebih rendah dari “baseline”, maka kecemasan bonus demografi akan berubah menjadi bencana demografi, bisa benar benar terjadi.