Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Mungkin karena terbawa kebiasaan masa bocah dan remaja yang dengan cara membaca apa saja saat bulan puasa, maka untuk sebagian manusia mampu menjadikan membaca sebagai pengurang rasa lapar, cemas, resah, gundah gulana, kesepian dan lain sebagainya.
Bagaimana tidak? Jika saat bulan puasa yang disiapkan adalah berjilid jilid buku cersil, novel apapun (kadangkala ada yang tak sengaja sedikit porno, karena kuatir mengurangi nilai puasa, disingkirkan), bahkan yang cerita bergambar (cergam) silat, hero dan petualangan.
Jelas membaca kitab suci di masa itu bukanlah pilihan utama, hanya karena akan ada “pemeriksaan” jumlah lembar atau juz, maka mandatori dilaksanakan. Membaca kitab suci juga menjadi “prasyarat utama” sebelum membaca “kitab” sembarang kalir itu dan ketika sudah ada setoran bacaan kitab langit, maka kesenangan kitab bumi tak terusik.
Jika masa lalu, hanya membaca dan mendengar radio adalah satu-satunya “pengalih rasa lapar” seperti siaran sandiwara radio, maka jaman semakin berubah. Munculah gambar hidup yang tayang di televisi. Namun masih tertolong, karena masih ada jamannya saat “blanktime” siaran TV. Kemudian teknologi menggantikan semua penghilang rasa lapar itu hingga saat ini.
Ada masa kaum babby boomer merasakan indahnya bulan ramadan dengan membaca sepuasnya, bermain sepuasnya dan beribadah sepuasnya serta tidur sepuasnya. Kadangkala, makan saat berbuka sepuasnya sampai “kemlakaren” alias kekenyangan dan dilakukan “pengerokan” dengan entong alias sendok nasi kayu di punggung. Jadi, meski libur sekolah di saat itu, kaum sekolahan dan santri tak pernah kekurangan kegiatan dan tiba tiba malam likuran.
Ketika malam likuran, meski kegiatan membaca tak putus, namun persentase membaca kitab suci meninggi karena mengejar “insentif”. Malam hari juga semakin sedikit waktu tidur karena ikut ikutan begadang dengan kaum tua seusai salat tarawih dan tadarus. Biasanya, semua tepar seperti ikan di TPI di saat usai ceramah subuh hingga waktu Dhuha/terbit matahari. Tiba tiba datanglah malam Lebaran.
Bayangkan proses “belajar” yang terjadi di komunitas sekitar masjid saat itu dan kami juga seringkali tak sadar bahwa tidak sedikit di antara kawan kawan itu adalah keluarga non muslim yang juga ikut libur panjang puasa. Ramadan di masa bocah kaum babby boomer memang indah dan tak terlupakan dan menjadi landasan kami senang membaca.