Ketika dulu di KRL ada pengemis buta yang melantunkan ayat suci dan penumpang memberinya sedekah, untuk sebagian orang, memandang itu tak elok mengemis dengan ayat suci. Aku langsung terpikir, samakah ini dengan para peserta lomba tilawah yang juga menerima uluran tangan seikhlasnya?
Ketika membaca posting kiriman kawan yang terkaget-kaget bahwa menjawab soalpun sudah ada penal jasanya. Aku berfikir pemberi bimbingan belajar berlatih soal – soal, bahkan lebih tinggi lagi yaitu jasa penulisan skripsi, tesis dan disertasi di pendidikan tinggi.
Aku masih menemukan tidak sedikit Kyai yang tak mau dibayar oleh santrinya dan bahkan istrinyapun dilarang menjual makanan, karena takut santri “terpaksa” membeli makanan di sana, karena skip kehati- hatian beliau. Aku juga pernah kenal dengan seorang alm. Dai yang tak pernah mau menerima honor ceramah dan beliau menjadi konsultan jasa keuangan di sebuah perusahaan.
Aku tidak menolak penghargaan materi yang wajar, jika kita melakukan pembelajaran apapun, namun ketika yang aku lakukan di lembaga ProBono, maka tak elok jika berharap selalu memperoleh penghargaan tersebut. Lantas apakah yang mematok tarif tertentu tidak murni dan tidak ikhlas menyampaikan ilmunya? Ini hanya masalah pilihan yang masuk ranah etika masing masing.
Ada yang sudah terlanjur menganggap sebuah ilmu adalah cahaya, sehingga hanya bisa disampaikan dengan kehati – hatian, seperti sikap Kyai yang aku sebut di atas. Penyampai Ilmu harus bersih dan penerima sama bersihnya. Nampaknya ini tinggi sekali. Lebih kongkrit. Jika kita hanya bisa mendapatkan rejeki dengan membantu menjawab soal seperti di bawah, apakah terlarang ?
Jika sistem si pemberi soal sudah mapan, maka penjual jasa seperti ini hanya akan seperti Bimbel UMPTN saja. Namun ketika yang dinilai hanya lembaran jawaban tanpa perlu diperiksa mampu tidaknya si pemilik atau bundel skripsi, tesis dan disertasi mahasiswa/i diterima tanpa perlu diperiksa proses dan penguasaannya, maka, setidaknya etika keilmuan telah dilanggar.
—