Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Numerasi, literasi membaca dan sains adalah kompetensi dasar yang wajib dikuasai oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, mata pelajaran itu diberikan selama 6 tahun di jenjang SD/MI dan 3 tahun di SMP/MTsN, agar semua rakyat yang secara fisik dan psikis normal menguasainya. Sekalipun demikian, fakta yang ada, 78 % tidak kompeten dan World Bank mengatakan sebagai “Buta Fungsional” yang tidak siap menghadapi era abad 21.
Menjadi pejabat tinggi negara juga wajib menguasai atau “Literate” hal dasar yaitu pengetahuan pengelolaan dasar sistem administrasi pemerintahan wajib, khusus sistem regulasi. Mengapa ? Karena tugas pemerintah adalah “to regulate” menjadi regulator dan mempraktekannya. “Payung Hukum” bagi seorang pengelola Negara menjadi sebuah kata “suci”. Dengan payung hukum ada landasan bersikap dan tentu akhirnya mengikuti kaidah “Good Governance”.
Seorang petinggi negara seperti Menteri, wajib faham “kasta” Peraturan Perundangan dari UUD hingga SE Dirjen dan peran serta dampaknya. Jika tak faham, di sanalah tempatnya Staf Ahli yang eselon 1 itu diberi peran. Staf Ahli Bidang Regulasi dan Kepala Biro Hukum (eselon 2) yang wajib memastikan SOP proses pembuatan regulasi tersebut berjalan dengan benar dalam hal substansi, sinkronisasi dan harmonisasi. Jika semua tahapan sudah dilewati, masih terjadi kesalahan. Apa boleh buat, tidak ada manusia yang sempurna.
Kasus gaduh Peraturan Pemerintah (PP) 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang menurut menteri “Mispersepsi”, menurut saya menunjukan Kemendikbud dan Setneg serta Kemenkumham ceroboh atau dugaan saya SOP pembuatannya tidak diikuti dengan benar, sehingga hasilnya fatal. Mengapa ceroboh, karena PP itu “kasta”nya hanya setingkat di bawah UU. Meskipun tidak dengan persetujuan DPR, namun wajib sepengetahuan DPR. Jadi lembaga negara ini juga ikut salah.
Ketika diakui salah (meski yang disalahkan oleh Mendikbud sebagai “focal point” adalah para pengeritik yang disebut Mispersepsi) dan dikoreksi, karena sebuah PP, tentu prosesnya tak mudah. Tahapan wajib dalam SOP membuat PP akan diikuti dan semua pihak yang terlibat akan bersungut – sungut dan menggumam “kok jadi dungu berjamaah ya…” dan karena yang tandatangan adalah Presiden, jelas beliau yg bertanggung jawab atas kesalahan berjamaah ini.
Meskipun jika jujur mengakui bahwa antara UU Thn 2003 tentang Sisdiknas dan UU Tahun 2012 tentang Dikti tidak sinkron dalam substansi kata Pancasila dan Bahasa Indonesia, namun Presiden pasti sudah menghitung bahwa pembantunya pasti bekerja korek. Jelas tak mungkin semua regulasi dibaca tuntas dan saya duga beliau akan melihat paraf di buram final dan tanda tangan. Namun, harus diakui, karena itu PP, maka sejogjanya Presiden membacanya dan melakukan koreksi.
Jika Presiden masih mempercayai Mendikbud terus memegang jabatan, nampaknya beliau wajib menyertakan “mentor pendidik” khusus yang mengawal Menteri ini agar lebih banyak membangun komunikasi dan komplai pada tata kelola yang baik (Good Governance), karena jika Presiden peduli dengan catatan rekam jejaknya, cukup sering kebijakan Pendidikan yang dikeluarkan menimbulkan kegaduhan.
Saya akhirnya faham mengapa di militer ada istilah “Clean Staff Work” karena jika tidak bersih alias perfect di dénia Hankam, maka bisa saja sebuah dokumen akan memantik terjadinya perang, keys dan lain sebagainya. Bukankah yang tanggungjawab Panglima juga? Dalam kasus PP di atas Panglimanya Presiden RI dan untunglah “hanya” bidang Pendidikan.
—