Oleh Tabrani Yunis
Hari itu Rabu, tanggal 31 Maret 2021, dosen yang menyebutkan dirinya sebagai dosen generasi baby boomer itu masuk lagi mengajar di ruang kuliah menjelang sore hari. Kali ini ia masuk untuk pertemuan atau kuliah kedua di semester ini, setelah hari Rabu sebelumnya menjalankan tugas sebagai dosen untuk mata kuliah entrepreneurship yang sering disebut dengan kewirausahaan itu. Para mahasiswa memang harus mengikuti mata kuliah entrepreneurship atau yang juga sering disebut wirausaha ini dengan porsi 2 SKS. Walau mungkin sebagai bentuk alternatif, entrepreneurship ini merupakan mata kuliah yang kini wajib diambil atau diikuti oleh para mahasiswa. Bisa jadi, agar mereka mampu membangun kehidupan sebagai entrepreneur setelah tamat dan menjadi alternatif dalam memilih profesi setelah selesai kuliah. Mata kuliah yang penting, karena perubahan zaman yang penuh tantangan. Sebagaimana biasanya,m orientasi mahasiswa, setelah selesai kuliah, mencari pekerjaan sebagai pegawai Negeri sipil atawa PNS.
Nah, pada pertemuan pertama di kuliah perdana sang dosen merasa sangat memprihatinkan itu. Sang dosen menemukan lagi realitas yang membuat dirinya prihatin. Ia merasa prihatin dengan banyaknya mahasiswa yang tersesat dan salah pilih jurusan itu. Semakin getir hatinya karena hampir semua mahasiswa yang ada di ruang kuliah mengakui kalau mereka memang jarang membaca, apalagi membaca buku. Jadi, cobalah bayangkan, apa yang akan terjadi pada diri para mahasiswa yang salah pilih jurusan atau terdampar di jurusan yang mereka malah tidak kenal sama sekali? Celaka bukan?
Sebagai dosen yang sudah banyak makan asam garam di dunia persilatan sector pendidikan, banyak mengalami masa-masa sulit dan sudah lebih dahulu membaca zaman, pastilah merasa celaka melihat realitas ini. Bahkan beliau merasa lebih celaka lagi, ketika mengetahui umumnya mahasiswa yang berada di depannya selama ini semakin malas membaca. Ya semakin rendah minat membaca mereka. Sehingga setiap kali dosen mengajukan pertanyaan, jawabannya harus dicari atau search di Google. Artinya mereka tidak lagi menyimpan ilmu yang bertebaran dalam bacaan itu di otak, tetapi semua berharap disimpan oleh Google dan bisa diambil dengan menggunakan gadgets itu. Jadi, setuju atau tidak, ini adalah kondisi buruk yang sedang melanda generasi milenial ini.
Maka, wajar saja bila sang dosen merasa gelisah melihat kenyataan itu. Lalu, sang dosen bermaksud membangun kesadaran para mahasiswa. Ya, sebutlah raising the students’ awareness yang akan terus melanjutkan pendidikan di jurusan atau prodi itu. Sang dosen mendalami persoalan para mahasiswa itu. Mengajak para mahasiwa untuk mengenal dengan baik prodi yang sudah salah mereka pilih serta mengukur kapasitas diri. Namun, ada persoalan mendasar yang kini menyelimuti mereka. Ternyata minat membaca dan budaya belajar semakin rendah. Maka sang dosen dengan perapektifnya merasa sangat penting membangun kesadaran, termasuk kesadaran untuk meningkatkan minta membaca dan kesadaran kritis mahasiswa dalam membaca. Semakin penting karena selama ini sang dosen masih terdoktrin dengan ungkapan “ membaca itu membuka jendela dunia”. Karena dengan banyak membaca, kita akan banyak tahu dari bacaan kita. Salahkah?
Tentu tidak salah, walau kini zaman sudah berubah. Pengertian dan media baca sudah berubah. Ya pindah dari buku-buku cetak ke digital. Digitalisasi bahan bacaan pada hakikatnya semakin mempermudah para mahasiswa untuk mengakses segasla bentuk bacaan, tanpa harus datang ke nperpustakaan, karena bisa diakses di mana saja. Yang penting tersedia quota internet. Idealnya, dengan banyaknya atau membanjirnya informasi dan bacaan di gadgets atau internet, minat membaca dan day abaca mahasiswa sekakin tinggi. Namun, faktanya yang terjadi tidak demikian. Padahal semua tahu bahwa membaca adalah sebuah perintah Allah. Ketika zaman berubah menjadi serba digital, bukan berarti kita harus menanggalkan minat membaca dan meninggalkannya, karena ketrampilan membaca adalah kebutuhan hidup untuk bisa mengenal, memahami, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari solusi untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih baik. Tak dapat dipungkiri bahwa orang yang banyak membaca adalah orang yang kaya ilmu, ketrampilan dan akan sekaligus memiliki akhlak baik.
Tentu tidak elok bagi sang dosen yang dari generasi X mengklaim generasi milenial lalai dengan game atau bermedsos, karena sesungguhnya game-game atau mainan tersebut juga lahir dan harusnya digunakan bukan hanya sebagai alat hiburan, tetapi alat untuk menggali pengetahuan dan melatih ketrampilan. Namun, apa yang terjadi era ini, yang memiliki era ini, semua sudah berubah dalam pola hidup digital. Generasi ini tidak lagi menarik membaca buku-buku cetak atau media cetak, karena semua bisa dibaca di buku-buku dalam bentuk digital. Generasi milenial pun merasa tidak perlu menghafal dan menyimpan segala pengetahuan tersebut di dalam otak mereka. Misalnya, kalau dahulu banyak orang tidak tahu, karena tidak membaca itu memalukan. Kini generasi milenial bila ingin informasi atau ingin bacaan, atau ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan orang, seperti bila ada yang bertanya pengetahuan umum, “ di manakah Helsinki itu?”. Ya, sekali lagi terbukti bahwa mereka tidak perlu menyimpan pengetahuan umum itu di otak, karena mereka cukup mencari di google, karena Google sudah menyediakan semua informasi yang dibutuhkan. Begitu mudahnya hidup para milenial di era digital ini.
Dalam kondisi begini, maka sang doses tetap saja merasa penting mengajak para mahasiswa untuk membaca, baik buku-buku yang berkaitan dengan mata kuliah, maupun bacaan lain dalam bentuk cetak dan juga digital. Mahasiswa dituntut untuk banyak belajar, meningkatkan minat dan daya baca, sejalan dengan penilaian banyak orang yang mengatakan bahwa para mahasiswa dari kalangan milenial semakin malas membaca. Maka, sang dosen pada pertemuan kedua ini memulai pertemuan dengan mengulang cerita pertemuan sebelumnya sebagai warming up. Juga untuk menarik benang merah, agar bisa nyambung. Sang dosen kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait kerisauan terhadap pola belajar para mahasiswa yang tergolong sebagai kaum milenial ini. Pertanyaan yang kemudian mencuat sebagai bentuk konfirmasi terhadap temuan tentang minat membaca, tradisi dan kemampuan membaca para mahasiswa serta terkait dengan ketidaktahuan sejumlah mahasiswa dalam memilih jurusan yang saat ini mereka geluti dan menjadi identitas yang akan mereka letakkan pada diri mereka.
Kemudian, kegalauan sang dosen juga cukup beralasan dan masuk akal. Apalagi fakta yang ditemukan tentang minat membaca tersebut, bukan saja sekarang. Paling kurang selama 5 tahun mengajar di PT, ada banyak hal yang merisaukan sang dosen. Ia menyimpan rasa galau, terutama setelah menemukan beberapa beberapa rahun mengajar. Temuan sang dosen sama seperti yang ditemukan pada sejumlah mahasiswa selama 5 tahun terakhir di dua prodi di sebuah universitas ia mengajar. .
Apalagi setelah ditanya kepada mereka yang sudah belajar empat atau enam semester lamanya, banyak yang tidak tahu prodi atau jurusan yang dipilih. Bayangkan saja, mereka ternyata hanya terus melakukan rutinitas kuliah yang mengawang-ngawang, datang, duduk, dengar, diam dan pulang. Lalu kemudian menelpon orang tua meminta agar segera dikirimkan atau transfer uang belanja. Sebuah rutinitas yang juga hanya mengejar nilai atau angka yang tinggi, tetapi tanpa mengetahui arah atau kiblat belajarnya. Kecuali kelak ingin menjadi PNS, sebagai guru atau pegawai apa pun lah.
Berangkat dari persoalan tersebut, sang dosen mengajak para mahasiswa tersebut untuk meluruskan kembali kiblat pendidikan mereka, mengajak mencari pintu keluar dari ruang yang sesatn dengan beberapa cara. Cara yang pertama, adalah mengajakm mahasiswa membangun impian baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan perkembangan teknologi. Oleh sebabh iru, setiap mahasiswa diajaknya menyusun visi masing-masing. Apa visi mereka dalam belajar hingga beberapa tahun ke depan,, lalu apa pula misi yang dijalankan untuk mewujudkan visi mereka, tujuan mereka kuliah, seperti apa pula strategi yang mereka bangun hingga masing-masing harus menentukan langkah agar mereka bisa kembali pada hakikat mereka belajar di perguruan tinggi. Dengan cara ini, diharapkan mereka akan terbangun dari tidur dan keluar dari belantara kampus dengan pilihan dan pertimbangan yang benar, dengan kesadaran yang tinggi untuk mencapai mimpi. Maka, agar mimpi itu terwujud, prasarat kuliah, bukan lagi datang, duduk, dengar, diam, pulang dan minta tambahan uang belanja, tetapi kuliah adalah sebuah proses untuk mengkases pengetahuan, ketrampilan dan perubahan sikap dan perilaku yang lebih baik. Kuncinya, mahasiswa harus konsisten untuk berubah. Apalagi, Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang, kecuali orang itu sendiri yang mengubahnya.