Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Kemarin seorang sohib senior praktisi seni dan pendidik menelponku dan intinya mengajakku membantunya ikut mendukung gagasan sebuah pondok pesantren yang ingin membangun sekolah. “Mas Nanang, presentasi mereka sungguh absurd dengan rencana itu. Padahal sampeyan tahu saya orang yang kongrit”. Kami diskusi hampir sejam di telepon. Sohib ini sungguh merendah karena dia sudah di tataran empu. Profilnya sering muncul di majalah Tempo, dia juga produk S3 Texas Austin USA.
Aku simpulkan, beliau ingin pikiran yang “kontinyu”, bukan diskontinyu antara gagasan Langitan (yang memang sering muncul dari para tokoh agama, seperti “hati Mekah, otak Jerman”), kerangka makro dan sesuatu yang kongrit. Aku amati, di Indonesia diskontinyitas berfikir dalam sebuah gagasan ini sering terjadi, sehingga tak jarang target jangka panjang (absurd) tak klop dengan jangka menengah (kerangka mikro) dan target terukur kurang dari setahun (kongkrit).
Dalam alur berfikir seperti inilah mengapa judul “Memimpin Bangsa” juga aku hela ke tataran mikro yang jelas merupakan intisari masalah yang wajib difahami pemimpin dan seperti itu pula yang difahami oleh pemimpin dunia. Ketika hanya asik di tataran mikro, maka “kerja…. kerja… kerja….” juga akan fokus di sana dan ketika tak nyantol dan tak peduli dengan yang menengah dan absurd (amanah konstitusi).
Di sinilah aku dipagut oleh istilah seorang kawan senior pula. MCLS (Management Contents Learning System). 4 kata yang digabung dan bermakna besar. Sudahkah kita punya konten? Punya learning system (pedagogi)? Sudahkah konten disampaikan dengan pedagogi yang tepat (pedagogy content knowledge), sudahkah menjadi pedagogi content knowhow? Yang terakhir sudahkah dikelola dengan baik ? Aku skeptik.
Pembelajaran prodi PGSD/MI di LPTK masih business as usual (ujian) PGSD masih mewajibkan calon guru kelas ini menyelesaikan soal Integral/Differensial, what a horrible context !…). Program pelatihan juga masih tak berubah dan berputar-putar di situ saja yang ketika guru pulang dan masuk kelas hata senang, karena bisa mentraktir murid dengan uang saku dan bingung mempraktekan ppt pelatihan dan kembali pembelajaran di kelas tak berubah.
Jadi, kita ingin membangun SDM Unggul dengan ikut bikin 100 Tahun Maraton “Solo” tanpa peserta lain dengan cara seperti ini? Ah, sudahlah…. toh peserta Maratonnya hanya kita sendiri, jadi ya begitu deh.