Mahasiswi Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, IAIN LANGSA
Gambar: sumur tanah memiliki sumber mata air yang tak persah kering
Alue Merbau merupakan salah satu gampong yang ada di Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, Aceh. Gampong atau Desa yang berdekatan dengan perbatasan Kota Langsa ini memiliki beberapa keunikan, kelebihan, adat istiadat serta lahan pertanian dan hasil tani begitu melimpah. Yang lebih menakjubkannya lagi, ada satu mata air yang memang tidak pernah kering sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sehingga sayang, jika tidak dipublikasikan di khalayak ramai.
Sejarah yang masih bisa kita lihat dulu hingga sekarang yaitu dari penduduknya yang mayoritas suku Batak dan Mandailing. Walaupun kebanyakan warganya orang Batak, tetapi terbukti di Alue Merbau seluruhnya adalah orang Islam. Masjid Baiturrahim menjadi salah satu bukti nyata dari arsitekturnya. Dahulu masih berupa dinding papan dan kini sudah berganti menjadi bangunan megah. Tidak hanya masjid, ada juga bangunan lama yaitu Sekolah Dasar Alue Merbau yang kira-kira dibangun tahun 70-an yang menjadi saksi bisu bahwasanya bangunan ini menjadi salah satu tempat menimba ilmu untuk beberapa gampong seperti Alue Pinang, Matang Cengai, Seunebok Antara dan lain-lain.
Kelebihan Gampong ini terletak pada wilayahnya yang masih memiliki lahan persawahan terbentang luas. Badan Pusat Statistik Kota Langsaatau singkatannya (BPS Kota Langsa) mencatat bahwasanya lahan persawahan di Alue Merbau merupakan lahan yang terluas di Kota Langsa. Rata- rata pekerjaan warga Alue Merbau sebagai petani. Perairannya didukung oleh Irigasi, sehingga perairan pada sawah sangat cukup. Irigasi juga salah satu alternatif yang digunakan petani untuk membantu mengisi air di sawah-sawah pada saat musim kemarau tiba. Hasil panen yang melimpah menjadikan Alue Merbau menjadi salah satu penghasil padi terbesar di Kota Langsa.
Adat istiadat yang ada pada orang Batak memiliki keunikan tersendiri. Jika bertemu dengan sesama marga, mereka akan menganggap orang tersebut adalah saudaranya dan ini disebut Martarombo. Walaupun tinggal di Aceh, tetapi sifat warga Alue Merbau tidak ada yang hilang semana mestinya sifatnya orang Batak.
Sebelum musim bercocok tanam padi di sawah, ada yang unik dari adat istiadat ini biasanya kenduri sawah. Kemewahannya terletak pada pemotongan seekor lembu. Jika di gampong-gampong hanya memotong seekor kambing atau ditambah ayam. Kenduri sawah yaitu suatu acara baca yasin dan kirim doa dimana para petani berkumpul dan bergotong royong dalam hal memasak makanan dan makan bersama-sama. Tujuannya agar tanaman padi tumbuh subur dan menjauhkan tanaman padi dari berbagai macam hama yang dapat merusak hasil panen.
Ada yang menarik di Alue Merbau ini. Gampong ini, memiliki satu mata air yang tidak pernah kering. Namanya air kampung Jawa. Nenek saya menceritakan tentang mata air ini, ketika dia merantau dan pindah dari medan ke Alue Merbau mata air ini sudah ada. Pada saat itu penduduk desanya belum seramai pada saat ini. Warga gampong biasa memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti untuk memasak menyuci dan mandi.
Di beri nama mata air kampung jawa karena posisi tempatnya dikelilingi dengan orang jawa sehingga disebut Kampung Jawa. Mata air ini dibentuk seperti kawah kecil atau bisa disebut juga dengan sumur tanah, sehingga air memenuhi sumur ini. Keadaaan mata Air kampung Jawa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dahulunya di sekeliling tempat ini masih berbahan kayu dan semak-semak belukar. Fungsi kayu ini untuk tempat menyuci para ibu-ibu. Berbeda dengan sekarang yang telah berubah menjadi beton. Beton ini sangat membantu untuk menyangkutkan pakaian yang telah selesai dicuci. Seperti yang kita ketahui, dahulu sumur cincin sangat sedikit. Jika pun ada, itu hanya beberapa orang saja yang memilikinya. Sehingga beberapa orang rela mengangkat air tersebut dari kampung Jawa ke rumah mereka masing-masing.
Di masyarakat telah beredar cerita mistis yang telah melegenda tentang cerita ikan gabus dan ikan limbat penghuni di mata air. Untuk menuntaskan rasa penasaran penulis langsung berbincang-bincang mengenai legenda bersama orang tua kampung atau kami sering memanggilnya nenek. Menurut beliau, ikan itu sebagai wujud penunggu. Tak kasat mata yang menjaga tempat itu dan barang siapa saja mencoba untuk menangkap ikan tersebut maka akan datang celaka untuknya. Ada sebuah kejadian seorang laki-laki mencoba menangkap ikan gabus. Setelah ditangkap dia membawa pulang dan memakannya. Keesokan harinya laki-laki ini dikabarkan meninggal dunia. Tetapi menurut penulis ajal itu di tangan Tuhan dan tidak ada seorang pun yang tahu. Itu hanya sebab dia untuk meninggalkan dunia.
Musim kemarau tiba. Biasanya air di dalam sumur itu kian menyusut walaupun tidak digunakan. Ini disebabkan karena di dekat sumurnya terdapat beberapa pohon sawit. Seperti yang kita ketahui, sifat pohon sawit itu ketika musim hujan dia tidak bisa menyimpan air, tetapi ketika musim kemarau berlangsung pohon sawit akan mnyerap air yang ada di sekitarnya.
Lokasinya yang di tengah hutan membuat siapa saja akan merasa seram/angker. Tetapi bagi ibu-ibu yang setiap subuhnya sudah datang untuk menyuci, membuat keadaan sekitar seakan biasa saja. Siapa saja yang ingin mengunjungi tempat ini harus melewati semak belukar, persawahan dan hutan rimbun
Air sebening kaca itu tidak pernah kering, walaupun dikuras habis sampai kering. Penulis bisa memberikan informasi ini karena di saat kemarau, dari subuh sampai tengah malam warga tidak berhenti-berhenti untuk mengambil air. Setiap satu jam sekali air akan kembali memnuhi sumur. Sumur tanah ini memiiki satu Mata air berada di bawah kaki bukit.
Sampai saat ini sumur tanah ini masih di manfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat untuk menyuci dan mandi.