Oleh Arhamni, M.Pd
Guru SMK Negeri Penerbangan Aceh di Banda Aceh
Masyarakat Indonesia sudah sangat mengenal istilah UN (ujian nasional) dengan segala pro-kontra. Bertahun-tahun UN didiskusikan kebermaknaan pelaksanaannya bagi lembaga pendidikan, terutama bagi peserta didik yang akhirnya pada tahun 2020 peserta didik tidak lagi mengikuti UN sebagai jaminan untuk kelulusan dari lembaga pendidikan. Mulai tahun 2021 Ujian Nasional (UN) diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter.
“Penyelenggaraan UN tahun 2021, diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi) dan penguatan pendidikan karakter,” jelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada peluncuran Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”,di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Masyarakat mungkin belum familiar dengan istilah Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Maka, dengan serta merta pertanyaan bermunculan baik di kalangan pendidik, dan di public, mengapa Asesmen Kompetensi Minimum hanya difokuskan pada literasi dan numerasi. Apa itu literasi numerasi? Apakah berarti pelajaran selain bahasa dan matematika tidak penting?. Fokus asesmen adalah kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekadar mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan Numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dan seterusnya. Pesan ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
Asesmen Kompetensi Minimum dipogramkan akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA serta SMK. Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Dengan dilakukan sejak jenjang SD, hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi permasalahan mutu pendidikan nasional.
Literasi dan Numerasi
Literasi dan numerasi terkait dengan kemampuan menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik berupa gafik, tabel, dan bagan. Kemudian menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Literasi Numerasi adalah pengetahuan dan kecakapanuntuk (a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait denganmatematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan(b)menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.),lalu menggunakan interpretasi hasilanalisistersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Secara sederhana,numerasi data diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi salam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tumtutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apreciais dan pemahamanin formasiyang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Numerasi tidaklah sama degan kompetensi matematiks. Keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari, atau bahkan tidak ada penyelesaian yang tuntas, serta berhubungan dengan faktor nonmatematis.
Sebagai contoh, seorang siswa belajar bagaimana membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa. Biasanya siswa diajarkan untuk menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu mereka juga belajar menyatakan hasil bagi dalam bentuk desimal.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi (dengan desimal) sering kali tijdvak diperlukan, sehingga seringkali dilakukan pembulatan. Secara matematis, kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nivali desimalnya lebih kecil daripada 5, pembulatan ke atas jira nilai desimanta lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atar ke bawah bisa dilakukan jika bilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah selalu dapat diterapkan. Contohnya, jika 40 orang yang akan bertamasya diangkut dengan minibus yang memuat 12 orang, secara matematis minibus yang dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah 3,333333.
Jumlah itu tentu tyda masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3 minibus. Akan tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang saja, artinya ada 4 orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, jumlah minibus yang seharusnya dipesan adalah 4 buah.
Sebagai guru matematika penulis sangat tertarik untuk menyampaikan pentingnya numerasi literasi ini. Bayangkan bila kita pergi ke pasar, membawa cukup uang, tetapi tidak tahu cara berhitung atau kita mempunyai sebidang lahan tanah yang subur, tetapi kita tidak tahu nilai tanahnya dan melepasnya begitu saja ketika ada yang menawarnya. Di lain waktu, seorang kepala desa berpidato dan menyebutkan angka-angka yang bermacam-macam, mulai dari jumlah anak, jumlah lulusan, sampai dengan anggaran desa, tetapi kita tidak tahu dan tidak mengerti apa hubungan semua angka-angka itu dengan hidup kita dan pajak yang kita sudah bayar. Semua contoh di atas hanya menunjukkan sebagian kecil peran Literasi Numerasi yang sangat terkait dengan pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan kita. Namun, kita sering mengabaikannya. Tidak mengherankan bila kemudian kemampuan literasi numerasi Indonesia masih belum berkembang.
Hasil tes PISA (2015) dan TIMSS (2016), dua organiskas di bawah OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat bawah, bahkan di bawah Vietnam, sebuah negara kecil di Asia Tenggara yang baru saja merdeka. Hasil tes matematika yang diselenggarakan PISA antara Vietnam dan Indonesia terpaut santa jauh.Vietnam mendapatkan nilai 495 (dengan nilai rata-rata 490), sedangkan Indonesia mendapatkan nilai 387. Sementara itu, dari asilo TIMMS, Indonesia mendapatkan nilai 395 dari tilai rata-rata 500. Tilai tertinggi didapatkan Singapura dengan nilai 618 (50% lebih tinggi daripada Indonesia). Numerasi bukanlah sesuatu yang baru, yang digagas oleh World Economic Forum atau OECD. Numerasi sudah muncul pada 1959 dalam laporan yang dibuat untuk Pemerintah Inggris .
Komponen Literasi Numerasi dalam Cakupan MatematikaKurikulum 2013
Komponen Literasi Numerasi
Cakupan Matematika Kurikulum 2013
Mengestimasi dan menghitung dengan bilangan bulat
Bilangan
Menggunakan pecahan, desimal, persen, dan perbandingan
Bilangan
Mengenali dan menggunakan pola dan relasi
Bilangan dan Aljabar
Menggunakan penalaran spasial
Geometri dan Pengukuran
Menggunakan pengukuran
Geometri dan Pengukuran
Menginterpretasi informasi statis- tik
Pengolahan Data
Penulis sering menanyakan pada peserta didik, bagaimana cara menjumlahkan bilangan 1+2+3+4+5+6+7+8+9+10. Semua peserta didik menjumlahkan tanpa melihat kebermaknaan serta hubungan antara 1 dan 9, 2 dan 8, 3 dan 7, 4 dan 6, sehingga hubungan yang ada tidak memudahkan bagi peserta didik dalam berhitung. Mengapa hal ini terjadi? Peserta didik belum memiliki kepekaan terhadap numerasi itu sendiri (sense of numbers). Pengalaman lain saat ditanyakan berapa banyak bilangan 9 dari 1 sampai dengan 100, dengan cepat peserta didik menjawab 11 bilangan (9,19,29,39,49,59,69,79,89,99), tanpa membaca bilangan 9 pada urutan (90,91,92,93,94,94,95,96,97). Beberapa masalah lain yang berhubungan dengan penggunaan persen juga sering ditanyakan. Peserta didik tidak mampu menjawab. Tentunya hal ini masalah yang sangat sederhana dari bagian Literasi Numerasi, namun peserta didik tak mampu menggunakan kaidah berfikir dengan terstuktur, yang tentunya akan berakibat tidak baik bagi peserta didik dalam mengaplikasikan ilmu numerasinya saat diperlukan dalam kehidupannya. Literasi Numerasi mengharapkan peserta didik menggunakan cara berpikir 5W + 1H yaitu : what, why, where, when, who dan how.
Apalagi, literasi Numerasi merupakan kecakapan hidup abad XXI yang meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan taraf hidup, sehingga menentukan kemajuan sebuah bangsa. Strategi peningkatan kecakapan Numerasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dan melibatkan seluruh warga sekolah, keluarga, dan semua komponen masyarakat. Strategi ini perlu dirumuskan bersama dan disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat yang beragam.
Ketika kita menguasai numerasi, kita akan memiliki kepekaan terhadap numerasi itu sendiri(sense of numbers) dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Ketika kita mampu menerapkan kepekaan tersebut, kita berpeluang akan menjadi bangsa yang kuat karena mampu memelihara dan mengelola sumber daya alam dan mampu bersaing dengan bangsa- bangsa lain dari segi sumber daya manusia. Mari kita mempersiapkan generasi kita agar mampu bersaing secara lebih kompetitif dalam segala bidang kehidupan dengan mengasah kemampuan Literasi Numerasi mereka. Allah mengingatkan kita semua melalui qalamnya pada surah An-Nisa’ ayat ke-9 yang artinya; …dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. Semoga kita semua mengambil peran dalam melaksanakan anjuran untuk menggalakkan Literasi Numerasi ini sebagai wujud tanggunggjawab kita orang tua.