Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Membaca Cersil Pentalogi Naga Bumi karya Seno Gumira memperoleh inspirasi begitu berharganya seorang guru. Seleksi seorang murid yang ingin berguru silat di Tiongkok jaman kuno itu sangat tidak mudah dan yang diuji adalah kesungguhan serta kesabaran serta kerendahatian calon murid. Ketika menjadi murid, guru sudah menjadi pengganti orangtua sendiri dan mirip sekali dengan tulisan dalam “taklim mutta’alim” yang diacu di dunia pondok pesantren. Intinya, kepatuhan murid adalah mutlak.
Menjadi cendekia dan pegawai pemerintah di Tiongkok jaman kuno memerlukan ujian bertahap mulai dari jenjang kelurahan hingga jenjang nasional di Kotaraja dengan ketua panitia seleksi Kaisar sendiri. Yang diuji adalah filosofi dan karya sastra, peserta bisa ikut ujian berulang kali. Ketika lulus, maka Kaisar akan bangga memiliki pembantu dari rakyatnya yang terbaik. Seringkali, kesetiaan ditambahi dengan memutuskan diri menjadi orang Kebiri.
Kisah Kaisar Jepang yang ketika negerinya hancur dan bertanya sisa guru, meski keabsahannya belum jelas, sering diulang ulang karena dramatis. Namun tanpa mendramatisasi, semua negara yang memiliki perdaban dunia pasti memiliki guru jempolan. Di Srivijaya abad ke 7 berada sebuah kolese tempat semua pelajar se dunia yang ingin belajar di perguruan tinggi terbaik saat itu di Nalanda Jambudvipa. Di situlah berada guru dan filosof terbaik jaman itu. Salah satunya filosof Nagarjuna yang sering diulas pemikirannya oleh Seno di buku Cersilnya.
Di akhir tahun 90 dan awal 2000an, saya memulai aktif di dunia pendidikan dan mulai mengenal alm. Mochtar Buchori, Doktor Kebijakan Pendidikan, Alumnus Harvard yang menyempal dari koleganya seusia seperti HAR Tilaar, Conny Semiawan dan lain-lain. Sayapun bersentuhan dengan kawan-kawan yang hebat. Para murid Roem dan Utomo Dananjaya dan banyak berkiprah di Ilmu Sosial Transformatif dan banyak berkiprah di Yogya.
Sungguh gegap gempita dan semarak diskusi-diskusi pendidikan saat itu. Di milis cfbe@yahoogroups.com kami berdiskusi. Saya pun mendirikan CBE dan adakan diskusi-diskusi berkala. Saya berguru kepada Pater Drost, suhu Kanisius. Kenal dengan mas Satria Dharma dan mas Darmaningtyas Instran. Perjalanan saya di dunia KangOuw Pendidikan mendorong saya ikut mendirikan Klub Guru Indonesia (cikal bakal IGI), mendirikan Indonesia Mengajar dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah kegalauan saya akan tak berdayanya guru
Dua paragraf sejarah singkat keterlibatan saya di dunia pendidikan dan bermuara di menenami guru selain saya sombongkan, juga saya ingin garis bawahi, selama guru Indonesia tidak dibenahi menyeluruh dan serius serta diproteksi ketat mutunya oleh negara, maka mimpi Indonesia membuat “100 Tahun Maraton” secara Solo untuk memanfaatkan bonus demografi hanya akan menjadi impian kosong. Inkonsistensi dalam mengurus guru sejak masih menjadi murid SMA/SMK hingga purna tugas menambah keterpurukan Pendidikan Indonesia.
Ketika USA keblasuk karena cemas kepada kemajuan Tiongkok dan menerbitkan National Defence of Education Act dan menurunkan program No Child Left Behind (NCLB), maka selama hampir 20 tahun pendidikan USA terpuruk, karena NCLB berdampak mendorong pendidikan formal hanya untuk ujian dan tentu guru-guru juga mengajar untuk ujian saja. Namun, karena akar Pendidikan Guru di USA masih kuat dan riset-riset tentang pembelajaran dan belajar sangat banyak, maka ketika mereka sadar bahwa Finlandialah yang dengan konsisten menjalankan pendidikan yang benar, USA masih memiliki basis pendidikan guru yang mapan.
Reformasi pendidikan di Finlandia berujung kepada reformasi di pendidikan Guru, namun “ekosistem” pendidikan dasar mereka sudah siap dan kokoh. Menjadi guru akhirnya adalah sebuah pilihan profesi mengalahkan profesi dokter, insinyur dan ahli hukum. Alasan utamanya adalah kebebasan profesional seorang guru yang sangat tinggi. Pasi Sahlberg mengatakan, kaum Guru berkata akan mundur sebagai guru, jika kebebasan profesinya dikurangi.
Ketika SD Inpres marak, LPTK tumbuh pesat. Gagasan menyatukan “Pendidikan” dengan “Mapel” dalam sebuah ide “Perluasan Mandat” menjadikan IKIP menjadi Universitas Negeri, ternyata konon hasilnya tidak seperti yang diharap penggagasnya, education knowledge dan content knowledge menyatu menjadi Education Content Knowledge, karena masing masing berjalan sendiri.
Akhirnya, selain perpolitikan yang mengganggu pendidikan guru, harapan lulusan LPTK menjadi guru, wabil khusus guru jenjang SD/MI yg handal hanya impian. Padahal, statistik menunjukkan karena kurangnya kendali dalam rekrut guru SD Inpres, mutu guru SD yang lebih tinggi dari pada guru Mapel sudah kadung merosot.
Berkaca ke USA lagi. Ketika USA mencanangkan reformasi pendidikan dasar terpusat dengan kendali ketat di NCLB, maka jelas yang dicengkeram adalah guru SD di USA. Sekolah wajib membuat target capaian murid terukur tahunan, persis seperti UN di Indonesia. Ketika target tercapai sekolah diberi hadiah dan saat gagal bisa saja sekolahnya sampai ditutup (Zhao).
Kondisi mencengkeram ini mirip di Indonesia saat rejim UN dan RSBI berjalan. Dengan keyakinan asumsi jika capaian produk dikendalikan ketat, maka hasilpun akan membaik (disamapersiskan dengan proses Industri Barang) dan ternyata mendorong Belajar (hanya) Untuk Ujian. Guru sibuk memenuhi administrasi akuntabilitas dan capaian Tahunan. Zhao kembali menulis jika cara seperti itu diteruskan, maka keunggulan “ruh” pendidikan USA yg menghargai potensi/bakat setiap anak dan keberagaman SARA akan hancur.
Di waktu yang sama, Jin Ping pemimpin Cina menginstruksikan negerinya segera mengubah cara mendidik negerinya yang sangat ujian sentris sejak jaman kekaisaran Tiongkok Kuno menjadi pendidikan yang menghargai potensi individu dan keragaman. Hingga saat ini ratusan ribu pemuda Cina sedang belajar di USA, Eropa dan Kanada.
Namun yang sama adalah, baik Finlandia yang sudah meluncur mendahului kedua negeri itu dalam reformasi Pendidikan Dasarnya, atau Tiongkok dan USA serta negara lain, semua mendasari reformasi pendidikannya dari filosofi dasar negerinya. Akar budaya digali dan dijadikan ruh perubahan semua segi perbaikan pendidikan. Indonesia jelas punya, Ki Hajar Dewantara dan Engku Syafei dan sebutlah banyak tokoh lain yang sudah merumuskan ruh pendidikan Indonesia.
Mengapa ketiga negara yang saya jadikan contoh di sini sangat ingin memperkuat fondasi pendidikan dasar negerinya ? Karena mereka percaya bahwa cara mendidik seperti abad 20 sudah sulit memperoleh hasil agar mereka menguasai “ketrampilan abad ke 21” yang dipercayai dirumuskan mesti kritis dan kreatif, mampu komunikasi dengan baik dan tidak bekerja sendiri (kolaboratif). Mereka percaya bahwa Critical dan Creative Mind wajib dibangun dengan fondasi nalar yang benar dan baik melalui kompetensi dasar Membaca (Literasi), Matematika (Numerasi) dan Sains.
Hingga saat ini, saya belum mengetahui upaya pemerintah kita fokus di perbaikan pendidikan jenjang SD/MI. Kelas di seantero negeri masih mencetak anak anak yang trauma, cemas dan menghindari matematika jenjang SD/MI yang wajib dikuasai. Guru SMA IPA menyalahkan Guru SMP dan yang belakangan menyalahkan Guru SD/MI yang akhirnya pasrah terpojok dan ketika mengajarkan mapel MTK seringkali “save by the bell”.
Alangkah tak adilnya kita menyalahkan dan menyerahkan semua tanggungjawab kompetensi anak SD/MI kita hanya kepada guru kelas yang nyaris tidak pernah dilatih bagaimana mengajarkan mapel matematika sesuai dengan perkembangan kognitif anak, baik saat di PGSD/MI atau ketika sudah menjadi guru kelas ?
Kita semua menganggap proses belajar di SD/MI, baik baik saja (komplasen), toh hanya pelajaran SD, mosok tidak bisa dan terperangah ketika mengetahui sebuah survei bahwa hanya 2 dari 10 anak SD/MI yang benar menjawab soal 1/3 – 1/6 = 1/6. Dan, kolega guru Kimia SMA pun sudah pasrah dan menyiapkan waktu khusus agar murid-muridnya faham menghitung operasi pecahan dan persen karena akan mengajar Stoichiometri Reaksi Kimia.