Oleh Tabrani Yunis
Assalamualaikum dan selamat pagi, sapa seorang dosen yang masuk ruangan kuliah di prodi pulan, fakultas pulin dan universitas pulun. Salam itu dijawab serentak oleh para mahasiswa yang sebagian besar sudah hadir. Lalu, seperti lazimnya, sang dosen memulai kuliah dengan pemanasan, atau warming up. Tapi tidak sama dengan warming ketika ingin main bola. Sang dosen memanaskan suasana dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pembuka tentang membaca. Pertanyaan yang paling sering ditanya adalah “ Apakah hari ini anda sudah membaca?” Apa yang anda baca. Sang dosen mengajukan pertanyaan itu pada setiap mahasiswa yang hadir.
Seperti pada pertemuan sebelumnya, para mahasiswa terdiam dan menggelengkan kepala. Artinya mereka belum atau memang tidak membaca sebelum masuk ruang kuliah, walau ada satu mahasiswa yang bertanya, baca apa Pak?
Sang dosen pun dengan melemparkan senyum menjawab, baca buku atau surat kabar atau juga membaca sebuah artikel di gadgets. Seperti telah diduga, salah satu mahasiswa itu pun menjawab ada Pak. “ Saya baca Whatsapp”. Sebuah artikel? Tanya sang dosen, lagi. Ya Pak. Jawab sang mahasiswa.
Bagus. Sanjung sang dosen.Bisakah anda ceritakan sedikit apa yang anda baca? Mahasiswa langsung berkata, tidak. Saya hanya baca judulnya. Sang dosen pun ikut penasaran dan merasa risau, sambil berkata, gawat. Gawat?
Ya, memang sangat gawat. Begtitu gumam sang dosen. Tapi, cerita atau prolog di atas bukanlah sebuah ilustrasi belaka, namun adalah realitas yang kian lazim kita temukan, bukan hanya di kalangan masyarakat di luar lembaga pendidikan, tetapi semakin lazim ditemukan di dunia pendidikan, termasuk di level universitas di negeri ini. Artinya, semakin banyak orang yang melakukan aktivitas membaca, namun bacaannya tidak pernah usai. Jangankan membaca satu buku secara tuntas, membaca satu artikel pendek saja semakin jarang. Paling-paling, membaca sebuah postingan morning pendek di WhatsApp dan celakanya, itu pun tidak habis dibaca. Karena paling hebat, sudah membaca judulnya.
Nah, fenomenaseperti ini semakin mudah kita amati sejalan dengan semakin rendahnya minat membaca dan memupusnya budaya membaca di kalangan masyarakat kita, yang ditandai oleh semakin berkurangnya minat baca di tengah masyarakat kita, termasuk di kalangan peserta didik di semua level atau jenjang pendidikan, sudah lama kita dengar. Kondisi ini membuat banyak kalangan yang prihatin dan menuliskan persoalan ini di media masa atau buku-buku. Bahkan penulis sendiri juga sudah pernah menuliskan sebuah artikel di harian Serambi Indonesia dengan judul “ Generasi Milenial Semakin Malas Membaca. Tulisan tersebut dimuat pada hari Sabtu, 12 Oktober 2019 yang lalu yang merupakan wujud kegalauan penulis terhadap menurunnya minat membaca di kalangan kaum milenial saat ini.
Jadi, sudah sangat banyak orang menulis tentang tema membaca atau pun masalah literasi dan lain-lain yang mengarah pada keprihatinan terhadap kemunduran dalam aktivitas membaca sejalan dengan semakin menariknya produk dan aktivitas media digital selama ini. Berbagai sajian informasi dan hiburan yang tidak mengharuskan orang membaca, tetapi cukup dengan menonton dan memdengar penjelasan di media tersebut. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa aktivitas membaca menurun. Menonton dan mendengar itu lebih mudah, menarik dan praktis. Hal ini sama kasusnya dengan hilang atau matinya budaya mencatat di kalangan masyarakat kita. Budaya mencatat sudah digantikan dengan budaya rekaman dan foto yang dengan cepat terekam. Proses digitaliasasi telah mempermudah dan bahkan mematikan kebiasan lama. Digitalisasi juga telah menyebabkan disrupsi dalam dunia pendidikan begitu cepat berlangsung.
Maka, bila kita merujuk pada banyak hasil penelitian atau pun survey tentang minat baca serta kemampuan masyarakat dan kemampuan membaca para peserta didik kita di berbagai tingkat pendidikan, kita bisa tercengang-cengang dan membuat kita prihatin. Bagi para pembaca yang banyak membaca, mungkin sudah sering membaca hasil penelitian dari Perpustakaan Nasional tahun 2017. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Jadi masih sangat sedikit bukan? Bukan hanya itu, berdasarkan studi World Most Literate Countries tahun sebelumnya 2016 yang dilakukan oleh Presiden Central Connecticut State University (CCSU), John W Miller, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara pada 2016.
Itu hasil survey tahun 2017 dan 2016. Bagaimana pula sekarang? Ya lumayan banyak data serupa. Contohnya selain dari itu, data yang dikeluarkan oleh United Nations, Education and scientific and Cultural Organization ( UNESCO) memaparkan bahwa minat baca hanya 0,01 persen yang membaca. Artinya hanya 1 dari 10.000 orang yang hobi membaca. Ironis sekali bukan? Taufik Ismail malah telah mengngatkan kta dengan trage di nol buku dan lain sebagainya.
Tentu sangat ironis. Bukan hanya ironis, tetapi membuat kita merasa gundah melihat nasib generasi bangsa ini yang kini tergolong sebagai generasi milenial ini. Apa yang membuat gundah adalah ketika bangsa ini semakin malas membaca, atau semakin kehilangan minat membaca, maka secara perlaham dan pasti, akan mempurukan bangsa ini dalam jurang kebodohan yang selama ini kita perangi. Ya, tak dapat dipungkiri bahwa semakin menurunnya minat membaca, makan semakin rendah pula kemampuan atau daya membaca kita. Apabila daya baca rendah, maka sikap kritis pun akan punah. Akibatnya, ketika ada satu masalah pelik yang dihadapi, permasalah itu akan berhadapan dengan jalan buntu. Hanya membaca judul adalah sebuah manifestasi atau indicator dari semakin malasnya masyarakat kita membaca karena alasan apa pun, malas misalnya.
Semua ini membawa dampak buruk bagi masyarakat dan peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan kini dan esok. Hanya membaca judul saja adalah sebuah kemalasan yang membawa dampak negative. Beberapa dampak negatifnya di antaranya sebagai berikut. Pertama judul bisa mengecoh seseorang yang seakan setelah membaca judul, sudah menangkap semua isi bacaan, padahal judul dibuat semenarik mungkin, agar si pembaca tertarik membaca hingga tuntas. Kedua, bila hanya membaca judulnya saja, maka semakin sedikit informasi yang didapat, selain judul belaka. Ketiga, membaca judul saja menambah minimnya pengetahuan seseorang. Ke empat, akan mempersempit pemahaman seseorang tentang informasi yang di baca. Ke lima, kebiasan hanya membaca judul, akan menimbulkan pemahaman yang keliru. Masih banyak lagi sisi negative dari hanya membac judul tersebut.
Selayaknya, kebiasaan hanya membac judul tersebut ditinggalkan dan diganti dengan membaca sebuah artikel atau bacaan dengan tuntas. Sebab membaca bacaan dengan tuntas, akan membuat pemahaman akan teks atau bacaan sebuah altikel atau buku akan menjadi sempurna, sehingga pembaca tidak akan melakukan misunderstanding dan salah sharing yang kita sebut dengan hoaks itu. Jadi membaca dengan tuntas, akan membuat kita lebih bijaksana dan arif. Oleh kebab itu, membacalah dyngan tunias, karens membaca bukan hobby, terapi sebuah kebutuhan hidup.