Oleh: Rika Rahayu AR
Sudahkah kita terlibat dalam perencanaan dan perumusan anggaran program pembangunan di desa atau di kota kita?
Pertanyaan dari judul di atas sangat penting untuk kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing. Karena mengingat sangat kurang keterlibatan kita, terutama kaum perempuan dalam forum-forum perumusan perencanaan anggaran di tingkat kota apalagi di tingkat desa. Padahal seharusnya setiap warga, tanpa kecuali, harus ikut serta dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa tersebut.
Mengapa setiap warga harus partisipatif dan pro aktif dalam perencanaan dan anggaran? Jawabannya, karena dengan berpartisipasi secara pro-aktif, kita bisa menyuarakan kebutuhan, ide dan aspirasi kita dalam program pembangunan. Sehingga, akan sesuai dengan harapan dan kebutuhan kita. Bukan hanya itu, hasil dari keikutsertaan kita, akan melahirkan program-program yang berkeadilan. Dengan terlibatnya semua unsure masyarakat dalam proses perencanaan dan penggagaran, setiap orang akan memahami peran dan tangung jawab dalam pelaksanaan dan akan berjalan fungsi kontrol terhadap penrencaan dan penggunaan anggaran yang sudah ditetapkan.
Contoh kasus
Desa Mata Uroe penduduknya kurang lebih 2.567.880 jiwa, dengan 850 kepala keluarga, dan 324 kepala keluarga perempuan dan selebihnya adalah remaja, anak-anak dan lansia. Di Desa ini ada program pembibitan jamur merang. Program ini dicanangkan untuk kepala keluarga perempuan. Para Janda di desa ini menandatangi berkas dan keperluan administrasi lainnya. Namun hingga program ini selesai para Janda yang telah membubuhkan tanda tangannya pada proposal tadi hanya sekedar menanda tangani. Mereka tidak pernah mendapat manfaat dari program itu karena keterlibatan mereka hanya sebatas tanda tangan dan menjadi pemula pada program itu. Sampai program selesaipun mereka tidak pernah tahu.
Lain lagi di Desa Buleuen yang jumlah penduduknya 1.765.344 jiwa, dengan 464 kepala keluarga, 30 kepala keluarga perempuan dan 199 perempuan hamil, 123 balita, dan selebihnya anak-anak, remaja dan lansia. Di desa ini anggaran untuk dana kesehatannya adalah Rp 150.000 pertahun, Perbaikan jalan yang tidak pernah tuntas dan beberapa program lainnya yang peduli terhadap rakyat miskin dan sensitive gender. Di desa ini yang hadir dalam forum desa adalah perangkat desa, tokoh masyarakat dan beberapa tokoh agama. Jangankan perempuan, masyarakat laki-laki yang bukan tokoh atau orang terpandang di desa tidak pernah diajak untuk membicarakan kebijakan yang akan diambil di desa ini.
Dua contoh kasus di atas pernah terjadi di beberapa desa di Negara kita dan di Aceh, bahkan sampai sekarang masih terjadi. Program yang dilaksanakan untuk pemberdayaan janda tidak tepat sasaran dan juga dana kesejahteraan dan kesehatan yang hanya Rp 150.000- pertahun dengan jumlah ibu hamil dan anak yang tidak sesuai. Jika kita kaji hal ini tidak akan terjadi apabila kita ikut dalam perencanaan dan penganggaran serta mengontrol jalannya program pembangunan tersebut.
Dalam sebuah forum diskusi bersama kaum perempuan di beberapa desa di Banda Aceh, ditemukan banyak fakta. Mereka malah tidah pernah mendengar apa itu musrembang, apa itu APBD, mengapa harus membayar pajak dan bagaimana pengelolaannya serta beberapa struktur dan forum pengambilan kebijakan lainnya. Lalu sebagian perempuan lainnya mengatakan tahu dan ikut, namun mereka hanya sebagai pelengkap saja, seperti menjadi tim konsumsi menyediakan makanan dan minuman untuk kaum laki-laki.
Padahal dalam aturan dan undang-undang negara kita sudah ada aturan mengenai keterlibatan peran serta setiap masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dalam perencanaan dan anggaran.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, sudah dijelaskan bahwa setiap warga negara adalah tanggung jawab negara. Untuk menunjang bahwa negara sudah memasukkan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya, maka sangat penting keterlibatan setiap warga negara dalam perencanaan pembangunan, Hal ini dimaksud untuk memastikan bahwa kebutuhan setiap warga negara baik dalam bidang kesehatan, pendidikan dan hak-hak warga negara lainnya yang perlu dirangkum dalam program pembangunan.
Undang-undang No 7 tahun 1984, menjelaskan tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Artinya perempuan dan laki-laki berhak diikutsertakan dalam setiap forum penting dan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Dalam PP No 8 tahun 2008, pada pasal 3, di.jelaskan tahapan dan tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan . Dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah harus berkeadilan dengan prinsip keseimbangan gender. Lalu dalam PP No 8 tahun 2008, pasal 33, dalam menyusun kerangka study dan instrumen analisis harus mempertimbangkan analisis, biaya dan manfaat, analisis kemiskinan dan analisis Gender. Selain itu juga ada Permendagri No 15 tahun 2008, pasal 4, ayat 1 dan 2, juga dijelaskan pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan program dan kegiatan pembangunan yang berpekspektif gender melalui analisis gender.
Walau sudah ada beberapa undang-undang dan aturan mengenai peran serta masyarakat dalam perencanaan dan anggaran, namun kondisi rill saat ini sangat sedikit warga yang ikut dalam forum perencanaan dan anggaran serta forum pengambil kebijakan lainnya. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah, kurangnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya serta juga dipengaruhi oleh factor pendidikan dan budaya patriaki yang masih kuat di Indonesia. Sebenarnya pola ini bisa kita rubah dengan lebih aktif mengikuti forum-forum pengambilan kebijakan mulai dari tingkat kelurahan atau gampong mukim dan kota. Dengan lebih berperan aktif mulai dari perencanaan, penganggaran dan bahkan sampai pelaksanaan program pembangunan. Dengan pro aktif maka kita bisa menyuarakan kebutuhan, ide dan aspirasi bersama.
Semoga tulisan dan cerita di atas menjadi bahan renungan untuk lebih pro aktif dalam perencanaan dan penganggaran serta menjalankan control kita terhadap pelaksanaan program pembangunan yang dijalankan.
Saleum Damee