Hutan kita, yang menjadi tempat dan sumber kehidupan semua makhluk hidup, manusia, flora dan fauna, serta sebagai sumber CO2 dan lainnya itu, kini kian hari kian menyusut, sejalan dengan tingginya aksi deforestasi yang dilakukan oleh para pembabat hutan.
Penyusutan kawasan hutan tidak hanya terjadi akibat aktivitas ilegal, tetapi juga akibat adanya kebijakan yang menyasar pada penggunaan kawasan hutan melalui usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta izin pinjam kawasan hutan. Baik yang digunakan untuk operasi produksi tambang maupun nontambang, serta peruntukan lainnya. Penyusutan kawasan hutan yang diakibatkan oleh aktivitas ilegal selama ini selalu dituding sebagai penyebab utama pengawahutananatau deforestasi. Padahal kebijakan negara juga berkontribusi terhadap laju deforestasi dengan dalih kebutuhan infrastruktur, energi, industri maupun sebagai lahan pertanian. Deforestasi telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah telah terganggu akibat perusakan hutan yang terus terjadi. Kondisi ini akan menyebabkan semakin seringnya terjadi kekeringan pada musim kemarau, serta banjir dan longsor pada musim penghujan.
Pada akhirnya kondisi tersebut akan berdampak serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Kasus pengawahutananatau deforestasi di Aceh terjadi akibat tata kelola dan pengawasan hutan yang sejatinya mengalami pemunduran. Alih fungsi hutan untuk pembukaan lahan perkebunan merupakan salah satu kasus yang tidak mengedepankan aspek ekologis.Kerusakan lahan akibat bencana ekologis seluas ± 24.423 hektare (ha), yang diakibatkan oleh banjir seluas ± 12.339 ha, kekeringan seluas ± 12.064 ha, dan erosi seluas ± 20 ha.
Tingkat kerugian tertinggi disebabkan oleh banjir yang mengakibatkan 446 rumah dan 5 sekolah terendam dan rusak, ± 12.339 ha sawah gagal panen, 50.259 jiwa mengungsi. Total kerugian yang diakibatkan oleh banjir mencapai Rp726,6 miliar. Kebakaran hutan mengakibatkan ± 487 ha hutan dan lahan rusak, kerugian ditaksir mencapai Rp107 miliar. Kekeringan mengakibatkan ± 12.064 ha sawah tidak dapat dialiri dan puso, kerugian akibat kekeringan mencapai Rp114,8 miliar. Angin kencang mengakibatkan 260 rumah rusak dan 5 korban jiwa, kerugian mencapai Rp10,9 miliar. Puting beliung mengakibatkan 175 rumah rusak dan 5 korban jiwa, kerugian mencapai Rp7 miliar. Total dampak yang ditimbulkan oleh bencana mencakup 897 rumah rusak, ± 3.200 meter jalan rusak, 5 sekolah rusak, ± 24.423 ha sawah gagal panen, 50.270 jiwa mengungsi, 1.728 jiwa mengalami krisis air dan ± 487 ha hutan dan lahan terbakar. Total kerugian yang dialami akibat bencana alam mencapai Rp969,32 miliar.
Aktivitas pertambangan emas ilegal juga masih terjadi secara masif di Aceh. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh menemukan tujuh lokasi pertambangan emasilegal yang masih aktif sampai akhir tahun 2018, yaitu di Kabupaten Aceh Selatan terletak di kawasan Gunung Mersak, Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah dan Kecamatan Pasie Raja; Kabupaten Nagan Raya terletak di Kecamatan Beutong; Kabupaten Aceh Barat berada di kawasan Sungai Mas; Kabupaten Pidie berada di Kecamatan Mane dan Geumpang; Kabupaten Aceh Jaya berada di kawasan Gunung Ujeun; Kabupaten Aceh Besar berada di Gampong Geunteut dan Gampong Jantang, Kecamatan Lhong serta Kabupaten Aceh Tengahberada di Kampung Lumut, Kecamatan Linge Guruguh. Dari tujuh lokasi tersebut, WALHI Aceh sudah melakukan investigasi lapangan di empat lokasi, yakni di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Selatan.
Sebagai solusi penyelesaian konflik hutan dan lahan, sejak tahun 2016, WALHI Aceh telah memfasilitasi dan mendampingi masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Bener Meriahdan Kabupaten Aceh Selatanuntuk ikut terlibat aktif dalam pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus memanfaatkanya secara lestari sebagai sumber kesejahteraan.Model Wilayah Kelola Rakyat yang dikembangkan menggunakan skema Program Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial merupakan mata rantai penghubung antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Hutan merupakan sumber daya alam terbarukan yang memiliki nilai ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berkontribusi terhadap kehidupan manusia. Nilai atau fungsi hutan yang sangat penting tersebut di antaranya sebagai pengatur hidrologi, penyuplai oksigen, filter polusi udara, menjaga kesuburan tanah, pengawetan keanekaragaman hayati, serta sebagai sumber plasma nutfah. Meskipun hutan memiliki berbagai manfaat, jika tidak dikelola dengan benar, maka dapat memberikan dampak buruk dengan ragam potensi bencana dan konflik bagi pemerintah dan masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar masih menggantungkansumberpenghidupannya dari sumber daya hutan.
Model wilayah kelola rakyat yang dikembangkan WALHI Aceh, tidak hanya fokus pada luasan wilayah yang dapat diakses secara legal oleh masyarakat di kawasan hutan, tetapi juga melalui kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat dan akses terhadap pasar bagi masyarakat yang hidupnya berada di dalam dan atau sekitar hutan. Sampai dengan bulan November 2018, terdapat dua desa dampingan yang telah memperoleh Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan luas 1.869 ha, sedangkan dua desa lain telah diverifikasi teknis dengan luas 13.680 ha.
Implementasi kebijakan perhutanan sosial di Aceh masih dihadapkan pada beberapa isu strategis yang dapat dikelompokkan dalam empat isu, yaitu isu kebijakan (norma, standar prosedur, dan kriteria), anggaran, kelembagaan, dan persepsi. Berdasarkan tantangan dan permasalahan yang dihadapi, WALHI Aceh menganggap penting untuk mendiskusikan dan mencari solusi terhadap tantangan dan isu strategis demi mempercepat implementasi perluasan wilayah kelola rakyat di Aceh.
Selama tahun 2018 WALHI Aceh mengadvokasi sepuluh dugaan kasus lingkungan hidup.Sepuluh kasus tersebut berdasarkanpada hasil investigasi dan laporan dari masyarakat.Kasus yang dilaporkan masyarakat dan diinvestigasi tidak hanya terbatas pada aktivitas yang ilegal, tetapi terdapat beberapa kasus yang dilaporkan warga berasal dari aktivitas legal atau perusahaan yang telah memiliki izin, baik usaha pertambangan maupun perkebunan. Aktivitas ilegal yang diadvokasi meliputi kasus penambangan emas dan batu bara, perambahan hutan bakau (mangrove), pencemaran limbah, dan perkebunan.
Sebagai komponen utama dalam upaya perlindungan lingkungan hidup, diperlukan kebijakan dan anggaran yang memiliki misi spesifik terkait pengelolaan lingkungan hidup. Akan tetapi hasil kajian WALHI Aceh terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) menunjukkan bahwa tidak ada misi spesifik terkait pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi turunan dalam RPJMA Tahun 2012-2017. Hal ini kemudian berdampak terhadap penentuan program prioritas dan sasaran pembangunan, serta penentuan kegiatan anggaran dalam periode 2014-2018. Meskipun termuat dalam isu strategis pembangunan, tetapi secara sasaran pembangunan tidak mampu diterjemahkan target yang konkret