Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Hutan juga mempunyai fungsi klimatologis yang sangat penting untuk mengatur iklim lokal dan global serta menjaga siklus perubahan cuaca. Selain itu, hutan juga mempunyai fungsi hidrologis untuk menjaga daerah resapan air, menjaga persediaan air, dan ketersediaan air[1]. Sedangkan lahan atau sumber daya lahan merupakansuatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi di mana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah[2].
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 859/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2016 tanggal 11 November 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865 /Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Aceh dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan bahwa Provinsi Aceh memiliki total luas Kawasan Hutan dan Konservasi seluas 3.563.813 ha yang terdiri atas Wilayah Konservasi Daratan 1.057.628 ha, Hutan Lindung (HL) 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 145.384 ha, Hutan Produksi (HP) 551.073 ha, dan Hutan Produksi Konversi (HPK) 15.378 ha.
Jika dibandingkan dengan SK 103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015, maka kawasan hutan Aceh mengalami penambahan seluas 5.885 ha. Dengan rincian, terjadi penambahan luasanKawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) dari 1.058.131 ha menjadi 1.087628 ha, Hutan Lindung dari 1.744.240 ha menjadi 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas dari 141.771 ha menjadi 145.384 ha, Hutan Produksi dari 598.365 ha menjadi 551.073 ha, dan Hutan Produksi Konversi dari 15.409 ha menjadi 15.378 ha.
Perkembangan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan berdasarkan reviewQanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033 didapati luas usulan perubahan kawasan hutan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang diusulkan perubahan fungsi 18.462 ha, perubahan peruntukan 3.331 ha, dan penunjukan baru 3.568 ha. Persetujuan perubahan kawasan hutan KSA/KPA yang mengalami perubahan fungsi seluas 2.613 ha, perubahan peruntukan 2.630 ha, dan penunjukan baru 3.028 ha. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh pada kawasan Hutan Lindung yang diusulkan perubahan fungsi seluas 64.654 ha, perubahan peruntukan seluas 67.488, dan penunjukan baru 18.224. Persetujuan perubahan kawasan Hutan Lindung yang mengalami perubahan fungsi seluas 60.590 ha, perubahan peruntukan 35.010 ha, dan penunjukan baru 7.864 ha[3].
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh pada kawasan Hutan Produksi Terbatas yang diusulkan perubahan fungsi seluas 4.517 ha, perubahan peruntukan seluas 5.496 ha, dan penunjukan baru 5.743 ha. Persetujuan perubahan kawasan Hutan Lindung yang mengalami perubahan fungsi seluas 654 ha, perubahan peruntukan 960 ha, dan penunjukan baru 10.113 ha. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh pada kawasan Hutan Produksi yang diusulkan perubahan fungsi seluas 91.903 ha, perubahan peruntukan seluas 55.402 ha, dan penunjukan baru 1.137 ha. Persetujuan perubahan kawasan Hutan Lindung yang mengalami perubahan fungsi seluas 66.685 ha, perubahan peruntukan 41.565 ha, dan penunjukan baru 5.456 ha.
Usulan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Aceh
Total usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh berdasarkan reviewQanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh Tahun 2013-2033 seluas 342.528 ha, sedangkan yang disetujui seluas 237.259 ha. Persetujuan perubahan kawasan hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.941/Menhut-II/2013 tanggal 23 Desember 2013 dan Surat DPR RI Nomor: PW/09557/DPR RI/IX/2014 tanggal 25 September 2014 mengenai Persetujuan Perubahan Kawasan Hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS).
Persetujuan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Aceh
Luasan Izin Pinjam Kawasan Hutan yang digunakan untuk survei/eksplorasi (tambang) dari tahun 2012 sampai dengan Desember 2017 seluas 59.855 ha, luas Izin Pinjam Kawasan Hutan yang digunakan untuk operasi produksi (tambang) pada periode yang sama seluas 444,42 ha. Sedangkan Izin Pinjam Kawasan Hutan untuk keperluan nontambang sampai Desember 2017 seluas 1.325,14 ha.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyusutan kawasan hutan tidak hanya terjadi akibat aktivitas ilegal, tetapi juga terjadi akibat adanya kebijakan yang menyasar pada penggunaan kawasan hutan melalui usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta izin pinjam kawasan hutan, baik yang digunakan untuk operasi produksi tambang maupun nontambang.
Penyusutan luasan kawasan hutan yang diakibatkan oleh aktivitas ilegal selama ini selalu dituding sebagai penyebab utama pengawahutananatau deforestasi, padahal kebijakan negara juga berkontribusi terhadap laju deforestasi dengan dalih kebutuhan infrastruktur, energi, industri, maupun sebagai lahan pertanian. Deforestasi telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah telah terganggu akibat dari perusakan hutan yang terus terjadi. Kondisi ini akan menyebabkan semakin seringnya terjadi kekeringan saat musim kemarau serta banjir dan tanah longsor pada musim penghujan. Pada akhirnya kondisi tersebut akan berdampak serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Kasus pengawahutananatau deforestasi di Aceh terjadi akibat tata kelola dan pengawasan hutan yang sejatinya mengalami pemunduran. Alih fungsi hutan untuk pembukaan lahan perkebunan merupakan salah satu kasus yang tidak mengedepankan aspek ekologis.Kerusakan lahan akibat bencana ekologis seluas ± 4.423 ha, yang diakibatkan oleh banjir seluas ± 12.339 ha, kekeringan seluas ± 12.064 ha, dan erosi seluas 20 ha.
Surat Keputusan Gubernur Nomor 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik yang dikecualikan di Lingkungan Pemerintah Aceh, pada lampiran menyebutkan tentang sumber daya Alam, artinya membatasi ruang masyarakat untuk berpartisipasi dalam rangka pemajuan lingkungan hidup, pemegang saham yang memiliki izin usaha pertambangan, izin pemanfaatan air, dan izin usaha ketenagalistrikan.Kondisi ini membuka peluang kepada siapa saja untuk merusak lingkungan hidup di Aceh karena surat keputusan tersebut membatasi masyarakat dalam rangka berpartisipasi dalam rangka menjaga lingkungan hidup. Sehingga aturan yang diberlakukan juga bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Pasal 10 menyebutkan bahwa Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Dengan berlakunya keputusan gubernur tersebut mengabaikan aturan yang lebih tinggi, sehingga aturan yang diberlakukan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Artinya, Pemerintah Aceh membuka ruang kepada semua pihak untuk merusak lingkungan hidup yang ada di Aceh.Selain itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 23 Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat, (3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
Kemudian Pasal 68 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Semangat lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bertujuan membuka ruang kepada masyarakat untuk memperoleh informasi sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan di Aceh. Namun lahirnya aturan gubernur di atas mengabaikan undang-undang tersebut. WALHI Aceh siap melakukan gugatan hukum terhadap Keputusan Gubernur Aceh Nomor 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik yang dikecualikan di lingkungan Pemerintah Aceh.
[1]A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 10
[2]Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press
[3]Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia