Oleh : Durratul Islami dan Cut Intan Zuhra
Mahasiswi Psikologi, angkatan 2015 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Setiap orang berhak untuk bekerja, tidak memandang individu tersebut dari kelompok masyarakat normal maupun kelompok masyarakat difabel. Orang dengan penderita difabel atau penyandang disabilitas sering dibedakan karena cenderung dianggap lebih lemah oleh orang-orang normal pada umumnya. Namun kenyataannya tidak semua penderita difabel atau penyandang disabilitas adalah orang yang lemah dalam mengerjakan sesuatu, sehingga penderita difabel atau penyandang disabilitas berhak memiliki hak-hak yang dapat menunjang kegiatan mereka.
Dalam Undang-Undang No 4 tahun 1997 pada pasal 13 menyebutkan bahwa “Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.” Selain itu hak para penderita difabel diatur dalam UU Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 pasal 5 BAB III menyebutkan bahwa penderita difabel memiliki hak untuk melakukan pekerjaan seperti orang normal pada umumnya. Berdasarkan UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja difabel juga memiliki hak yaitu, 1) Mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya 2) Mendapatkan perlakuan yang sama 3) Tidak mendapatkan diskriminasi 4) Mendapatkan upah yang sama dengan pekerja biasa 5) Mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan dalam bekerja.
Jumlah penyandang disabilitas intelektual di Indonesia ternyata tidaksedikit. Menurut Pusdatin dan Direktorat Orang Dengan Kecatatan jumlahtotal penyandang disabilitas di Indonesia adalah 2.126.000 denganpenyandang disabilitas intelektual sebanyak 13,68 % atau sebanyak 290.837.Sedangkan pada tahun 2007-2009 di 24 provinsi di Indonesia, jumlahpenyandang disabilitas yaitu 1.648.847, dengan penyandang disabilitasintelektual sebanyak 249.364 atau berada di urutan kedua terbanyak setelahpenyandang disabilitas fisik.
Di dalam dunia kerja sudah pasti kelompok difabel memerlukan aksesibilitas yang mudah untuk mendukung kenyamanan dalam kinerjanya. Seperti halnya yang dikatakan oleh Yunizar (2015) untuk meningkatkan kualitas hidup bagi kelompok masyarakat, khususnya kelompok difabel, didasarkan atas prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan terutama yang berhubungan dengan masalah aksesibilitas, rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan serta pendidikan.
Dalam hal pendidikan sendiri masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum bersedia menerima penyandang disabilitas sebagai mahasiswanya. Mereka masih menyimpan asumsi bahwa penyandang disabilitas tidak akan mampu mengikuti program perkuliahan karena keterbatasan fsik mereka yang dapat mengganggu proses belajar mengajar di kelas (Sholeh, 2015). Civitas akademika belum bisa menerima penyandang disabilitas sebagai bagian dari civitas akademiknya, karena berbagai alasan, misalnya, antara lain, mereka belum siap menyediakan fasilitas yang menunjang proses belajar-mengajar bagi penyandang disabilitas dan menyangsikan kemampuan akademik mereka, karena keterbatasan fisik yang melekat (Sidiq, 2007). Damayanti (2016) menyebutkan bahwa ergonomi diterapkan dan dipertimbangkan dalam proses perencanaan sebagai upaya untuk mendapatkan hubungan yang serasi dan optimal antara pengguna produk dengan produk yang akan digunakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, yang dimaksud aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sementara dalam CRPDS (The Convention on the Human Right of Persons with Disabilities) Pasal 9 Ayat 1 tentang aksesibilitas, dinyatakan bahwa dalam rangka memampukan penyandang disabilitas untuk hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan, maka negara-negara pihak harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin akses penyandang disabilitas terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau disediakan bagi publik, baik di perkotaan maupun di pedesaan, atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain.
Langkah-langkah yang di dalamnya harus mencakup identifkasi dan penghapusan semua hambatan dan penghalang terhadap aksesibilitas, antara lain harus berlaku bagi: a) bangunan, jalan, transportasi, dan fasilitas lainnya, baik di dalam ruangan termasuk sekolah maupun perumahan, fasilitas kesehatan dan tempat kerja; b) informasi, komunikasi, dan pelayanan lainnya termasuk pelayanan elektronik dan pelayanan gawat darurat. Sementara pada ayat 2, negara-negara pihak juga harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: a) mengembangkan, menyebarluaskan, dan memonitor pelaksanaan standar-standar minimum dan panduan bagi aksesibilitas fasilitas dan pelayanan yang terbuka atau disediakan untuk publik; b) menjamin bahwa lembaga swasta yang menawarkan fasilitas dan pelayanan yang terbuka atau disediakan untuk publik mempertimbangkan semua aspek dalam hal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; c) menyelenggarakan pelatihan bagi para pemangku kepentingan berkaitan dengan persoalan aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas; d) menyediakan tandatanda dalam tulisan Braille dan dalam bentuk yang mudah dibaca serta dipahami pada bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya yang terbuka bagi publik; e) meningkatkan bentuk bantuan dan mediasi, termasuk pemandu, pembaca, dan penerjemah bahasa isyarat yang profesional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya yang terbuka bagi publik; f) meningkatkan bentuk-bentuk bantuan dan dukungan lainnya yang tepat bagi penyandang cacat untuk menjamin akses mereka terhadap informasi; g) memajukan akses bagi penyandang cacat akan informasi dan teknologi dan sistem komunikasi terbaru, termasuk internet; h) memajukan sejak tahap awal desain, pengembangan, produksi, dan distribusi teknologi dan sistem informasi dan komunikasi yang dapat diakses, sehingga teknologi dan sistem tersebut dapat diakses dengan biaya seminimal mungkin (Sholeh, 2015).
Keterbatasan bukan lagi pembatas atau alasan terhadap apapun, setiap manusia semuanya sama tidak harus ada perbedaan. Semakin berkembangnya zaman, maka berkembang pula ilmu manusia. Oleh karena itu ilmu ergonomi memiliki peran penting terhadap setiap keterbatasan pada manusia sehingga keterbatasan bukan lagi alasan.