Pagi ini, hari Kamis, tanggal 13 Desember 2018, seorang teman di Aceh Tenggara, mengirimkan beberapa gambar atau foto tentang peristiwa banjir di desa Kuning, kecamatan Bambel Aceh Tenggara. Katanya, dalam dua minggu ini sudah 5 titik dihantam banjir bandang. Padahal, korban banjir yang melanda daerah ini beberapa hari lalu, masih belum tertangani dengan baik, kini banjir datang menghamtam lagi pemukiman dan harta benda penduduk di desa Kuning, kecamatan Babel, Aceh Tenggara tersebut. Betapa pilu nasib masyarakat di kabupaten ini.
Banjir, banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, tampaknya memang sudah menjadi langganan setia masyarakat Aceh. Bukan hanya langganan, tetapi menjadi bencana kronis, karena terus terjadi, tanpa ada yang mampu mengatasinya lagi. Banyak fakta yang telah memaparkan dan menceritakan kepada kita tentang bencana banjir di daerah ini. Bila tidak percaya, bukalah pintu informasi, bukalah Google, cara berita banjir, maka banyak fakta yang mencengangkan dan memilukan itu bisa dibaca dan disimak.
Salah satu berita tersebut adalah apa yang diberitakan Detiknews, edisi 16 Oktober 2018 berikut: “Banjir melanda Aceh Barat, Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Jaya. Bencana ini merendam 33 kecamatan dengan jumlah 113 Desa. Masyarakat di sejumlah desa hingga kini masih memilih mengungsi ke masjid atau pun tempat-tempat ketinggian.
Di Aceh Selatan, banjir merendam 11 desa yaitu Kecamatan Trumon Tengah, Kota Bahagia, Kluet Tengah, Pasie Raja, Tapaktuan, Kluet Timur, Kluet Utara, Kluet Selatan, Samadua, Trumon Timur dan Bakongan. Banjir luapan di wilayah ini terjadi sejak Senin (16/10/2018) sore setelah kawasan tersebut diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Sementara di Aceh Barat, banjir merendam rumah warga dan juga jalan raya. Akses Jalan Teupin Peraho-Woyla Barat masih tergenang dan akses Jalan Ateng Teupat Kecamatan Bobon kembali dilanda banjir.
Banjir juga terjadi di Desa Pulo Tinggi Kecamatan Pasie Raya sekitar pukul 06.16 WIB dengan tinggi air rata-rata berkisar 1,5 meter, Kecamatan Pasie Timpleung tinggi air rata-rata berkisar 1,5 meter. Kedua kecamatan ini terletak di Aceh Jaya,” jelas Dadek.
Di Aceh Jaya, banjir merendam ribuan rumah di lima kecamatan. Sebagian desa di sana sudah mulai terendam sejak sore dan malam kemarin. Akibatnya, hingga kini warga Desa Tuwi Kareung mengungsi ke rumah saudara yang berdekatan dan Desa Lhok Guci dan Desa Tuwi Peuriya mengungsi ke Masjid.
Masih sangat banyak berita bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh selama ini. Karena terlalu sering dan tingginya kasus bencana banjir tersebut, bahkan ada kabupaten di Aceh, yakni Aceh Utara dan Aceh Jaya yang menetapkan kedua daerah tersebut dalam status darurat banjir. Artinya kasus bencana banjir yang melanda Aceh, kini semakin parah. Sayangnya, ketika bencana banjir melanda, letak kesalahannya dibebankan kepada hujan. Ya.karena curah hujan yang tinggi. Padahal hujan tidak pernah menyalahkan kita.
Kehancuran lingkungan hidup atau kerusakan alam di Aceh dan di Indonesia, akibat ulah tangan manusia semakin nyata. Bukti nyata itu adalah bencana banjir bandang, dan tanah longsor yang kini terjadi silih berganti yang melanda di hampir ke 23 Kabupaten/Kota. Bencana banjir dan banjir bandang yang juga bencana tanah longsor tersebut pun semakin tidak mampu diatasi.
Penyebabnya karena ulah kita, terutama orang-orang atau pihak-pihak, individu maupun korporasi yang mengeksploitasi alam dengan cara-cara serampangan dan serakah. Mereka hanya ingin mengeruk keuntungan sampai bisa menghidupkan keluarga mereka hingga 7 generasi atau lebih, tanpa memikirkan nasib rakyat yang menderita dan menjadi korban bencana akibat ulah mereka yang membabat hutan, mengeruk dan menghancurkan hutan. Mereka hanya memikirkan perut dan kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa mau peduli akan penderitaan rakyat atau masyarakat yang setiap saat menjadi korban bencana tersebut. Celakanya lagi, bencana banjir bahkan dianggap sebagai fenomena dan realitas biasa, tanpa penyebab utama. Padahal, bila kita mau membuka mata, penyebab banjir dan banjir bandang tersebut adalah karena kita merusak alam, melakukan deforestasi, pembalakan legal dan illegal, membuka perkebunan sawit seluas-luasnya hingga ke hutan lindung dan sebagainya.
Kita tahu bahwa bangsa dan negeri ini membutuhkan sumber data alam untuk menopang kehidupan kita, untuk pembangunan kehidupan Indonesia yang sejahtera. Namun, kehidupan sejahtera itu hanya menjadi milik mereka yang memiliki kuasa atas kepentingan eksplotasi sumber daya alam dengan mengatasnamakan pembangunan bangsa.
Kita bisa melihat banyak fakta yang membuat kita berfikir dan berpendapat bagaimana sumber daya alam kita terus digerus dan alamnya dirusak, oleh banyak hal dan pihak. Lihat saja bagaimana nasib hutan kita sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang secara besar-besaran mengeksplotasi hutan, peruntukan dan fungsinya. WALHI Aceh, menyebutkan bahwa penyusutan kawasan hutan tidak hanya terjadi akibat aktivitas ilegal, tetapi juga terjadi akibat adanya kebijakan yang menyasar pada penggunaan kawasan hutan melalui usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta izin pinjam kawasan hutan, baik yang digunakan untuk operasi produksi tambang maupun nontambang.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa peruntukan dan fungsi kawasan hutan berdasarkan reviewQanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033 didapati luas usulan perubahan kawasan hutan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang diusulkan perubahan fungsi 18.462 ha, perubahan peruntukan 3.331 ha, dan penunjukan baru 3.568 ha. Persetujuan perubahan kawasan hutan KSA/KPA yang mengalami perubahan fungsi seluas 2.613 ha, perubahan peruntukan 2.630 ha, dan penunjukan baru 3.028 ha. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh pada kawasan Hutan Lindung yang diusulkan perubahan fungsi seluas 64.654 ha, perubahan peruntukan seluas 67.488, dan penunjukan baru 18.224. Persetujuan perubahan kawasan Hutan Lindung yang mengalami perubahan fungsi seluas 60.590 ha, perubahan peruntukan 35.010 ha, dan penunjukan baru 7.864 ha[1].
Selain itu, kerusakan hutan dan lingkungan alam juga terjadi sebagai akibat dari kegiatan perkebunan. Karena sector perkebunanmerupakansalahsatusektorpalingpotensialdiAceh. WALHI Aceh memaparkan sebagai berikut. Berdasarkan dataPemerintahAceh, penguasaanruang/kawasan untuk sektorini mencapai1.195.528 ha (perkebunan besar 385.435 ha dan perkebunan rakyat 810.093 ha). PerkebunanbesardalambentukHakGunaUsaha(HGU) denganpenguasaanlahan terluas berada di Kabupaten Aceh Timur 101.321 ha; Kabupaten NaganRaya65.455ha;AcehTamiang46.371ha;AcehSingkil45.008ha;AcehBarat42.322ha;AcehUtara35.200ha;Subulussalam14.973ha;AcehBaratDaya12.772 ha; Aceh Jaya 11.317 ha; Aceh Selatan 5.201 ha; Bireuen 4.371 ha; Pidie Jaya 416 ha; Aceh Tengah 353 ha; Pidie 242 ha, dan Aceh Besar 113ha.
Lahan eks Hak Guna Usaha PT. Cemerlang Abadi, di Kabupaten Aceh Barat Daya
Sebaran perkebunan rakyat dengan penguasaan kawasan terluas berada di Kabupaten Aceh Utara 70.663 ha; Aceh Timur 70.336 ha; Aceh Tengah 64.659 ha; Nagan Raya 60.368 ha; Bener Meriah 54.047 ha; Aceh Tamiang 43.040 ha; Aceh Selatan38.947ha; AcehJaya38.843ha;AcehSingkil38.508ha;AcehBarat38.073 ha;GayoLues37.484ha;Simeulue36.473ha;Bireuen36.434ha;AcehTenggara 36.379 ha; Pidie 34.598 ha; Aceh Besar 30.948 ha; Aceh Barat Daya 27.209 ha; Subulussalam 23.979 ha; Pidie Jaya 20.279 ha; Sabang 5.778 ha; dan luasan terkecil berada di Kota Langsa1.790 ha.
Ada 127 perusahaan di Aceh yang mengantongi izin HGU untuk beberapa jenis komoditas, seperti kelapa sawit, kakao, karet, kopi, jahe, lada, dan kemiri. Namun dari jenis komoditas tersebut, komoditas kelapa sawit mendominasi perkebunan besar yang tersebar di 15 kabupaten di Aceh. Tidak hanya perkebunan besar, fakta di lapangan komoditas kelapa sawit juga menjadi andalan perkebunan rakyat yang ada. Meskipun bila ditilik dari sejarah, masa-masa kejayaan Aceh tidak pernah tercatat dengan hasil kelapa sawit, tetapi karena komoditas lada, cengkeh, pala, pinang, dan beberapa komoditas lainnya kala itu.
Meskipun secara penguasaan lahan untuk perkebunan besar berada di Kabupaten Aceh Timur, tetapi jumlah perusahaan perkebunan terbanyak berada di Kabupaten Aceh Tamiang, sebanyak 27 perusahaan. Kemudian disusul Aceh Timur 25 perusahaan, Nagan Raya 15 perusahaan, Aceh Utara 12 perusahaan, Aceh Singkil 10 perusahaan, Subulussalam 9 perusahaan,AcehBarat7 perusahaan,Bireuen7 perusahaan,Aceh Barat Daya3 perusahaan,Aceh Jaya3 perusahaan,AcehSelatan3 perusahaan,AcehTengah2 perusahaan, Pidie 2 perusahaan, dan Pidie Jaya dan Aceh Besar masing-masing 1 perusahaan.
Sampaisaatini,belumditemukansatupenelitian punterkaitdengan menjamurnyaperkebunan sawit di Aceh dan mampu menjawab persoalan kemiskinan di Aceh. Penting dilakukan kajian secara akademik seberapa besar pengaruh perkebunan sawit (perkebunan besar/kecil) terhadap persoalan kemiskinan di Aceh. Karena untuk saat ini berdasarkan rekam kasus di lapangan, justru menjadi persoalan baru di tengah masyarakat. Terjadi praktik perburuhan, konflik sosial, sengketa lahan, konfliksatwa dengan manusia, hilang lahan pertanian warga, pencemaran dan berkurang debit air, dan banyak persoalan lain yang sampai hari ini belum mampu terselesaikan. Tidak hanya pelaku usaha perkebunan, pemerintah sendiri belum mampu menunjukan sikap sebagai upaya penyelesaian masalah tersebut.
Selayaknya, masyarakat dan rakyat bangsa ini bisa hidup aman dan nyaman dengan cara mengelola sumber daya alam yang berlandaskan keadilan dan lestari. Selayaknya pula pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, mulai dari Sabang hingga ke Meureuke, sadar dan mau mengelola sumber daya alam yang menyejagterakan rakyat, bukan memproduksi penderitaan akibat ulah tangan bangsa sendiri. Selayaknya, para pengelola bangsa ini sadar bahwa, upaya mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam seperti selama ini, sudah merusak tatanan kehidupan bangsa. Oleh sebab itu perlu semua sadar dan mau menjaga dan merawat kekayaan bumi Indonesia dengan bijak dan menyejahterakan semua lapisan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Semoga.
[1]Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti:
- Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat.
- Mengatur format dan tata letak teks.
- Memastikan konsistensi gaya penulisan.
Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada:
- Isi dan substansi teks.
- Pendapat dan opini penulis.
- Data dan fakta yang disajikan.
Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.
Bio NarasiTabrani Yunis, kelahiran Manggeng, Aceh Barat Daya, Aceh berlatarbelakang profesi seorang guru bahasa Inggris, mulaiaktif menulis di media sejak pada medio Juni 1989. Aktif mengisi ruang atau rubrik opini di sejumlah media lokal dan hingga nasional. Menulis artikel, opini, essay dan puisi pilihan hidup yangkebutuhan hidup sehari-hari. Telah menulis, lebih 1000 tulisan berupa opini, esası dan puisi yang telah publikasikan di berbagai media.Menerbitkan 2 buku, yang merupakan kumpupan tulisan dalam buku Membumikan Literasi dan buku antologi puisi “ Kulukis Namamu di Awan”Aktif terlibat dalammembangun gerakan literasi anak negeri sejak tahun 1990 terutama di kalangan perempuan dan anak.Bersama mendirikan LP2SM ( Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber daya Manusia) dan di tahun 1993 mendirikan Center for Community Development and Education (CCDE). Lalu, sebagai Direktur CCDE membidani terbitnya Majalah POTRET (2003) dan majalah Anak Cerdas (2013). Kini aktif mengelola Potretonline.com dan majalahanakcerdas.com, sambil mempraktikkan kemampuan entreneurship di POTRET Gallery, Banda Aceh