Oleh Muhammad Ikbal
Sinar mentari pagi mulai tampak di ufuk timur. Kehangatannya memaksa melepaskan dekapan hawa subuh yang sudah satu jam membuat mataku terkulai-kulai menahan kantuk sisa semalam. Ustadz Ahmad begitu bersemangat mengusir setan-setan di pelupuk mata kami. Intonasi surah kitab yang dibacakan mulai tinggi, Seakan-akan menggoyang-goyangkan tubuh yang sepai sepoi di atas kapal yang hampir karam. “Coba buka halaman 139, pada hasyiah. Lihat tambih!”
Perintah itu membuat mataku terbelalak seketika. Kulihat Farhan si kakak pertama langsung menyimak. Azhar yang duduk di sebelahku langsung mencari halaman 139, begitu juga denganku. Satu persatu halaman kitab Nufahat itu kubolak-balik mencari angka 139 di pojok atas lembaran kuning. Ternyata tak kutemukan.
“5 halaman ke belakang, Teungku.” bisik Khairul pelan. Aku mengusap muka, menyeka mata yang dari tadi terlelap terlena setan tidur. Padahal sejak pukul 6 pagi ustad Ahmad mengupas satu persatu matan dan surah kitab di halaman 139. Ah, ini hal yang memalukan sekali. Mau bagaimana lagi, aku sudah terperangkap di atas ranjang mimpi subuh itu.
***
Satu persatu kami bersalaman dengan guru sebelum turun dari balai. Ustadz Ahmad memadai kajian kitab usul fiqih pagi ini lebih awal dari biasanya.
Dari belakang gang walet, santri kelas tajhizi berlarian mengejar Teungku Kamali yang menenteng dua kantong besar berisi nasi bungkus. Ini adalah pemandangan yang tiap pagi kusaksikan. Nasi bungkus sarapan pagi ala Umi selalu menjadi rebutan. Porsinya yang pas, soal rasa boleh di adu, kalau harga sesuai dengan kantong anak dayah. Siapa cepat dia dapat, begitu gambaran untuk nasi pagi ala Umi.
Kurengkuh tangan Fadhil, santri asal Blang Pidie yang ganteng dan smart. “Bantu saya untuk pagi ini, kamu bacakan saja kitab Waraqat, ya. Saya ada kerjaan pagi ini, ada khanduri untuk anak dayah nanti sore. Saya mau bantu Wak Mar masak.” pintaku pada Fadhil untuk menggantikan kelas yang kuampu di waktu dhuha.
Semalam aku menemani Zakir Nisam merajah giginya di sudut pasar Pulo. Aku memilih duduk di warung kopi. Tak kuperhatikan lagi mulut bang Min yang komat kamit membaca doa. Kuseruput minuman serbuk jahe merah hangat, sesekali aku mendeham. Tenggorokanku terasa sakit.
“Bang, apa paswordnya?” tanyaku pada pemilik warung.
“15 sampai 18,Teungku.” jawab singkat pria berbaju merah hati setelah meletakkan secangkir jahe hangat.
Satu persatu pesan messenger masuk, bertubi-tubi pesan WhatsApp dengan nada tak karuan menghantam. Notifikasi facebook yang menumpuk membuat smartphone menjadi lambat.
Mataku langsung tertuju pada panggilan tak terjawab dari nomor dengan kode negara +971. Pemilik nomor tersebut itu kukenal dalam dua tahun terakhir. Kami lebih banyak menghabiskan waktu berbagi ilmu di dunia maya tentang dunia sosial.
Aku membuka pesan dari bang Roni. “Coba Hamzah cek saldo ya, saya kirim uang untuk khanduri besok sore. Saya mau salat asar dulu.”
“Baik, bang. Amanah sudah saya terima dan akan saya salurkan.” sambil melihat jam dinding di samping poster Lionel Messi. Ternyata jam 8 malam di Acèh baru asar di negeri Syeh Zayyed, Uni Emirat Arab.
***
“Hamzah, kalau kamu kesini jangan lupa beli jahe sama serai.” pinta kak Na via telepon.
“Baik, sebentar lagi saya kesana.”
Teungku Ulim lewat di sebelahku saat menuju kulah di samping balè uké. Tanpa sengaja beliau mendengar percakapanku dengan kak Na.
“Maaf, Teungku Hamzah. Saya dengar nanti sore ada khanduri untuk anak dayah, ya?.Dan barusan saya dengar Teungku butuh jahe sama serai. Kebetulan di halaman belakang saya ada tanam jahe sama serai, Teungku ambil saja. Mungkin cukup untuk bumbu masak khanduri ini.”
” MasyaAllah Teungku Ulim, jazakallah.”
Teungku Ulim yang kukenal adalah pribadi yang berjiwa sosial tinggi. Kerap kali kudengar cerita pria berkulit sawo matang itu dari beberapa teman dekat beliau.
Rasanya aku ingin belajar menjadi pribadi seperti Teungku Ulim yang senang sekali dengan buku-buku novel dan cerpen. Hampir setiap sore Teungku Ulim membaca buku di lantai 3 bilik gang koperasi,sambil menikmati pemandangan sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang.
Dari ruas-ruas jahe yang kugali bersama Teungku Ulim tercium bau semerbak yang menyegarkan. Dalam batinku berkata “Mungkinkah jahe sedekah Teungku Ulim ini menjadi amalan yang membawanya ke surga.”
Dan aku meyakini Serumpun jahe ini adalah jahe dari surga.
Bate iliek, 3 November 2018