Oleh Tabrani Yunis
Akhir-akhir ini, semakin sering kita mendengar orang –orang berbicara atau mendiskusikan atau bahkan membuat seminar dan diskusi mengenai literasi. Bukan hanya itu, di media cetak, blog dan website pun banyak orang menulis mengenai literasi. Bahkan di media elektronik, audio seperti radio pun semakin sering kita mendengar iklan-iklan yang berupa himbauan atau ajakan untuk membaca sebagai bagian dari literasi tersebut. Fakta-fakta itu mengindikasikan bahwa literasi dibicarakan oleh banyak pihak, terutama orang-orang yang terpanggil jiwa dan nuraninya untuk berbuat atau melakukan aksi mengajak orang meningkatkan kemampuan literasi. Di Aceh saja, sangat banyak individu dan organisasi non pemerintah itu yang bergerak aktif. CCDE dengan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdasnya, Kampung Dongeng Aceh, FAMe, Ruman, Ikatan Guru Indonesia dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Mereka dengan sadar melakukannya, maka tidak salah bila kita menyebut mereka dengan atribut sebagai pegiat literasi, penggerak literasi dan sebagainya. Bahkan ada yang kemudian diberi gelar sebagai pakar literasi atau tokoh literasi serta sebagai pelopor gerakan literasi.
Pemerintah pun kini tersadar akan pentingnya membangun kemampuan literasi anak bangsa, terutama lewat jalur pendidikan. Sehingga pemerintah melalui Kemendikbud mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan nomor 23 Tahun 2015 tentang gerakan literasi sekolah (GLS). Sebuah rancangan program literasi yang bertujuan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik, meningkatkan ketrampilan membaca mereka dapat menguasai pengetahuan secara lebih baik. Salah satu kegiatannya adalah kegiatan membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum waktu belajar dimulai.
Tentu, semua ini merupakan inisiatif positif untuk menumbuhkan minat membaca dan membangun gerakan literasi, karena selama ini bangsa kita memiliki masalah dengan minat dan budaya membaca. Sebagaimana yang pernah dirilis oleh banyak media tentang data hasil studi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyatakan bahwa persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0.01% atau 1 berbanding 10.000. Data yang mencengangkan bukan? Memang mencengangkan dan bukan hanya itu, KOMPAS.com – edisi 26 Maret 2018 merilis pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada Senin 23/03/18). Puan menyebutkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 bahwa “ Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Sungguh memalukan. Lebih memalukan lagi ketika membaca hasil studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Begitu rendahnya peradaban kita dalam hal membaca. Kita tidak memiliki budaya membaca sehebat bangsa-bangsa maju di dunia. Mengapa demikian buruk budaya baca kita?
Bila kita mau menggali penyebab dari semua itu, pasti ada banyak factor penyebabnya, baik secara internal, maupun eksternal. Secara internal, tentu sifatnya sangat personal. Masing-masing personal tidak menjadikan membaca sebagai kebutuhan hidup, tetapi selama ini membaca itu dianggap dan dinyatakan sebagai hobi atau kegemaran. Ketika itu tidak menjadi kebutuhan dan hanya sekedar hobi, membaca adalah pilihan suka atau tidak. Ini adalah factor rendahnya kesadaran anak pentingnya membaca. Penyebabnya, bisa jadi karena tidak semua masyarakat tahu akan pentingnya membaca, seperti apa yang diperintahkan Allah dengan perintahNya yang pertama itu iqra. Maka, rendahnya minat baca dan budaya baca di tengah masyarakat kita, sebenarnya merupakan tidakan yang melanggar perintah Allah. Jadi, pantaslah kalau minat dan budaya serta kemampuan membaca kita rendah. Ini celaka bukan?
Lebih celakanya lagi, ketika kesadaran membaca masyarakat kita berada pada titik nadir, upaya-upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat baca oleh pemerintah juga sangat rendah. Pemerintah tampak tidak memainkan peran kampanye literasi secara serius. Hal ini bisa kita lihat pada rendahnya komitmen pemerintah di berbaga level. Sekolah yang seharus menjadi pusat belajar, tempat untuk membangun dan mengembangkan serta meningkatkan kualitas literasi peserta didik, banyak sekali sekolah yang tidak memiliki sarana atau fasilitas membaca yang cukup. Sekolah-sekolah kita, terutama yang berada di daerah hingga pedalaman, banyak yang miskin dengan bacaan. Kalau sekolah-sekolah saja miskin dengan bacaan, apalagi bacaan yang menarik dan berkualitas, bagaimana minat membaca bisa tumbuh dan meningkat? Mustahil bukan?
Idealnya pemerintah, harus memfasilitasi semua jenjang pendidikan dengan buku-buku bacaan yang menarik dan dalam jumlah yang cukup memadai. Kepala-kepala sekolah di lembaga pendidikan formal, harusnya membuat anggaran belanja buku bacaan sekolah secara optimal. Pengalaman selama ini, banyak kepala sekolah yang enggan membelanjakan dana untuk pembelian buku tersebut, karena banyak alasan. Seharusnya, wajib difahami bahwa membangun budaya literasi, tidak cukup dengan hanya mengajak peserta didik untuk membaca, tetapi dengan menyediakan bahan bacaan yang menarik bagi anak secara cukup dan memadai. Selain itu, pemerintah wajib melihat dan faham bahwa tugas membangun kemampuan literasi dalam konteks Indonesi, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Bukan pula hanya lewat kemendikbud, tetapi juga Kemenag, Badan Arsip dan Perpustakaan, secara lintas sektor dan instansi bersinergi dan sungguh-sungguh melakukan program literasi anak negeri.
Ya, bukan hanya dengan sesama instansi terkait, tetapi bisa merangkul para pegiat literasi di negeri ini untuk secara bersama-sama bergerak meningkatkan minat dan budaya membaca. Pemerintah bisa mengajak dan bekerja sama dengan para pegiat atau contributor pendidikan melaksanakan program literasi secara masif dan berkelanjutan. Pemerintah tidak boleh diam dan tidal boleh cuwek terhadap persoalan literasi anak negeri. Oleh sebab itu agar kampanye literasi bisa berjalan dengan baik, pemerintah harus menyediakan lebih banyak bahan bacaan, bai berupa buku, maupun majalah dan jurnal serta lainnya. Pemerintah harus menganggarkan dana yang cukup dan besar untuk menyediakan bacaan-bacaan yang menarik secara gratis dan ditempatkan di perpustakaan, taman bacaan, pojok baca dan lain-lain. Setelah difasilitasi semua kebutuhan literasi tersbut, maka pemerintah harus dengan komitmen yang tinggi membuat regulasi pelaksanaan kegiatan literasi dengan mengajak dan melibatkan para pegiat literasi dan semua pihak yang peduli.
Selayaknya pula persoalan literasi anak negeri ini menjadi perhatian khusus pemerintah dan semua elemen bangsa. Artinya semua pihak wajib memberikan dukungan agar terbangun gerakan bersama membangun kemampuan literasi bangsa. Tentu tidak hanya cukup dengan melakukan kampanye literasi yang ditujukan untuk membangun kesadaran peserta didik, pendidik dan orang tua akan pentingya menumbuh dan meningkatkan kemampuan literasi, akan tetapi perlu mendapat dukungan dalam bentuk bacaan-bacaan yang menarik dan diperlukan oleh semua anak, guru dan masyarakat. Oleh sebab itu, idealnya kampanye-kampanye literasi tersebut harus diikuti dengan penyediaan bacaan-bacaan yang menarik dan penting di sekolah-sekolah atau di taman-taman bacaan. Idealnya pula, sejalan dengan kuatnya arus kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seperti internet dan perangkat gadgets, saat ini dimana akses setrahadap segala sumber informasi dan bacaan semakin mudah dan murah, bacaan yang menarik itu selalu ada.
Bila pemerintah serius menggerakan gerakan peningkatan kemampuan literasi anak negeri, insya Allah geliat membangun gerakan literasi di Indonesia semakin menguat dan akan banyak sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki fasilitas buku dan bacaan yang menarik untuk dibaca oleh peserta didik di sekolah. Dampak posistifnya, masyarakat kita akan siap dalam menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kesulitan dalam menghadapi ujian nasional, tes pegawai dan sebagainya yang selama ini selalu diwarnai kecurangan dan ketidakjujuran. Mari wujudkan impian membangun gerakan litarasi anak negeri dengan kerja nyata dan sungguh-sungguh.
.