Oleh : Arni Savitrie
Aku adalah salah satu dari mereka yang mengabdi berpuluh – puluh tahun, menjadi guru. Guru, itulah predikat yang aku dan kawan-kawan sandang. Menjalankan tugas profesi tanpa lelah, walau hujan gerimis, jalan becek, kami tetap melaksanakan tugas dengan penuh semangat. Walau kami masih menjadi tenaga guru honorer. Perjalanan hidup sebagai guru honorer selama bertahun-tahun itu menjadi pengetahuan yang terus menggumpal. Ya, setiap kulayangkan pandanganku ke angkasa, seakan – akan aku menyentuh kaki langit yang terlihat rendah, kurasakan keagungan Tuhan yang Esa di jiwaku. Detik waktu terus bertambah meninggalkan kesan yang berbeda di relung hati yang gelisah.
Tahun baru, tanggal 01 Januari 2018 semua manusia di belahan dunia, dari barat sampai ke timur sibuk dengan aktivitas menyambut tahun baru masehi dengan gegap gempita. Sedangkan tahun baru Islam 01 Muharam berlalu begitu saja tanpa ada kesan yang bermakna. Sungguh amat disayangkan….! Tapi itulah tradisi bangsa.
Di tahun 2018 aku berharap cahaya harapan pada karirku benar – benar benderang menyinari kehidupanku. Dapatkah di tahun ini, aku goreskan lebih banyak warna di lembaran baru tahun 2018 ? Entahlah yang pasti aku akan selalu berusaha, meraih yang terbaik untuk semuanya. Galau merana sudah menjadi tembang kehidupan, namun aku tak ingin ia kuasai hatiku, mengikat jiwa dan fikiranku, meski terkadang ia datang menghampiri. Aku tepis ia dengan semangat, do’a dan dzikirku. Karena sesungguhnya, masih banyak yang harus dipikirkan tentang hal – hal yang lebih bermanfaat dan bermakna.
Sebagai seorang pengajar meski masih tenaga honorer, tapi aku punya rasa bangga dengan pekerjaanku. Aku masih percaya dengan uangkapan guru digugu dan ditiru baik perkataan ataupun perbuatannya, dan janji Allah SWT. Setiap pengajar yang amanah, adalah syurga balasnya. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku sejak kecil ingin menjadi seorang pendidik. Tidak peduli dengan jalan becek, licin, bahkan kendaraan yang sudah tua seringkali mogok. Semua ini tak menjadi alasan untuk tidak berangkat mengajar, meski sampai saat ini pemerintah belum memberikan kepastian yang valid bagi nasib tenaga honor. Hal ini, tidak menjadikan semangatku mengikis. Biarlah aku ikuti saja sesuai suratan takdir. Aku yakin dengan do’a, usaha, niat yang tulus ikhlas karena Allah semata. Allah SWT, tidak akan menyia – nyiakannya.
Beban kebutuhan hidup memang benar – benar aku rasakan berat, tapi itulah hidup. Tanpa adanya masalah, kita tidak akan tumbuh menjadi dewasa dalam menerima, serta menyikapi setiap masalah – masalah yang menghampiri disetiap waktu. Aku tahu, masalah bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi dengan mencari solusinya. Tanpa masalah, kita tidak akan jadi faham, dan mengerti siapa diri kita.
Menanti memang suatu pekerjaan yang sangat menjemukan, apalagi menunggu tanpa ada kepastian yang valid. Namun rasa sabar ini mengalahkan segalanya. Pedih, perih yang kurasakan atas janji – janji pemerintah yang tak pernah berujung. Tenaga honorer sungguh hanya dipandang sebelah mata. Bayangkan saja, dari tahun 2013 hingga tahun 2018 kami menunggu janji pemerintah. Ternyata hasilnya nihil. Pengabdian kami benar – benar hanya dipandang sebelah mata, meskipun beban kerja kami sama dengan mereka yang PNS. Usia yang sudah menua dijadikan alasan karena sudah tidak produktif. Usia kami bertambah tua karena menanti janji pemerintah yang tak kunjung ditepati. Pemerintah hanya memberikan harapan – harapan palsu mengatasnamakan K2 diangkat ASN.
Guru, tentunya kata yang terdiri dari 4 huruf tersebut, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Guru “ Digugu dan Ditiru “. Seorang guru dianggap khalayak banyak adalah seorang manusia yang memiliki kredibilitas cerdas, pintar dan sempurna. Walaupun pada hakekatnya guru juga manusia biasa, yang mempunyai sisi baik dan buruk. Mungkin hanya kepribadian serta kadar keimanannya yang jadi pembeda antara guru yang satu dan yang lainnya.
Ada bermacam – macam kriteria seorang guru. Tinggal kita masuk dalam kriteria yang mana. Ada guru karena pelarian dari pada nanti lulus kuliah menganggur. lebih baik menjadi guru, karena pekerjaan seorang guru dianggap paling mudah dan tidak ribet. Ada guru yang penting kerja, mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, aktivitas rutin . Yang penting awal bulan atau akhir bulan terima gaji / honor. Ada guru karena memang panggilan nurani ingin mencetak generasi bangsa yang mumpuni dengan segenap jiwa raganya diabdikan untuk negara. Dialah yang disebut “ Pahlawan tanpa tanda jasa” yang sesungguhnya.
Saat ini status pendidik menjadi perbandingan, baik dalam mengajar atau pun dalam penentu karir sebagai seorang guru. Banyak sekali guru yang berlomba – lomba mencari status guru PNS. Ya karena menjadi guru PNS sangat menjanjikan, bisa sertifikasi, mendapat gaji besar, diakhir pengabdian mendapat yang namanya dana pensiun / taspen, serta di muka umum atau masyarakat lebih dihargai, lebih dianggap orang yang memiliki kecerdasan yang mumpuni. Walaupun sebenarnya sama dengan guru honorer dalam menjalankan kewajiban mendidik anak bangsa. Namun, entahlah pemerintah lebih memperhatikan status guru PNS. Meski sebenarnya tidak semua PNS melaksanakan kewajibannya dengan benar dan tulus. Sedangkan seorang guru honorer yang sama – sama sudah mengabdi belasan tahun sedikit pun tidak dilirik oleh pemerintah akan status mereka. Ketulusan, kesungguhan, serta pengorbanannya dipandang sebelah mata,”Dimana letak keadilan itu? “. Banyak sekali kasus karena menjadi tenaga honorer sudah lama tak kunjung diangkat menjadi PNS, banyak suami istri yang bertengkar, putus asa, dan lain-lain.
Seandainya pemerintahan sekarang bisa mencontoh ke pemerintahan para Khalifatur rasyidin salah satunya Sayyidina Umar bin Khattab, dengan sistem keadilannya, kearifannya, hukum – hukumnya yang sesuai syariat dan tuntunan dari Rasulullah, tentu tidak akan terjadi kericuhan, kecurangan, dalam kancah pemerintahan . Tapi inilah fakta dan mungkin sudah menjadi bagian dari suratan akhir zaman. Aku hanya bisa berkaca pada kenyataan hidup, PNS atau pun HONORER, hidup tetap berjalan sesuai waktu yang telah ditetapkan TUHAN.
Manusia hanya bisa usaha dan berdoa, mencari keridhoan sang Maha Pemberi kehidupan, diusiaku yang sudah mulai memasuki kepala empat, aku harus lebih banyak lagi bersyukur atas segala nikmat dan anugrah – Nya.
Penulis Arni Savitrie
Berdomisili di Kecamatan Muara Sugihan, Banyuasin Sumatera Selatan