Oleh Teungku Muhammad Ikbal
“Hafni, kentang goreng ya.”
“Oke, Teungku.”
Sore ini kentang goreng terasa nikmat, apalagi suasana mendung memang pas dengan yang namanya gorengan dan tak lupa Hafni menawarkan kopi.
“Nanti saja, Hafni. Saya jeda dulu.”
“Oke, Teungku.”
Begitulah Hafni yang saya kenal, selalu menawarkan kopi dan kentang goreng.
“Teungku, lihat! Banyak sepeda bagus di mobil itu.”
“Mana?”
“Itu di seberang jalan.”
“Lah, itukan mobilnya pak Tabrani Yunis, yang punya majalah POTRET. Sepertinya baru selesai pelatihan menulis di Meureudu, Hafni. Tadi saya sempat komentar di statusnya beliau.
“Coba saya foto, siapa tahu ada orangnya di mobil”
“Iya, Teungku. Coba saja.” jawab jomlo Menasah Reudeup Meulayu sambil meniriskan kentang goreng.
“Ckrek…..” Foto mobil pick up hitam beliau saya kirim melalui messenger.
“Assalamualaikum, pat posisi, pak?”
“Lam moto.” ( dalam mobio) balasan singkat dari sang pegiat literasi Acèh.
“Teungku, kaca mobil sudah diturunkan.” timpal Hafni.
Saya beranjak bangun dari bangku santai, melambaikan tangan dan menyeberangi jalan menemui bapak yang memakai kemeja kotak-kotak merah lengan panjang.
Silaturahmi dilanjutkan di meja kopi. Saya sebagai pemula dalam dunia tulis menulis sangat antusias mendengar kisah beliau mengembangkan dunia literasi, khususnya di Acèh. Awal mula majalah POTRET sejak tahun 2003 hingga sekarang. Besar sekali sumbangsih Pak Tabrani Yunis dalam menghidupkan nafas dunia baca tulis. Di Pidie Jaya sendiri sudah empat kali beliau memberikan pelatihan menulis untuk tingkat SMP dan SD. Andaikan saya tahu jadwal beliau, saya siap jadi anak SMP kembali, untuk bisa belajar menulis langsung.
Saya sedikit bercerita tentang usaha saya menghidupkan literasi di kalangan dayah, mulai dari meminjamkan buku bacaan yang saya punya. Dengan batas waktu pinjaman satu minggu, saya rasa cukup bagi mereka untuk meningkatkan minat dan semangat membaca sebagai langkah permulaan. Dengan harapan akan dapat lebih banyak masukan untuk memotivasi orang lain untuk menulis, mengikuti jejak beliau dengan membagikan buku bacaan.
Ya, memang sudah seharusnya kalangan dayah aktif dalam berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Tidak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan tulisan. Bukankah para ulama terdahulu di samping mengajarkan ilmu agama dengan berceramah juga mengarang kitab dengan berbagai karamah yang Allah berikan dalam proses menulis kitab seperti imam Nawawi, jemarinya menyala saat mati lampu.
Apalagi kita berada di zaman digital, tulisan di media sosial harus update terus menyampaikan informasi secara aktual dan faktual. Tentunya kita membutuhkan seni dalam menulis. Ini yang menjadi PR bagi para santri, selain membaca buku untuk menambah ilmu dan wawasan.
“teruslah berbuat baik, sekecil apa pun itu.” lebih kurang begitulah kutipan dari pembicaraan beliau yang saya jadikan sebagai dalil dalam sosial literasi. Ya. Sekecil apa pun benih kebaikan yang kita tebar, jika konsisten dalam merawatnya, Insya Allah kita akan memetik hasil yang memuaskan.
Silaturahmi dengan durasi lebih kurang 20 menit menjelang magrib telah memantapkan niat saya untuk merintis gerakan “Literasi Dayah”. Karena dakwah itu banyak bentuknya, tak hanya lisan tetapi juga tulisan. Insya Allah.
“Allahu Akbar…. Allahu Akbar.” lantunan azan muazzin menutup silaturahmi kami untuk bergegas menuju ke tempat ibadah.
Terima kasih banyak atas waktunya pak Tabrani Yunis . Terima kasih kasih telah berbagi ilmu kepada kami.
Muhammad Ikbal
Uleglee, 4 Oktober 2018