Oleh Iqbal Perdana
Staff di CCDE
Di Aceh, sejak zaman kesultanan. Pemuda sudah diposisikan menjadi ujung tombak sekaligus tameng penghalau gangguan-gangguan yang mengancam kemakmuran Aceh. Dikomandoi oleh Sultan, pemuda Aceh kala itu berhasil memucuk di puncak kesuksesan. Pemuda Aceh dikenal oleh dunia sebagai pemuda yang cerdas dan kuat pendiriannya. Kala itu, dunia enggan mengeleh pemuda Aceh. Tanduk dan taji pemuda Aceh kala itu itheikaphee. Tak hanya segan, mereka justru mengagumi keperkasaan pemuda-pemuda Aceh. Otak encer tubuh bugar.
Namun ibarat roda. Hidup kadang di atas kadang di bawah. Arus pasang-surut kegemilangan pemuda Aceh kian lama kian kendur. Kini, pemuda Aceh justru mengalami masa kritis. Dunia saat ini melupakan pemuda Aceh. Ironinya, yang menjadi sebab tergerusnya etos kepemudaan Aceh justru oleh pemuda Aceh itu sendiri. Beh-beh droe, idiom kuno ini populer pada tubuh masyarakat Aceh. Makna mendasar dari Beh-beh droe adalah malas. Enggan berbuat yang positif meski hanya untuk dirinya sendiri.
Kini pemuda Aceh semakin banyak yang beh-beh droe, mereka merasa aman-aman saja dengan keadaan mereka yang sekarang. Padahal nun jauh di negeri seberang sana, pemuda-pemuda disana sudah mampu menciptakan ini dan itu, menciptakan sesuatu yang dapat mendongkrak taraf hidup masyarakatnya. Sedang pemuda Aceh? Tidak sedikit yang justru terus lalai menggunakan gadget sebatas kesenangan semata, pula tidak sedikit yang hanya untuk gaya-gayaan. Juga berjam-jam menghambur waktu di warung-warung kopi. Fenomena ini yang saban waktu terus menggerus marwah pemuda Aceh. Cita dan mimpi pemuda Aceh kini sudah tumpul dimakan zaman.
Mimpi umum pemuda Aceh kini sebatas lulus kuliah lalu menjadi PNS. Jarang sekali yang punya mimpi ingin terbang ke Mars atau menaklukkan kekayaan Bill Gates. Kalau pun ada, boleh jadi si pemimpi dikata gila. Sedikit sekali pemuda-pemuda Aceh yang memiliki jiwa entrepreneurship, pemuda Aceh saat ini masih terkurung pada cita kerja PNS. Bukan barang baru, PNS misalnya, menjadi profesi primadona tidak hanya bagi pemuda, namum juga para orang tua. Tidak sedikit orang tua yang sangat menyarankan, bahkan memaksa anak-anak mereka menjadi PNS, yang padahal anak-anak mereka sangat menyukai profesi lain.
Sungguh ironi memang. Aceh yang menjadi penghubung antara benua sejak masa Majapahit, kini pemudanya justru yang “ketinggalan”. Sebatas pengguna, pemakai, konsumen. Perusahaan-perusahaan raksasa, wujud kapitalis itu mengeker pemuda Aceh yang pada umumnya “bergenre” konsumtif.
Memang, jika melihat peta Indonesia. Aceh berada di ujung negeri. Bukan wilayah transit. Namun jika kita melihat peta perdagangan dunia. Aceh menjadi pintu masuknya perdagangan dunia dari Benua Amerika dan Eropa, melalui jalur laut. Bukan kah kita semua tahu, Aceh sejak zaman dulu menjadi daerah paling ramai. Para pedagang dunia menempatkan Aceh sebagai ujung tuju perdagangan.
Aceh kala itu berhasil menjadi daerah yang memiliki peradaban tertinggi. Bukan tanpa sebab. Banyak pemuda Aceh yang menimba ilmu di berbagai negeri. Mereka tidak tergiur dengan kemegahan negeri yang mereka kunjungi. Mereka memiliki mimpi membangun Aceh. Ilmu yang telah mereka dulang di negeri sebrang dibawa pulang dan diaplikasikan sesuai dengan kearifan masyarakat Aceh. Tidak serta merta mengaplikasikannya langsung. Ada tes kelayakan, sebab belum tentu lazim dilakukan di luar negeri pula lazim di lakukan di Aceh.
Berbeda dengan saat ini. Kita dapat melihatnya di media masa. Saya menyebutnya latah. Anggota-anggota dewan yang terhormat yang baru saja pulang dari kunjungan study-nya di berbagai wilayah langsung mengamini dan mentah-mentah menerapkannya di Aceh sesuai dengan kunjungan study-nya. Padahal, jika ingin jujur, untuk membangun Aceh, kita tidak perlu menghabiskan banyak sekali rupiah hanya untuk study semata.
Masalah yang Aceh alami sekarang tidak sepelik itu, tidak perlu harus sampai berkunjung nun jauh ke ujung dunia hanya untuk mendapatkan pemecahan masalahnya. Aceh memiliki banyak sekali perguruan tinggi yang beberapa diantaranya top. Orang-orang pintar di Aceh tidak sedikit. Pendidikan yang telah mereka tempuh bukan lagi isapan jempol. Pada beberapa lini pendidikan, mereka expert. Mereka dapat memberikan jawaban. Hanya saat ini yang menjadi rahasia umum, pemangku kekuasaan seakan gerah dengan saran yang sering kali diberikan, melalui media masa pula melalui unjuk rasa. Bukannya sedikit. Ide terus muncul di kolom-kolom opini surat kabar. Pemuda-pemuda yang menyuarakan aspirasinya melalui unjuk rasa yang santun juga tidak sedikit.
Maka lagi-lagi sinergitas perlu untuk diperhatikan. Saat ini pertautan antara pemangku kekuasaan dengan pemuda seakan terputus. Pemuda seakan menjadi nomor kesekian setelah pembangunan dan peningkatan ekonomi. Padahal membangun pemuda menjadi kuat dan mandiri akan secara otomatis menggerakkan perekonomian Aceh.
Melemahnya perekonomian Aceh juga disebabkan oleh pemuda. Masih banyak sekali pemuda-pemuda Aceh yang menganggur. Baik yang menganggur setelah selesai menempuh pendidikan tinggi, pula yang mengganggur sesudah selesai menempuh pendidikan menengah atas. Fenomena ini turut menjadi pemicu melemahnya perekonomian Aceh. Disamping itu, pula fenomena long term swing economy turut melanda Aceh, tingkat pendapatan masyarakat Aceh pada umumnya tidak sesuai dengan uang yang dibelanjakan.
Kita mengenal istilah kredit. Kredit pada satu sisi sangat berguna, namun di sisi lain sangat memberi ancaman. Dengan adanya kredit, masyarakat dapat “berbelanja” melebihi pendapatan yang ia peroleh. Dalam prinsip-prinsip hijau, kredit dapat menjadi stimulus meningkatkan produktifitas. Misal seorang petani yang mengajukan kredit traktor. Pada mulanya ia tidak mampu membeli traktor karena pendapatannya lebih rendah daripada uang yang hendak ia belanjakan. Kredit menjadi jalan, ia memperoleh traktor dengan kredit, dan itu wujud kredit yang positif. Sebab denngan adanya traktor, petani itu akan meningkatkan produktifitasnya.
Nah, masyrakat Aceh pada umumnya melakukan kredit merah, atau negatif. Tidak sedikit masyarakat Aceh termasuk pemuda yang mengajukan kredit hanya untuk memuaskan nafsu konsumtifnya. Semisal kredit ponsel canggih yang hanya digunakan untuk gaya-gayaan, pula kredit lainnya.Pemuda Aceh harus jeli melihat duduk perkara ini. Perilaku konsumtif sangat berbahaya jika terus dituruti.
Perlu adanya keseimbangan. Pemuda Aceh dituntut untuk memiliki sifat kreatif dan inovatif. Kedua sifat ini tidak hanya akan meningkatkan perekonomian Aceh, namun pua dapat mengharumkan nama Aceh itu sendiri. Membangun Aceh dengan reputasi positif harus dimulai sejak dini. Jika sekarang Aceh dikenal karena tsunami dan gerakan separatisnya, maka sudah saatnya sekarang Aceh dikenal karena kreatifitas dan inovasinya. Layaknya Silicon Valley, Aceh harus menjadi icon perkembangan zaman.
Oleh karena itu, sekarang juga, pemuda Aceh harus pindah dari zona “aman”. Sebab aman saat ini, belum tentu aman lima atau sepuluh tahu lagi. Pemuda Aceh saat ini harus berubah dari konsumtif menjadi kreatif. Menjadi kreatif berarti menjadi “tajam”, mentransformasikan sebuah keterbatasan menjadi sebuah peluang. Untuk mengasah ketajaman, pemuda Aceh saat ini telah memiliki akses penuh terhadap informasi dari seluruh dunia. Jika dimaksimalkan, bukan tidak mungkin Aceh menjadi salah satu kota inovasi.
Perusahaan-perusahaan start-up asli Indonesia juga lahir akibat ketajaman si empunya ide. Misal Traveloka, Ferry Unardi si founder, pada awalnya ia selalu kesulitan ketika hendak pulang ke Padang (kampung halamannya) dari Amerika Serikat (tempat ia kuliah). Pasalnya, ia harus melakukan banyak sekali booking ticket dan mengurus banyak sekali administrasi lainnya. Maka pada 2013 ia meluncurkan Traveloka, yang pada mulanya hanya menyediakan informasi tentang harga tiket pesawat. Lalu berkembang dan tepatnya pada 2014 situs ini telah menyediakan tidak hanya tiket pesawat, namun juga hotel yang dapat dipesan langsung dengan hanya menggunakan aplikasi mobile. Dengan hanya klik, tiket pesawat dan hotel telah berhasil di-booking. Juga perusahaan-perusahaan inovativ lainnya seperti go-jek, dan lain sebagaimnya.
Menempuh pendidikan sesuai minat cukup memberikan dampak yang cukup positif, idealnya. Kerangka berpikir harus menjadi PNS setelah lulus kuliah agaknya harus ditinggalkan. Sebab, saat ini banyak sekali profesi yang juga memberikan bonafide yang cukup menjanjikan. Mengasah hard skill juga penting. Namun, satu hal yang menjadi nomor satu dan juga menjadi pertautan antara pemuda Aceh kini dan pemuda Aceh sebelumnya, ialah akhlak. Agama. Kejujuran, wujud dari ketaatan pemuda Aceh terhadap illah melahirkan pemuda-pemuda Aceh yang gemilang hati dan pikirannya.
Hati dan pikiran yang dilandasi oleh pondasi keislaman lah yang saat ini paling dibutuhkan Aceh dalam meraih kembali masa keemasan Aceh. Sebab bukan tidak mungkin mengulang kembali episode kegemilangan Aceh masa lalu.
Di dalam angka, Aceh saat ini sedang “surplus” pemuda. Jumlah pemuda lebih banyak daripada lansia dan balita. Pada satu sisi, jumlah ini sangat menguntungkan. Pemuda yang semula merupakan aset, banyak pula, jika didampingi dengan baik, maka bukan tidak mungkin Aceh kembali mengulang masa kegemilangannya. Meningkatkan kapasitas pemuda Aceh berarti membangun peradaban Aceh. Mewariskan aset yang ruah kepada pemuda Aceh tanpa mengajarinya mengelola dengan cermat bukankah seperti buah simalakama. Keseimbangan itulah yang seharusya “dikebut” saat ini. Jika keseimbangan antara pintar mengelola dan warisan yang ruah tidak segera digalakkan, maka bukan tidak mungkin aset-aset itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Namun, pada sisi yang lain. “Surplus” pemuda juga dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja, daya ledaknya dapat menghancurkan Aceh. Bukan tidak mungkin, jika pemuda Aceh tidak “bangun” sekarang juga maka pemuda akan menjadi ancaman itu sendiri bagi Aceh. Sempitnya lapangan pekerjaan sebab tidak ada yang memiliki jiwa entrepreneur. Maraknya perampokan, penipuan, perampasan, akibat terus mengonsumsi obat-obatan yang terlarang. Perempuan-perempuan yang “menjual”harga dirinya hanya karena akhlak perilakunya yang luruh digerus zaman. Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin.
Maka daripada itu. Bagkitlah pemuda Aceh saat ini juga. Tinggalkan sekarang juga sifat konsumtif. Ramaikan mesjid pula hormati para ulama. Sebab tidak ada siapapun selain pemuda Aceh yang bertanggung jawab atas tanoh keunebah para indatu. Tidak ada waktu lagi melainkan sekarang. Jangan sampai pemuda Aceh di masa depan hanya akan menjadi penonton, melihat kekayaan alamnya dikeruk siang-malam tanpa menikmati hasilnya meski sebesar debu. Dan bukan tidak mungkin peperangan yang dulu pernah meletus, di masa depan akan kembali meletus. Seperti sebuah gunung berapi aktif yang tidak ada satu orang pun tahu kapan ia akan memuntahkan lahar dan batu panas.