Ironi Sertifikasi Guru

Oleh Tabrani Yunis

Baru-baru ini, pernyataan yang berupa kritik Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati  terhadap guru di tanah air terkait dengan dana sertifikasi sangat menghentak hati para guru di tanah air. Sri Mulyani seperti kit abaca di beberapa media mengatakan bahwa ada kecenderungan guru hanya ikut sertifikasi sebagai syarat untuk kenaikan pangkat yang ujungnya agar bisa mendapatkan tambahan tunjangan profesi. 

“Saya dulu dengar guru ada sertifikasi, saya senang. Tapi sekarang, sering sertifikasi itu tidak mencerminkan apa-apa. Mungkin prosedural saja supaya bisa mendapatkan tunjangan. Bukan dia tersertifikasi berarti profesional menjadi guru,” kata Sri Mulyani saat berbicara di hadapan anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di gedung PGRI, Jakarta Pusat, Selasa (Kompas.com 10/7/2018).

Ya, pernyataan dan kritik yang dilemparkan kepada seluruh guru di tanah air itu terasa sangat menohok dan membuat perasaan banyak guru di tanah air teriris dan sakit. Walau kemungkinan ada  ada juga benarnya, karena bila ditilik dan diselidiki dengan sungguh-sungguh dan mendalam, banyak guru yang menerima dana sertifikasi tidak menunjukan peningkatan kualitas diri sejalan dengan tujuan dari pemberian sertifikat dan tunjangan sertifikasi yang diterima selama ini. Namun, hal ini bisa jadi tidak mau kita selediki, karena ini adalah kelemahan kita yang lebih suka menyatakan diri sebagai korban. Karena ketika kita menempatkan diri kita sebagai korban, maka semua kesalahan itu ada pada orang lain. Maka, dalam hal dana sertifikasi ini, wajar saja kalau banyak guru yang merasa tersinggung dengan pernyataan dan kritik ini.

Hanya saja, pernyataan semacam itu tidak selayaknya diungkapkan dengan cara-cara yang terasa tidak mengenakan hati para guru.  Sehingga, bukan hal yang mengherankan bila  banyak guru yang tidak setuju dan merasa sakit hati dengan pernyataan Sri Mulyani tersebut. Akibat dari pernyataan itu, Sri Mulyani dianggap tidak menghargai guru. Bukan hanya itu, bahkan Sri Mulyani juga disebut-sebut tidak tahu berterima kasih kepada guru yang telah membuat dirinya menjadi orang besar atau penting di negeri ini.

Tentu saja kedua belah pihak punya alasan-alasan yang tidak sama, sehingga menimbulkan rasa kecewa dan sakit hati para guru yang selama ini menerima tunjangan sertifikasi tersebut. Bisa jadi Sri Mulyani sudah mengumpulkan banyak data dan fakta mengenai tunjangan sertifikasi tersebut, namun Bu Menteri Keuangan ini tidak tahu pula apa yang terjadi dengan pembayaran dana sertifikasi tersebut serta bagaimana kewalahannya para guru dalam mendapatkan tunjangan sertifikasi yang secara eksplisit dan implisit terlihat bahwa pemerintah sendiri sesunggunya tidak memberdayakan guru atau tidak memberikan tunjangan sertifikasi itu dengan sepenuh hati. Buktinya, sejak program sertifikasi guru dilakukan atau dilaksanakan, tunjangan sertifikasi ini selalu saja diselimuti masalah yang merugikan para guru. Banyak kasus keterlambatan pembayaran sertifikasi yang bukan hanya terlambat sebulan atau dua bulan, tetapi keterlambatan itu melebih dari 3 bulan atau bahkan enam bulan. 


Salah satu contoh kasus adalah seperti yang diberitakan harian Serambi Indonesia edisi 25 Mai 2018 lalu. Harian Serambi Indonesia di halaman 6  memberitakan tentang nasib 561 guru bersertifikasi yang tidak menerima hak tunjangan sertifikasi mereka selama satu tahun, terhitung dari bulan Januari – Desember 2017.  Kasihan  nasib 561 guru tersebut. Ya, jujur saja, kita akui bahwa apa yang dialami oleh sebanyak 561 guru bersertifikasi itu adalah sebuah hal yang sangat memprihatinkan kita. Bahkan kasus seperti ini sebenarnya merupakan hal yang kurang etis. Dikatakan kurang etis, karena selama ini apa yang dilakukan oleh para guru untuk memenuhi syarat mendapat sertifikasi  tidak mudah. Mereka butuh perjuangan panjang  dan sangat memberatkan guru. Mereka pontang- panting berupaya memenuhi semua syarat, melaksanakan tugas dan kewajiban di sekolah.  Namun, tiba pada hak atas tunjangan dana sertifikasi, yang harusnya mereka bisa terima setiap bulan, namun dalam prakteknya, jangankan setiap bulan, enam bulan dan bahkan hingga satu tahun tidak cair. Ironis bukan?

Memang ironis dan bahkan sangat ironis bila kita dalami soal dana tunjangan sertifikasi itu. Dikatakan sangat ironis, bukan hanya karena keterlambatan pencairan yang terus terjadi dan bisa jadi masih akan terjadi ke depan ini,  tetapi juga program sertifikasi yang  sudah berjalan sekian lama itu, hampir tidak pernah dievaluasi. Akibatnya, di satu sisi membantu para guru secara ekonomi, karena dengan mendapatkan dana tunjangan sertifikasi tersebut diakui membantu meningkatkan tingkat kesejahteraan guru.

Benar bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa program sertifikasi yang diluncurkan pemerintah pada tahun 2007 sebagai wujud  nyata dari janji Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang konon untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air dan meningkatkan kesejahteraan guru, namun dalam realitas yang dirasakan oleh banyak guru yang mendapat dana sertifikasi diakui sangat membantu guru, terutama dalam mengatasi kesulitan ekonomi para guru. Buktinya, para guru menyambut program sertifikasi dengan penuh suka cita, maka program ini merupakan program yang sangat membantu (helpful). Dampak positifnya program sertifikasi adalah terjadinya peningakatan pendapatan guru yang berimbas pada peningkatan tingkat kesejahteraan guru. Bila dulu sangat sedikit guru yang membeli kenderaan roda empat, saat ini hamper semua guru yang mendapat sertifikasi sudah menggunakan mobil untuk datang ke sekolah, walaupun mobil tersebut diperoleh dengan cara kredit.

Selain itu, sebagaimana filosofinya program itu adalah program peningkatan kualitas guru. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan martabat guru. ( Baca maksud dan tujuan awal pemerintah mengadakan program sertifikasi), namun secara jujur harus kita melihat dengan baik, kita selayaknya bertanya lagi, apa yang terjadi? 

Jawabannya, program sertifikasi menjadi ironi. Ya berjalan penuh ironi. Mengapa demikian? Pasti dapat kita temukan kondisi yang tidak banyak disukai. Misalnya, pertama, guru menjadi sangat sarat beban, terutama kewajiban mengajar yang harus dipenuhi minimal 24 jam seminggu. Ketika guru tidak cukup jam mengajar di sekolah ia ditempatkan, guru harus mencari sekolah lain untuk menambah kekurangan jam pelajaran di sekolah ia ditempatkan. Dengan kewajiban mengajar 24 jam ini, guru harus mengejar-ngejar jam mengajar di sekolah lain yang letaknya terkadang sangat berjauhan. Kondisi ini kembali sangat melelahkan guru. Dampaknya adalah sang guru tidak bisa konsentrasi dalam mengajar, baik di sekolah sendiri, maupun di sekolah lain. Kedua, guru yang dinyatakan lulus UKG dan memperoleh sertifikasi terus dijejal lagi dengan kewajiban administrative  dan kewajiban lainnya yang sangat melelahkan. Ke tiga,  guru menjadi tidak focus mengajar dan mendidik anak, walau harus mengajar sampai dengan 24 jam per minggu.

Ironisnya, sudah begitu berat dan jelimetnya proses mendapatkan tunjangan sertifikasi tersebut, pembayaran sertifikasi itu sering tertunda dan sengaja dibayar dengan system rapel, sehingga menjadi ladang atau lahan pengeluaran tidak resmi. Ketika guru mendapat dana sertifikasi, seakan-akan itu adalah dana tambahan yang diperoleh tanpa kerja keras. 

Exit mobile version