Oleh Auliana Riski
Nama ku Riki, sewaktu masih kecil, saat umurku beranjak 5 tahun, Ayah dan ibuku meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil ayahku menabrak truk yang sangat besar. Orangtuaku tidak bisa diselamatkan kecuali aku. Sekarang aku tinggal di rumah Pamanku. Pamanku miskin dan sudah sangat tua. Kami hanya tinggal berdua dalam sebuah rumah kecil di kampong. Pekerjaan Pamanku adalah seorang penjahit sepatu yang pendapatannya tidak seberapa. Uang yang didapatkannya hanya cukup untuk beli beras sekali makan dalam sehari. Kini umurku sudah 12 tahun, aku dibesarkan dengan kehidupan yang sangat sederhana. Aku tidak punya siapapun kecuali dia. Setiap pagi aku bangun lebih awal dari padanya. Aku selalu membuka jendela. Aku melihat banyak sekali anak sekolah. Mereka cukup rapi memakai seragam itu, memakai tas dan memakai sepatu. Namun aku tidak bisa apa-apa karena kehidupanku tidak memungkinkan. Niatku untuk sekolah akan kuhapuskan. Aku tau pamanku tidak mampu membiayaiku.
Pamanku berdiri cukup lama dari kejauhan. Dia memperhatikanku. Kadang pagi aku memakai tas goni meniru anak sekolah yang lainnya. Aku hanya tersenyum dan tersipu malu. Perlahan-perlahan aku mendekatinya. Air matanya jatuh dan aku berkata “ Paman! Mengapa engkau menangis? Apa Paman sedih karena kita belum makan? Aku belum lapar Paman, sungguh aku tidak berbohong” Dia menghapus air matanya lalu memelukku dengan sangat kuat, “ Apa kamu ingin sekolah nak? “ Tanya Paman dengan nada yang turun, “ Mengapa Paman menanyakan hal itu,? Paman tidak perlu memikirkan pendidikanku, aku tidak apa-apa Paman. Lagi pula aku di rumah juga bisa belajar sendiri tanpa harus sekolah, iya kan pa?…..”.
Dengan cepat dia memotong pembicaraanku “ tidak nak, kamu harus sekolah, kamu harus jadi anak yang sukses, Paman tidak mau kamu menjadi seperti Paman juga saat tua seperti ini”. Aku langsung memeluk paman dan berkata” aku hanya butuh paman sekarang, tidak yang lain, Paman beri makan sekali sehari pun aku sudah senang. Aku masih bisa hidup, lupakan sekolahku paman, aku pasti bisa beradaptasi”.
Beberapa hari kemudian aku pergi keluar dari rumah. Saat Paman sedang menjahit sepatu, aku pergi mengikuti anak sekolah dari jalan. Sesampai di sekolah, bel bunyi tanda waktunya belajar, aku terus mengikuti mereka sampai tiba di kelas. Mereka memasuki kelas untuk mengikuti jam belajar, aku berdiri cukup lama di pojok. Aku membawa tas goni yang di dalamnya berisi buku kecil dan pensil yang aku temukan di jalan ketika orang lain membuangnya ke tong sampah. Aku duduk di samping pintu dan aku mencatat apa yang sedang guru mereka jelaskan. Tiap hari aku melakukan hal itu selama lima bulan tanpa sepengetahuan Pamanku. Akhirnya aku bisa menghitung dan membaca. Setiap hari aku berdoa kepada Allah swt, semoga Allah menjadikan aku anak yang sukses di masa depan.
Pagi itu aku melakukan hal yang sama, mencatat apa yang mereka belajar di sekolah. Aku mengintip lewat lubang pintu. Tiba-tiba dari kejauhan datang seorang Bapak, dia menghampiriku dan bertanya “ Apa yang kamu lakukan di sini nak? Kenapa kamu duduk sendiri?” Aku malu, aku takut, badanku terasa berjatuhan es berkali-kali. Aku menunduk dan kemudian menangis “ Tolong jangan hukum aku pak. Aku janji tidak bakalan datang ke sekolah lagi”, Dia mendekatiku dan memegang pundakku dan berkata “ Tidak nak, bapak tidak akan menghukummu. Apa benar kamu ingin sekali sekolah?”
Dengan air mata yang berderai tiada henti “aku memang dari kecil ingin sekolah pak”. Dia memupuk pundakku berkali-kali dan berkata “ Sebenarnya bapak sudah memperhatikan kamu sejak pertama kali kamu datang ke sekolah ini nak, tapi bapak sengaja tidak menegurmu karena bapak ingin melihat apa yang kamu lakukan di sini. Mengapa kamu tidak sekolah? Coba ceritakan nak”.
Aku menangis tiada henti. Angin begitu menerpa, tubuhku terasa dingin. Dengan baju yang compang camping badanku terasa seperti es dan gemetar. Aku mencoba meraih sakuku dan menampakkan sebuah foto yaitu foto orang tuaku kepadanya “ Ini adalah orang tuaku pak, aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Pamanku yang sudah sangat tua. Dia menampungku di rumahnya selama 7 tahun orang tuaku meninggal dunia”. Kemudian aku menceritakan semuanya kepada bapak tersebut “. Bapak ingin ke rumah mu nak, apa boleh?”, imbuhnya. “ ngga pak, aku harus pulang, Pamanku sudah menungguku, permisi pak “. Aku meraih dan mencium tangannya. Aku berlari dengan cepat, karena aku takut dia menceritakan semua ini kepada Pamanku.
Keesokan harinya aku tetap pergi ke sekolah seperti biasanya. Saat aku pulang, aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Berkali-kali aku berusaha untuk menoleh, tapi tak kutemukan satu orang pun. Aku berjalan seperti biasanya dan akhirnya sampai di rumah. Aku langsung menyimpan buku di bawah bantal agar tidak ketahuan pamanku. Dengan dihinggapi rasa kelaparan, perutku semakin bersuara dan cacing di dalam perut mulai bernyanyi, langsung ku dekati dapur, lalu ku coba raih tutup saji yang berwarna hijau. Sayang sekali tak kutemukan satu butir nasi atau makanan lain sedikitpun. Perutku kembali bersuara, tak sanggup menahan lapar ini.
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu, aku bergegas membuka karena Paman mungkin sudah pulang. Ketika pintu kubuka, betapa terkejutnya aku, ternyata bapak yang kemarin di sekolah. Kini aku bertemu lagi dengannya dan bertanya “ Nak, maaf ya bapak tetap datang ke rumahmu, apa ada Pamanmu di rumah? Bapak ada keperluan dengannya”. Aku langsung menunduk di lututnya dan berkata “ aku mohon, jangan bilang sama Pamanku pak, aku sembunyi untuk datang ke sekolah. Tolong jangan hukum aku “, Dia langsung memelukku “ Kamu tidak perlu takut nak, bapak tidak akan menghukummu, bapak hanya ingin bertemu dengan Pamanmu”.
Saat pamanku sudah berada di rumah dan bapak itu berbicara dengan pamanku, aku meguping pembicaraan mereka lewat sela pintu. Ternyata aku mau disekolahkan oleh bapak tersebut. Aku menangis bagaimana dengan pamanku, apalagi aku sudah terbiasa dengannya. Aku menceritakan kepada bapak itu bahwa aku tidak bisa hidup tanpa ada kehadirannya. Kemudian bapak itu menyetujui untuk membawa Pamanku sekaligus. Kami diberi rumah kecil di dekat kota dan semua biaya sekolah ditanggung olehnya, kecuali biaya hidupku dengan pamanku. Pamanku mulai bekerja seperti biasa yaitu menjahit sepatu dan aku sekolah. Saat aku sampai di sekolah, aku sangat merasa bahagia sampai aku tidak libur sehari pun, walaupun aku sedang sakit. Ini adalah nikmat yang paling besar yang Allah berikan untukku. Allah mengabulkan permintaanku, aku tidak mau menyianyiakan kesempatan itu. Aku melaluinya dengan bahagia walaupun di sela itu aku juga merasa sedih. Saat bel sekolah sudah berbunyi, waktu istirahat semua orang membawa bakal dari rumah mereka masing-masing, tapi tidak masalah aku juga bawa bekal. Saat teman-teman lain membuka bekalnya, aku juga membuka bekalku kosong. Aku tidak punya makan untuk aku masukkan ke dalamnya. Saat aku haus, aku pergi ke kamar mandi, aku meminum air kran. Air mataku jatuh berderai, tapi saat aku kembali ke kelas, aku mengambil tempat makananku untuk aku simpan. Saat aku pegang tempatnya sudah berat daripada sebelumnya. Aku mencoba membukanya dan ternyata di dalamnya adalah isi dari pemberian makanan teman-teman aku di dalam kelas.
Hari demi hari aku lewati hingga aku sekarang sekolah kelas 3 SMA. Aku sangat rajin belajar hingga aku mendapatkan peringkat pertama selalu di kelas. Saat ini aku mendapatkan beasiswa kuliah di Singapura.
Hati aku tidak sanggup, aku pulang memberitahu kabar ini kepada Pamanku “ Aku tidak mau mengambil beasiswa itu Paman. Aku tak mau meninggalkanmu disini sendiri. Siapa yang akan mengurus Paman dalam gubuk kecil ini? Aku sudah terbiasa hidup dengan Paman, bahkan sehari tidak melihat Paman aku tidak bisa”. Paman menyuruh aku mendekatinya dia berbisik “ pergilah anakku, kamu adalah jiwa paman, kamu harus sukses, kamu harus menjadi orang hebat, kamu bukan orang lemah, kamu itu lelaki, pergilah. Paman akan baik-baik saja nak. Kamu tidak perlu khawatir, aku memeluknya dan mengusap pundaknya “ Apa paman bisa berjanji? Paman akan bertahan hidup sampai aku sukses? Aku akan mengobati penyakit yang mengendap di tubuh paman, hingga memberangkatkan paman umrah dan haji. Aku janji dan Paman juga harus berjanji.
Aku kuliah di Singapura selama 5 tahun. Aku diangkat menjadi atasan di sebuah kantor dan aku dipercayakan. Selama aku kuliah, aku sudah menjenguk Pamanku 5 kali di kampong. Sekarang aku sudah kerja dan punya uang, aku memenuhi janjiku kepada Paman. Paman berkata “ Kamu sudah sukses nak, tiada kalimat yang bisa Paman ucapkan selain, Paman sanggat bangga kepadamu. Semoga kamu selalu sukses ya nak, jangan pernah sombong. Yakinlah bahwa Allah selalu menolongmu”. Aku menangis dan lagi-lagiaku memeluknya “ Terimakasih Paman, atas semua yang paman lakukan. Ini semua berkat paman, kini paman bisa umrah”. Selama Paman umrah, dia selalu menelponku. Hari itu memang hatiku sangat mengkhawtirkannya. Tiba-tiba dering teleponku berbunyi. Kabarnya pamanku sudah meninggal saat dia melaksanakan ibadah umrah. Hatiku hancur, aku tidak sanggup. Siapa yang akan menemaniku lagi, siapa yang memberikan aku semangat dan dukungan lagi. Saat itu aku benar-benar jatuh di titik yang paling bawah, tapi aku yakin masih ada yang perdulikan aku jika aku tidak melupakan Tuhanku yaitu Allah swt. Apapun masalah, aku mengadu kepadanya. Semua yang kuminta dia kabulkan sampai hidup aku sekarang. Aku memang tidak punya orang-orang di sekitarku lagi, tapi aku masih punya Allah yang selalu ada untukku.