Jakarta 2 Mei 2018— Fahmy, Kepala Departemen Keamanan Nasional dan Hukum, Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB) mengucapkan bela sungkawa yang mendalam atas gugurnya lima orang putra terbaik bangsa, anggota Brimob Kelapa Dua atas kericuhan Nara Pidana Teroris yang terjadi di Rumah Tahanan, Cabang Salemba, Mako Brimob di Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, pekan ini.
“Kita kehilangan, kita sedih mendengar kejadian, kita berduka cita mendalam, dan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian para pahlawan bangsa,” tegas Fahmy.
Kejadian ini, menurut Fahmy, tidak perlu terulang lagi dimasa-masa akan datang karena merugikan. Karena itu, kata Fahmy, para petugas rumah tahanan yang ditugasi menjaga rumah tahanan seharusnya mematuhi Standar Prosedur Rumah Tahanan (SOP) pengamanan rumah tahanan.
Menurut Fahmy, penggunaan seperti telepon genggam (HP) dalam rumah tahanan sama sekali tidak dibolehkan, tetapi mengapa masih ada tahanan yang menggunakan HP di rumah tahanan. Ini jelas, kata Fahmy, pelanggaran berat SOP.
Fahmy menyampaikan, tidak mungkin para tahanan itu bisa mengumpulkan 40 orang sekejap untuk disatukan dalam satu kelompok para tahanan dengan tujuan bersama melawan petugas Brimob. Jika mereka tidak menggunakan teknologi komunikasi, tidak mungkin.. Fahmy juga meyakini bahwa teknologi ini digunakan berkomunikasi dengan para pendukung teroris di luar yang masih aktif.
Sudah menjadi rahasia umum, kata Fahmy, penggunaan HP di dalam tahanan selalu dibolehkan petugas dengan cara bayar, ada yang per-bulan, ada yang per-hari, belum lagi tarif berbeda tiap jenis HP—yang dipungut petugas.
Selain itu, kata Fahmy, bagaimana mungkin, , para Napi Teroris itu bisa merampas senjata dan Sajam begitu banyak. Penyimpanan senjata yang berdekatan dengan tahanan sangat berbahaya.
Sejalan dengan Fahmy, Sekeretaris Jendral DPP JNIB, Emi Sulyuwati, meminta Komisi III DPRRI, Polri, dan Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap implementasi pengamanan rumah tahanan. Apa lagi tahanan yang dianggap berbahaya, karena kejadian ini muncul, meski beberapa pengamat menghubungkan peristiwa ini dengan momen kenegaraan seperti Pemilu dan Pilkada, tetapi para teroris ini memanfaatkan kelemahan penerapan SOP di Rutan.
Korupsi di rumah tahanan harus dibersihkan, termasuk korupsi aparat penegak hukum. Hukum menurut Adhe, sapaanya, menjadi tidak adil bagi orang miskin—yang menerima perlakukan berbeda dengan orang berduit.
Kata Emi Sulyuwati, Komisi III DPRRI, Polri, dan Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Lembaga penyedia jasa keamanan negara. Termasuk, memikirkan, pemisahan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sebagai pengawas Kepolisian dibentuk dengan UU tersendiri, dan bukan dibawa Polisi—sehingga pengawasan terhadap Polisi dapat dilakukan dengan baik. Sebab, menurut Emi Sulyuwatii,, penggunaan wewenang yang terlalu besar dan luas, cenderung disalahgunakan lebih besar.
“Pemerintah memberi wewenang polisi yang luas, maka pemerintah juga harus memikirkan pengawasan harus diberi wewenang yang setara dengan Polisi, sehingga mengurangiabuse of power, JNIB mendukung penuh upaya Polri memberatas teroris sampai akarnya, “ ujar Emi Sulyuwati .***
Untuk Informasi lanjut, hubungi Fahmy
Nachung Tajuddin No Hp: +62 819-617-560
Emi Sulyuwati No HP : +62 813-1991-2668