Oleh: Dodi Sanjaya
Wardiah, perempuan muda itu sedang mengasuh anaknya yang paling kecil saat ditemui PerspektifNews, di sebuah kampung yang masih dipenuhi hutan belantara, di daerah Aceh Besar. Bersama ketiga anaknya, saat ini ia tinggal menumpang di rumah abangnya. Sudah tujuh bulan ia menetap di desa tersebut.
Namun, sesekali ia menitikkan air matanya, ketika anaknya yang berusia dua tahun memanggil abangnya dengan panggilan ayah. “Dia tidak tahu, itu adalah abang dari ibunya. Dia mengira itu ayahnya,” kata Wardiah sambil mengusap air matanya.
Suaminya, Tengku Ayyub Syakubat, memang telah tiada. Almarhum suaminyalah yang menjadi tumpuan keluarga selama ini. Namun karena suaminya telah tiada, maka hidup Wardiah beserta anak-anaknya sekarang harus bergantung dengan abangnya.
Sebelumnya mereka tinggal di Kampong Jamboe Dalam, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireun, Aceh. Wardiah menceritakan, rumah mereka di Kampong tersebut sering dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah.
“Suami saya di kampung dulu terkenal pintar mengobati orang dan juga mempunyai ilmu agama yang lumayan. Orang-orang sekitar sangat menghormati dan menghargai kami,” ujarnya.
Namun hal itu berubah seratus delapan puluh derajat, ketika isu mengenai suaminya muncul. Suaminya dituduh menyebarkan aliran sesat oleh warga lainnya. Hingga saat ini, Wardiah tidak pernah tahu mengapa suaminya dituduh sebagai penyebar aliran sesat.
“Suami saya dituduh menyimpang dari ajaran agama, mulai dari di rumah saya ada air Nasrani, salat lima waktu hanya wajib tiga kali, salat Jum’at tidak wajib, ambil wudhu tidak sampai siku, bahkan suami saya dituduh mendapatkan gaji 18 juta per bulan dari Amerika,” katanya dengan sedih.
Sejak itulah, tetangganya mulai menjauhi keluarganya. “Tetangga tidak ada yang mau berbicara sama saya kecuali saya yang duluan berbicara pada mereka,” ucapnya.
Isu itu pun akhirnya juga menghampiri anak-anaknya. Wardiah sempat kaget ketika anaknya yang berusia 10 tahun mulai bertanya mengenai ayahnya. “Emak, kata teman-teman saya di sekolah, ayah kita mau dibunuh, lehernya mau dipotong dan dibuang ke sungai. Begitu juga dengan rumah kita akan dibakar,” kata Wardiah menuturkan ucapan anaknya.
Awalnya, Wardiah tidak mau memikirkan ucapan anaknya. Ia juga tidak mau anaknya patah semangat untuk bersekolah. Ia hanya bisa berkata bahwa semua itu adalah bohong. “Kawan-kawanmu hanya ngomong saja, tidak mungkin ayah kita dibunuh,” ucapnya kepada anaknya.
Namun takdir pun berkata lain. Tanggal 16 November 2012, pukul setengah sembilan malam, suasana senyap di Kampong Jamboe berubah menjadi riuh. Suasana riuh di luar rumah, membuat Wardiah penasaran untuk melihat. Tiba-tiba batu pun beterbangan menghujani rumah mereka. Ratusan orang menyemut mengepung rumah tersebut dengan bersenjatakan parang dan tombak.
Khawatir dengan nasib anak dan istrinya, Tengku Ayub pun meminta Wardiah untuk pergi meninggalkan rumah bersama ketiga anaknya. Pukul dua belas malam, akhirnya Wardiah menuruti kemauan suaminya untuk pergi meninggalkan rumah. Dengan menguatkan diri dan berserah kepada Yang Maha Kuasa, ia keluar dari rumah melalui pintu depan. Di saat yang bersamaan, ia melihat massa sudah membakar balee, tempat mereka menerima tamu. Suasana pun sangat gelap, karena meteran listrik yang berada di balee itu ikut terbakar, sehingga menyebabkan lampu mati.
“Itu istrinya sudah keluar dengan anaknya, kita cincang-cincang saja mereka. Kita jadikan tumpukan daging,” ancam massa yang melihat Wardiah berlari keluar rumah bersama anaknya.
Ia tidak mempedulikan ancaman tersebut. Wardiah terus berlari bersama ketiga anaknya hingga ke rumah mertuanya di desa itu. Ia, bersama ketiga anaknya, kemudian bersembunyi di rumah mertuanya. Ia hanya bisa berharap kondisi suaminya baik-baik saja.
Saat menjelang dini hari, terdengar suara tembakan keras, seperti senapan serbu. Dalam keadaan lelah, Wardiah tidak tahu apa yang akan terjadi dengan suaminya. Baru menjelang pagi hari, dia dikabari oleh tetangganya bahwa suaminya telah meninggal. Ia pun tidak kuasa menahan tangis.
Ia sangat syok ketika tahu bahwa suaminya telah dipotong lehernya dan dibakar oleh massa. Tidak hanya suaminya yang menjadi korban. Sepupunya, Muntatsir, yang tinggal bersamanya pun mengalami hal yang sama. Ia juga digorok lehernya dan dibakar dalam keadaan masih hidup. Rumah mereka pun dibakar oleh massa.
“Zaman jahiliah pun tidak ada yang sekejam itu,” katanya sambil menangis.
Ketika dikabari jenazah suaminya berada di RSUD Fauziah, Bireun, ia pun langsung bergegas ke rumah saki. Namun ketika tiba di rumah sakit dan hendak membawa jenazah suaminya, seorang polisi bertanya kepadanya.
“Ibu, jenazah ini akan dibawa ke mana?” tanya polisi itu.
“Jenazah ini akan dibawa pulang ke kampung. Saya akan menguburnya di pemakaman umum di kampung. Namun jika tidak diizinkan saya akan menguburnya di halaman rumah kami,” jawab Wardiah.
“Kalau ibu menguburnya di kampung, kami tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu,” jawab polisi itu.
Jawaban polisi itu sontak membuat Wardiah berpikir. “Bukankah sudah kewajiban polisi untuk melindungi warganya, tapi kenapa malah mereka lepas tangan begini,” pikirnya.
Akhirnya, Wardiah pun menelpon abangnya yang berada di Aceh Besar. Ia meminta izin kepada abangnya agar jenazah suaminya dapat diperbolehkan dikubur di daerahnya. Setelah menelpon cukup lama, akhirnya abangnya mengizinkan jenazah suaminya untuk dikubur di daerahnya.
Wardiah pun memutuskan untuk menetap di kampung abangnya, bersama anak-anaknya. Namun peristiwa itu tidak mudah dilupakan oleh anak-anaknya. Anaknya yang tertua sudah tidak mau melanjutkan sekolahnya karena telah patah semangat.
“Dia seperti linglung dan sering melamun,” kata Wardiah.
Sementara anak yang nomor dua masih bersekolah hingga saat ini.
Ia juga sudah tidak berharap banyak dengan keadilan saat ini. Yang ia tidak habis pikir adalah mengapa para pelaku pembunuhan suami dan sepupunya masih saja berkeliaran. Adik kandung suaminya bahkan saat ini ditangkap oleh polisi. “Padahal dia adalah korban,” katanya.
Ia juga menceritakan bahwa dia pernah melaporkan peristiwa itu ke polisi dan Komnas HAM. Namun hingga saat ini, tidak pernah ada tindakan apapun dari lembaga-lembaga itu.
“Saya tidak menuntut pelaku dihukum, karena saya sudah pasrah pada Tuhan. Mungkin itu sudah batas umur suami saya. Yang ingin saya lihat adalah jika memang benar suami saya salah, maka buktikan. Namun jika suami saya benar, maka pemerintah wajib membersihkan nama baik keluarga kami,” katanya penuh harap. Ia juga menganggap bahwa keadilan sudah lapuk termakan debu. Tidak pernah keadilan itu menghampiri dirinya dan keluarganya.
Sebelum mengakhiri wawancara, Wardiah juga sempat berpesan, “semoga apa yang kami alami tidak terjadi lagi pada orang lain. Cukup sudah pada kami saja,” pesannya.