Oleh Iqbal Perdana
Staf di Center for Community Development and Education
Kini dunia gambar bergerak (film) tidak dapat dibendung, arusnya begitu kencang. Tenaganya begitu kuat. Jika tidak “dikawal”, maka efek buruknya berimbas pada pribadi dan keluarga. Lebih jauh, pranata sosial berubah tak karuan, sampai menalak budi pekerti yang luhur. Hilangnya identitas diri dan perangai buruk lainnya seperti bom waktu yang setiap saat dapat meledak.
Semua itu bisa terjadi jika setiap pribadi yang menikmati film tidak mengedepankan budaya sensor mandiri. Sebab di Indonesia, bukan hanya beras yang diimpor, tetapi juga tontonan. Akhir-akhir ini, berseliweran di berbagai stasiun televisi tanah air sinetron-sinetron impor, kebanyakan dari India dan Turki. Durasinya bisa sampai 6 jam (dengan judul yang berbeda-beda).
Penikmatnya kebanyakan ibu-ibu rumah tangga juga anak-anak gadis tanggung yang jomblo, sisanya laki-laki melankolis yang tampaknya lebih menikmati kehidupan para pemain sinetron –yang tampan rupawan- daripada hidupnya sendiri. Keseharian mereka ini (mohon maaf) separuhnya memelototi televisi. Jika suatu saat ada ujian soal sinetron, saya yakin betul nilai mereka sempurna. Sebab dari episode 1 sampai episode 1000 sekian mereka tonton. Dari season 1 sampai season kesekian mereka katam. Sanad keluarga dalam cerita sinetron sudah hafal betul, perangai baik dan buruk para pemain sudah mahfum betul.
Bahkan diantaranya ada yang bersikap berlebihan ketika bertemu salah satu aktor antagonis. Mereka terbawa perasaan, betapa busuk dan jahatnya sang aktor ketika dalam sinetron. Mereka mencemooh juga memandang sinis sang aktor yang jelas-jelas segala perangainya di layar kaca hanyalah fiktif. Namun masyarakat ada yang menganggapnya nyata.
Yang demikian itu tentu menjadi bumerang bagi diri sendiri. Mengamini segala sesuatu yang muncul dari layar kaca sama halnya dengan meneguk seember racun. Matinya segera. Jika tidak diawasi, bisa ribet.
Namun, kita juga tidak bisa menafikkan sisi positif dari tayangan-tayangan media televisi, perfilman. Ada “nilai” yang layak kita angkat menjadi bahan renungan dan motivasi. Di sisi lain, ia menjadi cermin, betapa kita sering tidak sadar atas apa yang saat ini terjadi, film dapat menjadi cermin.
Bersikap bijak dalam mengkonsumsi film sejatinya perlu diperhatikan kembali. Budayakan sensor film mandiri.
Beberapa waktu yang lalu, di Banda Aceh, “kaum” blogger dan aktivis media sosial diundang untuk mengikuti kegiatan Seminar dan Workshop Excite Indonesia Roadblog 10 Cities. Exite bertandang ke Banda Aceh bersama Traveloka, Lembaga Sensor Film Republik Indonesia, dan Pegadaian. Banyak hal yang mereka bagi, masing-masing punya benang merah dan pembahasan yang unik. Sejatinya menambah wawasan para peserta dan menjadikan kami agen perubahan, merubah cara pandang dan pikir. Bahwa ada banyak hal yang dapat dikerjakan, ada banyak hal yang dapat dilakukan guna meningkatkan mutu perfilman.
Lembaga Sensor Film RI (LSF RI) menarik. Yang dibahas, unik. Bersebab pada saya yang begitu gemar menikmati wahana aksi dan laga pada layar kaca. Materi yang ditumpahkan pada perhelatan adalah soal budaya sensor mandiri, sebuah senjata ampuh untuk menetralisir pengaruh buruk dalam dunia perfilman. Ada beberapa poin penting yang menjadi benang merah.
Kewajaran
Wajar menjadi salah satu komposisi filter, jaring tak sembarang tembus ini memiliki fungsi paling mendasar, yaitu melihat kewajaran dalam adegan. Adakah kewajaran yang tampak padanya, jika tidak ya ditinggalkan, sebatas lucu-lucuan saja. Semisal adegan sekelompok orang yang dapat berubah menjadi harimau, yang demikian wajib difilter, disaring. Beri edukasi kepada anak, bahwa adegan itu tidak benar, itu hanya akal-akalan videografis saja.
Memberi edukasi kepada anak juga jangan sampai sinis, menyalahkan pemilik stasiun tv, menyalahkan pemerintah, menyalahkan ini dan itu. Cukup bentengi diri dan keluarga, tayangan nir-bobot itu hanya sebatas hiburan semata, tidak lebih.
Namun, ketika muncul film, terutama dokumenter yang menguak sebuah gejala sosial, politik, hukum, dan yang lain. Ada hal-hal yang dapat diperjuangkan, diamini. Sebab sejatinya sebuah film adalah semangat, harapan tentang bagaimana seorang mahkluk tersebut manusia hidup saling berdampingan bersama alam. Bersama film muncul ajakan, kampanye, bahwa ada hal yang harus diperjuangkan bersama, tidak sebatas “hiburan”.
Tingkat kewajaran umum selaras dengan kebiasaan yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Semisal berkelahi, membentak, melakukan kekerasan, merampas, ngebut dijalanan, pacaran, meneguk miras, dan semua gejala sosial yang umum terjadi dalam pranata kehidupan tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak. Oleh sebab itu, bimbingan orang tua menjadi sangat penting. Tidak membiarkan anak menonton seorang diri menjadi cara yang paling tepat untuk menetralisir serangan “sinetron”, serangan yang tertuju pada alam pikir anak.
Sebab, jika ingin melihat ke “dapur” perfilman. Hanyalah LSF RI bersama sembilan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia yang “memeriksa” edar film dan layar tayang di negara yang kita cinta ini, ialah padanya diberikan kepercayaan penuh. Apakah mereka mampu, sempurna menyajikan segala bentuk gambar bergerak terbebas dari ketidakmauan para pemirsa televisi Indonesia? Saya pikir mustahil. Sebab toh pada dasarnya, manusia memiliki ciri khas; keliru, pelupa, dan teledor. Sudah menjadi kodrat bagi siapapun juga.
Oleh karenanya, tidak elok ketika kita menyalahkan mereka, menuntut mereka atas munculnya kekeliruan disana-sini. Apakah jika kita yang duduk pada tampuk itu dapat menjamin setiap sendi perfilman terbebas dari scene durjana?
Memilah
Memilah-milah informasi juga menjadi senjata maha penting ketika hendak mengonsumsi tayangan film (maupun televisi). Memilah dengan cara mengadu informasi yang disajikan dengan kearifan dan makna adab, mutlak diperlukan. Sebab tidak semua hal baru yang kita saksikan di layar kaca itu benar, keren menurut orang sana belum tentu keren menurut orang sini. Sopan menurut orang sana belum tentu sopan menurut orang sini.
Sebab memilah tidak menjadi benteng pertahanan, banyak yang terjebak dalam kehidupan pertelevisian. Banyak orang berlomba saling “buang” uang hanya agar penampilannya serupa dengan sosok bintang film pujaannya. Berbicara diserupa-rupakan dengan aktor yang memenangi hatinya. Bertindak konyol sebab terlihat keren ketika tampak dilayar kaca pada kehidupannya yang nyata, agar tampak keren, up date, beken, maju, dan terminasi lain yang menurutnya sudah benar-betul.
Kalau sudah demikian, kearifan lokal yang santun dan terpuji dikata norak dan terbelakang. Disebut ndeso, meugampong.
Maka maha dahsyat efek dari beberapa jam saja menonton film, apalagi jika terus dikonsumsi setiap hari, dinanti-nanti, merasa menyesal setengah waras ketika terlewati meski hanya beberapa menit saja. Penawarnya tentu hanya satu, membentengi diri dengan budaya sensor mandiri. Ada yang layak konsumsi, ada yang sebaiknya ditinggalkan.