Banda Aceh-Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh merilis data trend Kekerasan terhadap perempuan dan Anak di Aceh tahun 2017 yang meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,pada diskusi bertajuk desiminasi dan ekspose bersama penanganan trend kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2017 P2TP2A pada 13/3 di Pendopo Gubernur Aceh. Pada tahun 2015 ada sekitar 979 kasus tercatat di P2TPA, di tahun selanjutnya jumlahnya meningkat tajam menjadi 1648, kemudian di tahun 2017 angka kasus kekerasan terus meningkat menjadi 1791 kasus.
Ketua P2TP2A Aceh, Amrina Habibie, SH menilai masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak terlaporkan dikarenakan berbagai faktor, di antaranya tingkat kesadaran dan pemahaman mengenai hak-hak perempuan yang belum dimiliki, masih kuatnya cara pandang dan budaya patriarkhis yang menempatkan perempuan pada posisi merugikan, serta perempuan korban belum sepenuhnya mendapatkan ruang yang nyaman untuk berbicara, menentukan keputusan dan bertindak sendiri menghadapi kasus kekerasan yang dihadapinya. Kasus-kasus kekerasan juga sering kali terhenti karena korban dan keluarga korban memutuskan untuk tidak menidaklanjutinya karena akan menjadi aib keluarga dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Selain itu, kekhawatiran tentang tidak adanya dukungan ekonomi untuk anak dan keluarga juga menjadi pertimbangan perempuan korban enggan melanjutkan proses hukum kasus kekerasan yang dialaminya sampai ke meja hijau.
Lebih lanjut, Amrina menambahkan bahwa Perempuan dan anak korban kekerasan seksual sampai saat ini masih menghadapi hambatan dalam proses reintegrasi sosial, di antaranya disebabkan oleh konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai penjaga moral keluarga dan komunitasnya. Akibatnya tidak jarang perempuan korban kekerasan seksual justru mendapatkan stigma berlapis dan perlakuan diskriminatif, bahkan tidak sedikit perempuan yang dipaksa meninggalkan tempat tinggal dan sosialnya karena tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari para tokoh strategis di desa dan masyarakat setempatnya. Kondisi tersebut menyebabkanperempuan korban kekerasan yang idealnya mendapat pemulihan paripurna secara fisik, psikologis dan sosial justru mendapatkan perlakuan buruk, semakin terdiskriminasi dan tidak jarang mengalami kekerasan dari lingkungan keluarga, sistem sosial, tempat tinggal dan sumber kehidupannya.
Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi perempuan, dan mengingatkan semua pihak di Aceh untuk secara kolektif dan sistematis melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh mulai dari tindakan preventif, pelayanan dan reintegrasi sosial. Upaya perlindungan perempuan dari ancaman tindak kekerasan diharapkan benar-benar dibangun berdasarkan pengalaman, harapan dan kebutuhan perempuan, sehingga tepat sasaran, serta yang terpenting tidak justru berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan untuk terlibat aktif dalam pembanguan perdamaian dan demokrasi di Aceh serta untuk mendapatkan hak-hak lainnya. Pendapat Suraiya ini merespon pada usulan salah seorang tokoh adat yang mengharapkan agar pemerintah Aceh membuat aturan aturan yang membatasi aktivitas perempuan di malam hari pada diskusi bertajuk desiminasi dan ekspose bersama penanganan trend kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2017 P2TP2A pada 13/3 di Pendopo Gubernur. Usulan tersebut semakin tidak relevan, mengingat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan anak justru terjadi di wilayah yang dianggap aman, seperti di rumah dan pelakuknya adalah orang yang dianggap sebagai pelindung.
Suraiya menegaskan bahwa gerakan perempuan sangat mendukung penerapan Syariat Islam yang rahmatan lil-alamin dengan memastikan pemenuhan hak-hak perempuan korban yang adil dan bermartabat. Untuk memastikan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan dan upaya pemenuhan hak perempuan seperti yang dijawibakan dalam UU Pemerintahan Aceh no 11, pasal 321, dapat dilakukan dengan beberapa hal:
1. Melakukan upaya preventif melalui beragam aktivitas termasuk sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan dan anak, bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada aparat penegak hukum, pemuka agama dan pemuka adat, yang bertujuan untuk membangun pemahaman dan kesadaran semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan kondisi yang aman bagi perempuan dan anak; serta mengurangi stigma neatif dan menyalahkankan korban
2. Penegakan hukum bagi pelaku kekerasan harus maksimal dan tidak tebang pilih, sehingga bisa menghadirkan efek jera bagi semua orang
3. Kebijakan penempatan petugas pihak keamanan atau patroli secara regular di daerah-daerah yang diduga rawan kekerasan. Pengadaan lampu di malam hari atau alat penerang jalan pada lokasi yang dinilai rawan kekerasan juga menjadi penting sebagai upaya pencegahan.
4. Ketersediaan sarana dan prasarana, personil yang handal dan memiliki perspektif korban serta anggaran yang memadai juga menjadi keharusan, sehingga P2TP2A sebagai unit layanan dapat bekerja secara masksimal dalam memberikan layanannya.
5. Pemerintah diharapkan pula dapat menyediakan kebijakan, anggaran dan program yang memadai bagi upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Aceh termasuk mendukung lembaga-lembaga yang diinisasi masyarakat dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Terkait dengan upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Amrina menambahkan bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) melalui P2TP2A terus berupaya melakukan beragam terobosan guna mengatasi terus meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, salah satunya dengan mendorong adanya regulasi hukum lokal dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui Rancangan Qanun Aceh Tentang Tata Cara Penyelesaian kekerasan terhadap Perempuan Dan Anak yang telah masuk dalam Program Legislasi (Prolega) 2018. Usulan ini telah diterima dan menjadi inisiatif DPRA Aceh dan akan menjadi qanun prioritas di tahun ini.