Oleh Anwar S.Pd I, M.Pd-i
Kepala SD Negeri Sarah Gala, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur
Kepala SD Negeri Sarah Gala, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur
Hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara adalah sama, tidak terkecuali bagi mereka yang berada di pedalaman. Anak-anak yang tinggal di pedalaman wajib dicerdaskan dengan penuh keadlilan, karena mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat UUD yang harus kita jalankan. Oleh sebab itu, usaha untuk memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan sama itu harus didasari niat dan itikad yang kuat dari hati nurani sebagai sebuah kewajiban yang harus benar-benar dijalankan.
Dalam tulisan ini, penulis ingin berbagi kisah dan pengalaman selama menjadi guru di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah 3 T. Sedikit mengenang masa lalu, kala pertama kali penulis menerima informasi tentang penugasan yang ditugaskan pada sekolah di wilayah 3T, jujur saja, penulis merasa kecewa dan tidak menerimanya, bahkan merasa dizalimi. Munculnya perasaan seperti itu, karena sebelumnya penulis mengajar di sekolah inti, termasuk sekolah percontohan. Selain itu, penulis juga pernah menoreh sebuah prestasi sebagai juara 1 (satu) guru berprestasi tingkat Kabupaten Aceh Timur. Bukan hanya itu, tetapi juga sebagai juara 3 (tiga) guru berprestasi di tingkat Provinsi Aceh tahun 2015 mewakili Aceh Timur.
Lalu, mengapa itu apresiasi yang diberikan atas prestasi yang penulis capai? Sementara, ketika teman –teman yang lain mendapat prestasi seperti yang penulis raih, rewardnya adalah diangkat sebagai Kepala Sekolah di sekolah inti yang bisa meningkatkan karier dan sekaligus bisa mengikuti ajang Kepala sekolah berprestasi. Mengapa penulis dibuang ke pelosok ? Itulah sejumlah pertanyaan penulis yang hanya terlintas dalam hati. Seharusnya penulis juga mendapat reward yang sama seperti teman yang lain.
Kekecewaan itu terus terlintas dalam pikiran penulis sebelum diantar dan dilakukan serah terima jabatan sebagai Kepala Sekolah di pelosok yang terisolir itu. Masa pelantikan dengan serah terima jabatan memang berselang selama beberapa hari. Hal ini disebabkan oleh keharusan penulis memenuhi perintah tugas mengikuti diklat P4TK tentang Instruktur Nasional guru pembelajar di Banda Aceh. Akibatnya, waktu untuk Sertijab harus dimajukan. Kemudian, tanggal 8 Agustus 2016 penulis diantar ke sekolah baru yang jauh dari kota itu. Maka, hari itu menjadi hari bersejarah bagi pribadi penulis, karena selama hidup belum pernah menempuh perjalan yang begitu ekstrim dengan menapaki kaki di Desa Sah Raja. Desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh timur itu. Di sanalah letaknya Sekolah baru, tempat penulis ditugaskan.
Perjalan menuju Desa Sah Raja, Kecamatan Pante Bidari kala itu terasa berat. Ya, kondisi jalan sangat rusak, berlubang lubang . Tidak hanya berlubang, tetapi penuh dengan batuan dan tanah merah berlumpur. Semakin terasa berat karena jalan yang ditempuh harus pula dengan mendaki bukit-bukit yang sangat terjal. membutuhkan waktu 2 jam setengah untuk bisa sampai di lokasi sekolah. Kondisi ini masih pada musim kemarau, belum lagi pada mism hujan. Jika musim hujan tiba, malah jalan itu tak bisa dilewati. Ini memang perjalanan berat dan seperti merasa tersisih dibandingkan dengan nasib kawan-kawan lain.
Namun, setelah penulis diantar oleh pengawas dan beberapa rekan Kepala Sekolah yang ikut mendampingi penulis ke SDN Sarah Gala tersebut, baru hati terasa sedih dan tergugah hati. Penulis harus melakukan sesuatu, membuat terobasan-terobosan baru. Apalagi kala menatap wajah – wajah polos anak-anak Aceh Timur yang di pedalaman ini. Mereka seperti orang yang tengah terampas hak untuk memperoleh pendidikan seperti halnya anak-anak lain di wilayah perkotaan. Bangkit dari keprihatinan itu, penulis semakin sadar bahwa ini adalah kewajiban besar yang harus diemban agar bisa memberikankan mereka hak atas pendidikan dengan baik.
Melihat SD Sarah Gala, tampak bangunannya yang hanya ada 6 ruang kelas. Di dekatnya ada satu rumah Kepala Sekolah dan 4 unit rumah guru. Semua rumah guru itu kondisinya sudah tidak layak huni. Melihat kondisi ini, penulis harus mengatur langkah baru. Maka, langkah awal yang harus dilakukan adalah menata tampilan fisik sekolah. Ini sangat penting, supaya anak-anak betah berada di sekolah. Maka, penulis membuatk alat peraga di dinding sekolah, mengajak guru kelas untuk menghiasi kelas dengan pernak pernik dan hiasan dinding dari hasil karya anak-anak. Agar suasana semakin nyaman, kami d membuat pagar teras. Dengan demikian, depan kelas bisa ditanami bunga-bunga. Halaman sekolah pun aman dari hewan ternak masyarakat sekitar yang sebelumnya bebas berkeliaran di hamalan sekolah. Seiring dengan menata tampilan sekolah, langkah kedua yang diambil adalah dengan menugaskan guru kelas untuk menyaring murid yang masih belum bisa membaca di kelasnya masing masing.
Dalam penyaringan tersebut murid-murid yang belum bisa membaca dibuat kelas khusus atau disebutkan kelas bengkel untuk belajar khusus membaca. Karena membaca adalah kunci segalanya, kalau tidak bisa membaca, maka semua materi yang diajarkan guru tidak akan tercapai atau dengan kata lain, nol hasilnya. Untuk mengoperasikan kelas bengkel ini, penulis menugaskan guru honor, khusus untuk menangani membaca dengan target 2 sampai 3 bulan murid mampu membaca cepat. Tujuan utamanya supaya melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah berhasil.
Para murid di kelas bengkel ini, berasal dari semua kelas. Mereka hanya belajar membaca. Bahannya penulis fotocopy dari buku bacaan cepat anak sekolah TK. Dengan buku baca cepat tersebut murid-mirid ini tidak lagi diajarkan mengeja, tetapi langsung membaca kata (seperti belajar membaca iqra’). Kelas bengkel ini sudah berjalan sejak saya awal penulis ditugaskan di sana. Alhamdulillah dari awalnya 30 murid yang tidak bisa membaca, sekarang tinggal beberapa murid saja lagi yang belum bisa. Kegiatan ini terus penulis upayakan dengan berbagai teknik dan dukungan guru untuk menuntaskan masalah ini supaya semua murid bisa membaca.
Namun, kewajiban untuk membaca bukan untuk kelas bengkel saja, juga untuk kelas lain. Setiap hari wajib membaca 15 menit sebelum proses PBM berjalan. Itu wajib dilakukan. Selain sebagai amanat dalam peraturan menteri pendidikan, membaca 15 menit ini juga bertujuan menguatkan dan meningkatkan minat para murid untuk membaca dan menulis.
Keinginan penuli sangat besar dalam melakukan Gerakan Literasi Sekolah yang bertujuan untuk menjadikan murid-murid SD Negeri Sarah Gala, menjadi anak-anak yang cerdas seperti anak – anak yang lain seusia mereka. Tentu saja tidak semua mudah dilakukan. Selalu ada kendala yang menghadang. Misalnya, jumlah murid SDN Sarah Gala saat ini mencapai 110. Jika dibandingkan dengan sekolah terpencil lainnya di wilayah kerja UPTD Simpang Ulim, SDN Sarah Gala yang paling banyak muridnya. Dengan murid sebanyak 110 itu, seharusnya sudah memiliki perpustakaan dengan perlengkapan pustaka yang memadai. Namun, secara factual, itu tidak. Padahal, kalau perpustakaan dan sarananya lengkap, itu sangat membantu guru dan mendukung kelancaran para murid dalam belajar. Namun apa mau dikata, semua itu belum ada. Meskipun demikian penulis tidak patah semangat untuk memodifikasi sebagian ruang guru untuk dijadikan pustaka mini. Tentu saja dengan memanfaatkan rak buku yang ada. Penulis mengajak guru guru untuk memajang buku buku pelajaran sebagai bahan untuk menumbuhkan minat murid untuk membaca. Selain sarana perpustakaan, tenaga pendidik juga masih kurang. Bayangkan saja dari 10 orang guru hanya 3 guru PNS (termasuk penulis selaku Kepsek), dan 7 guru honorer, yang 4 orang diantaranya hanya tamatan SMA sederajat. Kendala lainnya adalah buku pelajaran dan buku bacaan yang sangat minim. Dalam proses PBM satu buku itu bisa berbanding 4 murid. Jika para murid ingin membaca, mereka hanya bisa membaca buku teks pelajaran, karena buku cerita di sekolah tidak rersedia, sehingga minat para murid untuk membacanya jadi rendah. Tetapi untuk kendala buku pelajaran itu cerita awal penulis pernah bertugas sebelumnya. Alhamduliah sekarang untuk kebutuhan buku pelajaran sudah tersedia dengan rasio 1 banding 1, namun untuk gedung perpustakaan masih belum tersedia.
Berbagai usaha terus dilakukan untuk menggerakkan budaya baca di sekolah (SD) Negeri Sarah gala tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis mendapat kesempatan mengikuti lomba budaya mutu sekolah wilayah 3 T di hotel lading Banda Aceh. Alhamdulillah sekolah SDN Sarah Gala memperoleh juara harapan 1 tingkat Provinsi Aceh. Dalam kegiatan tersebut penulis diperkenalkan oleh Bapak Bayhaqi dengan seseorang yang sangat peduli tentang pendidikan bisa disebut tokoh peduli pendidikan yaitu Bapak Tabrani Yunis. Nah, dalam pertemuan singkat tersebut, banyak ilmu dan pengalaman yang penulis terima dari Pak Tabrani Yunis. Begitu pula dari Pak Bayhaqi. Mereka selama ini dikenal giat dan banyak melakukan upaya dan usaha menggerakan literasi sekolah. Apalagi sekolah pelosok yang sarat dengan keterbatasan, sehingga terkadang terasa sangat sulit. Alhamdulilah keterbatasan itu semua mejadi mudah dengan dukungan pengalaman dari kedua bapak hebat tersebut.
Lewat majalah anak cerdas pak Tabrani Yunis memotivasi dan mengajak penulis untuk mengatasi kendala baca para murid. Ternyata, majalah Anak Cerdas yang diterbitkan oleh CCDE dengan sangat menarik, baik dari tampilan dan juga isi bacaannya. Setelah Lebih kurang satu jam kami diskusi ringan di ruang coffee break hotel, penulis meminta Pak Tabrani Yunis untuk mau berkerjasama. Tentu dengan cara berlangganan majalah tersebut setiap edisinya. Apalagi, kata Pak Tabrani Yunis bahwa majalah Anak Cerdas mau menerima dan juga memuat hasil hasil karya murid SDN Sarah Gala nantinya. Ternyata, harga majalahnya tergolong murah meriah. Saat itu penulis langsung membeli ke 21 edisi majalah Anak Cerdas tersebut pada Pak Tabrani Yunis untuk dibawa pulang ke sekolah. Penulis sangat yakin dengan majalah ini para murid di sekolah sangat senang dan tertarik untuk membacanya.
Alhamdulillah usaha penulis berhasil memotivasi anak-anak untuk membaca. Mereka membaca duduk di teras kelas, kadang duduk di dalam kelas. Bahkan ada juga di bawah pohon rindang yang berada di halaman sekolah. Terlihat dari wajah mereka senyuman bahagia, saat membaca isi dari cerita dari majalah anak cerdas. Semoga ke depan karya murid SDN Sarah Gala, juga bisa dibaca oleh para murid lain di seluruh penjuru Aceh. Inilah sedikit trobosan yang penulis lakukan untuk menciptakan perubahan dipelosok negeri.
Penulis punya visi ke depan untuk merubah SDN Sarah Gala ke arah yang lebih cemerlang, baik dari segi kuatitas sekolah maupun kualitas lulusannya. Dengan memperoleh juara harapan 1 di ajang lomba budaya mutu sekolah wilayah 3T tingkat provinsi Aceh, menjadi capaian prestasi tahap awal untuk menunjukkan pada semua, bahwa kami di wilayah 3T juga bisa memberikan layanan bermutu untuk anak didik dan warga sekolah semuanya dalam mewujudkan lulusan yang berdaya saing tinggi, maka dari itu kami memiliki motto ” Terpencil bukanlah terkucil, Gerakan Literasi Demi prestasi”
Sarah Gala, 8 November 2017
Oleh Anwar S.Pd I, M.Pd-i
Hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara adalah sama, tidak terkecuali bagi mereka yang berada di pedalaman. Anak-anak yang tinggal di pedalaman wajib dicerdaskan dengan penuh keadlilan, karena mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat UUD yang harus kita jalankan. Oleh sebab itu, usaha untuk memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan sama itu harus didasari niat dan itikad yang kuat dari hati nurani sebagai sebuah kewajiban yang harus benar-benar dijalankan.
Dalam tulisan ini, penulis ingin berbagi kisah dan pengalaman selama menjadi guru di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah 3 T. Sedikit mengenang masa lalu, kala pertama kali penulis menerima informasi tentang penugasan yang ditugaskan pada sekolah di wilayah 3T, jujur saja, penulis merasa kecewa dan tidak menerimanya, bahkan merasa dizalimi. Munculnya perasaan seperti itu, karena sebelumnya penulis mengajar di sekolah inti, termasuk sekolah percontohan. Selain itu, penulis juga pernah menoreh sebuah prestasi sebagai juara 1 (satu) guru berprestasi tingkat Kabupaten Aceh Timur. Bukan hanya itu, tetapi juga sebagai juara 3 (tiga) guru berprestasi di tingkat Provinsi Aceh tahun 2015 mewakili Aceh Timur.
Lalu, mengapa itu apresiasi yang diberikan atas prestasi yang penulis capai? Sementara, ketika teman –teman yang lain mendapat prestasi seperti yang penulis raih, rewardnya adalah diangkat sebagai Kepala Sekolah di sekolah inti yang bisa meningkatkan karier dan sekaligus bisa mengikuti ajang Kepala sekolah berprestasi. Mengapa penulis dibuang ke pelosok ? Itulah sejumlah pertanyaan penulis yang hanya terlintas dalam hati. Seharusnya penulis juga mendapat reward yang sama seperti teman yang lain.
Kekecewaan itu terus terlintas dalam pikiran penulis sebelum diantar dan dilakukan serah terima jabatan sebagai Kepala Sekolah di pelosok yang terisolir itu. Masa pelantikan dengan serah terima jabatan memang berselang selama beberapa hari. Hal ini disebabkan oleh keharusan penulis memenuhi perintah tugas mengikuti diklat P4TK tentang Instruktur Nasional guru pembelajar di Banda Aceh. Akibatnya, waktu untuk Sertijab harus dimajukan. Kemudian, tanggal 8 Agustus 2016 penulis diantar ke sekolah baru yang jauh dari kota itu. Maka, hari itu menjadi hari bersejarah bagi pribadi penulis, karena selama hidup belum pernah menempuh perjalan yang begitu ekstrim dengan menapaki kaki di Desa Sah Raja. Desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh timur itu. Di sanalah letaknya Sekolah baru, tempat penulis ditugaskan.
Perjalan menuju Desa Sah Raja, Kecamatan Pante Bidari kala itu terasa berat. Ya, kondisi jalan sangat rusak, berlubang lubang . Tidak hanya berlubang, tetapi penuh dengan batuan dan tanah merah berlumpur. Semakin terasa berat karena jalan yang ditempuh harus pula dengan mendaki bukit-bukit yang sangat terjal. membutuhkan waktu 2 jam setengah untuk bisa sampai di lokasi sekolah. Kondisi ini masih pada musim kemarau, belum lagi pada mism hujan. Jika musim hujan tiba, malah jalan itu tak bisa dilewati. Ini memang perjalanan berat dan seperti merasa tersisih dibandingkan dengan nasib kawan-kawan lain.
Namun, setelah penulis diantar oleh pengawas dan beberapa rekan Kepala Sekolah yang ikut mendampingi penulis ke SDN Sarah Gala tersebut, baru hati terasa sedih dan tergugah hati. Penulis harus melakukan sesuatu, membuat terobasan-terobosan baru. Apalagi kala menatap wajah – wajah polos anak-anak Aceh Timur yang di pedalaman ini. Mereka seperti orang yang tengah terampas hak untuk memperoleh pendidikan seperti halnya anak-anak lain di wilayah perkotaan. Bangkit dari keprihatinan itu, penulis semakin sadar bahwa ini adalah kewajiban besar yang harus diemban agar bisa memberikankan mereka hak atas pendidikan dengan baik.
Melihat SD Sarah Gala, tampak bangunannya yang hanya ada 6 ruang kelas. Di dekatnya ada satu rumah Kepala Sekolah dan 4 unit rumah guru. Semua rumah guru itu kondisinya sudah tidak layak huni. Melihat kondisi ini, penulis harus mengatur langkah baru. Maka, langkah awal yang harus dilakukan adalah menata tampilan fisik sekolah. Ini sangat penting, supaya anak-anak betah berada di sekolah. Maka, penulis membuatk alat peraga di dinding sekolah, mengajak guru kelas untuk menghiasi kelas dengan pernak pernik dan hiasan dinding dari hasil karya anak-anak. Agar suasana semakin nyaman, kami d membuat pagar teras. Dengan demikian, depan kelas bisa ditanami bunga-bunga. Halaman sekolah pun aman dari hewan ternak masyarakat sekitar yang sebelumnya bebas berkeliaran di hamalan sekolah. Seiring dengan menata tampilan sekolah, langkah kedua yang diambil adalah dengan menugaskan guru kelas untuk menyaring murid yang masih belum bisa membaca di kelasnya masing masing.
Dalam penyaringan tersebut murid-murid yang belum bisa membaca dibuat kelas khusus atau disebutkan kelas bengkel untuk belajar khusus membaca. Karena membaca adalah kunci segalanya, kalau tidak bisa membaca, maka semua materi yang diajarkan guru tidak akan tercapai atau dengan kata lain, nol hasilnya. Untuk mengoperasikan kelas bengkel ini, penulis menugaskan guru honor, khusus untuk menangani membaca dengan target 2 sampai 3 bulan murid mampu membaca cepat. Tujuan utamanya supaya melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah berhasil.
Para murid di kelas bengkel ini, berasal dari semua kelas. Mereka hanya belajar membaca. Bahannya penulis fotocopy dari buku bacaan cepat anak sekolah TK. Dengan buku baca cepat tersebut murid-mirid ini tidak lagi diajarkan mengeja, tetapi langsung membaca kata (seperti belajar membaca iqra’). Kelas bengkel ini sudah berjalan sejak saya awal penulis ditugaskan di sana. Alhamdulillah dari awalnya 30 murid yang tidak bisa membaca, sekarang tinggal beberapa murid saja lagi yang belum bisa. Kegiatan ini terus penulis upayakan dengan berbagai teknik dan dukungan guru untuk menuntaskan masalah ini supaya semua murid bisa membaca.
Namun, kewajiban untuk membaca bukan untuk kelas bengkel saja, juga untuk kelas lain. Setiap hari wajib membaca 15 menit sebelum proses PBM berjalan. Itu wajib dilakukan. Selain sebagai amanat dalam peraturan menteri pendidikan, membaca 15 menit ini juga bertujuan menguatkan dan meningkatkan minat para murid untuk membaca dan menulis.
Keinginan penuli sangat besar dalam melakukan Gerakan Literasi Sekolah yang bertujuan untuk menjadikan murid-murid SD Negeri Sarah Gala, menjadi anak-anak yang cerdas seperti anak – anak yang lain seusia mereka. Tentu saja tidak semua mudah dilakukan. Selalu ada kendala yang menghadang. Misalnya, jumlah murid SDN Sarah Gala saat ini mencapai 110. Jika dibandingkan dengan sekolah terpencil lainnya di wilayah kerja UPTD Simpang Ulim, SDN Sarah Gala yang paling banyak muridnya. Dengan murid sebanyak 110 itu, seharusnya sudah memiliki perpustakaan dengan perlengkapan pustaka yang memadai. Namun, secara factual, itu tidak. Padahal, kalau perpustakaan dan sarananya lengkap, itu sangat membantu guru dan mendukung kelancaran para murid dalam belajar. Namun apa mau dikata, semua itu belum ada. Meskipun demikian penulis tidak patah semangat untuk memodifikasi sebagian ruang guru untuk dijadikan pustaka mini. Tentu saja dengan memanfaatkan rak buku yang ada. Penulis mengajak guru guru untuk memajang buku buku pelajaran sebagai bahan untuk menumbuhkan minat murid untuk membaca. Selain sarana perpustakaan, tenaga pendidik juga masih kurang. Bayangkan saja dari 10 orang guru hanya 3 guru PNS (termasuk penulis selaku Kepsek), dan 7 guru honorer, yang 4 orang diantaranya hanya tamatan SMA sederajat. Kendala lainnya adalah buku pelajaran dan buku bacaan yang sangat minim. Dalam proses PBM satu buku itu bisa berbanding 4 murid. Jika para murid ingin membaca, mereka hanya bisa membaca buku teks pelajaran, karena buku cerita di sekolah tidak rersedia, sehingga minat para murid untuk membacanya jadi rendah. Tetapi untuk kendala buku pelajaran itu cerita awal penulis pernah bertugas sebelumnya. Alhamduliah sekarang untuk kebutuhan buku pelajaran sudah tersedia dengan rasio 1 banding 1, namun untuk gedung perpustakaan masih belum tersedia.
Berbagai usaha terus dilakukan untuk menggerakkan budaya baca di sekolah (SD) Negeri Sarah gala tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis mendapat kesempatan mengikuti lomba budaya mutu sekolah wilayah 3 T di hotel lading Banda Aceh. Alhamdulillah sekolah SDN Sarah Gala memperoleh juara harapan 1 tingkat Provinsi Aceh. Dalam kegiatan tersebut penulis diperkenalkan oleh Bapak Bayhaqi dengan seseorang yang sangat peduli tentang pendidikan bisa disebut tokoh peduli pendidikan yaitu Bapak Tabrani Yunis. Nah, dalam pertemuan singkat tersebut, banyak ilmu dan pengalaman yang penulis terima dari Pak Tabrani Yunis. Begitu pula dari Pak Bayhaqi. Mereka selama ini dikenal giat dan banyak melakukan upaya dan usaha menggerakan literasi sekolah. Apalagi sekolah pelosok yang sarat dengan keterbatasan, sehingga terkadang terasa sangat sulit. Alhamdulilah keterbatasan itu semua mejadi mudah dengan dukungan pengalaman dari kedua bapak hebat tersebut.
Lewat majalah anak cerdas pak Tabrani Yunis memotivasi dan mengajak penulis untuk mengatasi kendala baca para murid. Ternyata, majalah Anak Cerdas yang diterbitkan oleh CCDE dengan sangat menarik, baik dari tampilan dan juga isi bacaannya. Setelah Lebih kurang satu jam kami diskusi ringan di ruang coffee break hotel, penulis meminta Pak Tabrani Yunis untuk mau berkerjasama. Tentu dengan cara berlangganan majalah tersebut setiap edisinya. Apalagi, kata Pak Tabrani Yunis bahwa majalah Anak Cerdas mau menerima dan juga memuat hasil hasil karya murid SDN Sarah Gala nantinya. Ternyata, harga majalahnya tergolong murah meriah. Saat itu penulis langsung membeli ke 21 edisi majalah Anak Cerdas tersebut pada Pak Tabrani Yunis untuk dibawa pulang ke sekolah. Penulis sangat yakin dengan majalah ini para murid di sekolah sangat senang dan tertarik untuk membacanya.
Alhamdulillah usaha penulis berhasil memotivasi anak-anak untuk membaca. Mereka membaca duduk di teras kelas, kadang duduk di dalam kelas. Bahkan ada juga di bawah pohon rindang yang berada di halaman sekolah. Terlihat dari wajah mereka senyuman bahagia, saat membaca isi dari cerita dari majalah anak cerdas. Semoga ke depan karya murid SDN Sarah Gala, juga bisa dibaca oleh para murid lain di seluruh penjuru Aceh. Inilah sedikit trobosan yang penulis lakukan untuk menciptakan perubahan dipelosok negeri.
Penulis punya visi ke depan untuk merubah SDN Sarah Gala ke arah yang lebih cemerlang, baik dari segi kuatitas sekolah maupun kualitas lulusannya. Dengan memperoleh juara harapan 1 di ajang lomba budaya mutu sekolah wilayah 3T tingkat provinsi Aceh, menjadi capaian prestasi tahap awal untuk menunjukkan pada semua, bahwa kami di wilayah 3T juga bisa memberikan layanan bermutu untuk anak didik dan warga sekolah semuanya dalam mewujudkan lulusan yang berdaya saing tinggi, maka dari itu kami memiliki motto ” Terpencil bukanlah terkucil, Gerakan Literasi Demi prestasi”
Sarah Gala, 8 November 2017