Oleh: Sumarsih, Peneliti Alwi Research and Consulting
Rilis terbaru Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipuncak tertinggi sebagai lembaga paling korup di negeri ini tampaknya akan segera terkonfirmasi. Pasalnya, di dalam kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang saat ini sedang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), muncul puluhan nama anggota maupun mantan anggota DPR yang diduga turut menikmati aliran dana haram dari proyek E-KTP tersebut. Diantaranya yakni Setya Novanto, M Jafar Hafsah, Agun Gunandjar Sudarsa, Chairuman Harahap, Olly Dondokambey, Mirwan Amir dan Mustokoweni. Bahkan, Ganjar Pranowo yang dikenal sebagai orang “bersih” pun dan kini menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah (Jateng) tak luput terseret namanya sebagai salah satu orang yang diduga ikut menikmati aliran dana proyek E-KTP.
Secara keseluruhan, tidak kurang dari 60 nama anggota DPR yang disebut turut menerima uang bancakan korupsi E-KTP. Tidak main-main, kenyataannya nama-nama yang muncul sudah menjadi fakta persidangan karena kasus korupsi E-KTP sudah memasuki tahap persidangan. Di sisi lain, mafhum disadari sebagian besar nama anggota DPR yang turut disebut dipersidangan sebagai penerima aliran dana proyek E-KTP saat ini masih berada di lingkaran kekuasaan. Semisal, Setya Novanto yang saat ini menjabat sebagai ketua DPR, Yasonna Laoly menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), hingga Ganjar Pranowo yang menjabat sebagai Gubernur Jateng.
Kulminasinya, usaha KPK untuk menuntaskan megakorupsi E-KTP sampai ke akar-akarnya sudah pasti akan mendapatkan hambatan yang berarti. Mengkonfirmasi hal tersebut, DPR melalui Badan Keahlian DPR (BKD) belakangan ini ternyata rajin menyambangi pelbagai universitas untuk melakukan sosialisasi terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Celakanya, poin-poin revisi yang disosialisasikan pun sama dengan poin-poin revisi yang diwacanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Diantaranya terkait pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih DPR, wewenang penyadapan melalui izin dewan pengawas, dan pemberian kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan/ SP3.
Melemahkan KPK
Jika ditelaah secara mendalam, maka tidak ada satu poin revisi pun yang dapat dikatakan dapat memperkuat KPK dalam usahanya memberantas praktik korupsi di negeri ini. Tetapi sebaliknya, poin-poin revisi yang disosialisasikan oleh BKD itu justru berpotensi melemahkan KPK. Misalnya poin revisi terkait penyadapan, KPK baru diperbolehkan melakukan penyadapan setelah mempunyai bukti permulaan dan mendapat izin dari dewan pengawas. Jika menjadi kenyataan maka implikasinya kinerja KPK akan terhambat karena harus dibuat ribet dengan mengurus persoalan izin (baca: administrasi). Pun tidak ada yang dapat menjamin jika dalam masa proses pengurusan izin tersebut rencana KPK untuk melakukan penyadapan tidak bocor.
Kecuali itu, kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK saat ini mempunyai andil besar untuk mendapatkan bukti permulaan yang pada gilirannya digunakan untuk menjerat para koruptor. Jika logika itu dibalik sebagaimana poin revisi yang disosialisasikan BKD, yakni dengan memperoleh bukti permulaan terlebih dulu sebelum diperbolehkan melakukan penyadapan, maka potensi dihilangkannya bukti-bukti oleh koruptor menjadi terbuka lebar. Setali tiga uang poin revisi terkait pembentukan dewan pengawas KPK. Terlebih, aturan tersebut menentukan bahwa dewan pengawas KPK dipilih oleh DPR. Padahal, di sisi lain sudah menjadi rahasia umum bila DPR kerap mempunyai konflik kepentingan (conflict of interest) dengan KPK.
Kenyataannya, rilis hasil survei TII menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup yang sama artinya bahwa DPR saat ini merupakan musuh utama KPK. Tidak hanya sebatas persepsi saja, karena sejarah mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2013 terdapat setidaknya 74 anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi. Fakta itu belum didukung “teman sejawatnya” ditingkat provinsi (DPRD Provinsi) sebanyak 2.545 orang dan tingkat kabupaten (DPRD Kabupaten) sebanyak 431 orang yang tersangkut kasus serupa. Maka, pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih oleh DPR sudah pasti berpotensi mengekang ruang gerak KPK dalam memberantas praktik korupsi, terlebih yang melibatkan anggota dewan yang terhormat.
Menolak Revisi
Sejarah di negara ini mencatat bahwa upaya memperlemah KPK melalui revisi UU KPK selalu kandas ketika suara publik bersatu untuk menolaknya. Paling tidak hal itu bisa dilihat dari tidak terwujudnya rencana revisi UU KPK di tahun 2015 maupun 2016 lalu. Dalam konteks saat ini, peran publik untuk menolak revisi UU KPK tidak kalah penting diperlukan. Sebabnya, KPK mempunyai “PR” besar untuk menuntaskan megakorupsi E-KTP. Jika KPK terus diganggu dengan upaya revisi UU KPK yang arah-arahnya nampak jelas memperlemah KPK, maka tentu saja fokus KPK akan terpecah.
Di satu sisi harus terus berjuang menuntaskan megakorupsi E-KTP sebagaimana kewajiban yang diamanatkan oleh UU KPK untuk memberantas praktik korupsi di negara ini. Namun di sisi lain, harus juga mengawal upaya revisi UU KPK agar pelemahan KPK dapat dihindarkan. Akhirnya, hanya publik saat ini yang dapat diharapkan oleh KPK untuk menghindarkan terjadinya pelemahan pada KPK. Maka, mari saat ini kita bersatu padu untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK. Sehingga, harapan dapat dituntaskannya megakorupsi E-KTP sampai keakar-akarnya dapat terwujud. Lebih jauh, praktik korupsi (baca: koruptor) dapat dibumihanguskan dari negara ini. Semoga!.
Biodata Penulis:
Penulis adalah pegiat antikorupsi dan peneliti Alwi Research and Consulting. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Aktif menulis di media cetak lokal dan nasional