Oleh Tabrani Yunis
Flughafen Zurich, 12 Agustus 2005
Welcome to Switzerland, welcome to Zurich
Perjalanan yang panjang dari Kuala Lumpur ke Zurich terlewati ketika pesawat berbadan lebar MH 10 mendarat mulus di bandara Flughafen, Zurich pada pukul 6.30 pagi. Dengan mata yang masih terasa mengantuk, aku dan 10 remaja yang masih berstatus siswa SMA di Aceh itu turun dari pesawat bersama ratusan penumpang yang datang dan pulang ke Zurich. Seorang lelaki yang berusia kira-kira 40 yang berdiri di belakang ku dengan ramah tiba-tiba menyapa dan berkata pada Suci, siswa SMA Modal Bangsa. Wow, you do not need to wear jacket now in Zurich. It is summer now, begitu katanya. Suci menyambut ungkapan itu dengan senyum dan membalasnya. Yeah sir, but for us it is very cool. Where are you going and what will you do here in Zurich, tanya lelaki itu. Secara serentak kami menjawab, we are attending International Youth Camp in Trogen, Switzerland. It will last for 2 weeks. Karena para penumpang telah berdiri dan menuju keluar, kami pun pamit dengan lelaki itu.
Keluar dari pintu pesawat menuju gate E 6, kami menatap keindahan bandara udara Flughafen, Zurich. Anak-anak mengambil kamera masing-masing dan mulai beraksi di depan kamera dengan menggunakan latar keindahan panorama di bandara Zurich itu. Bagai tak pernah puas dan tak pernah habis isi kamera. Mereka terus berfoto ria. Ternyata, hanya kami 12 orang yang berada pada barisan akhir. Aku mengajak semua untuk cepat-cepat dan melihat ke arah papan informasi yang menunjuk arah baggage claim. Jauh juga harus berjalan naik turun. Bahkan kami juga naik trem melewati terowongan. Kami duduk di bagian paling depan, sambil mengambil beberapa foto untuk dokumentasi.
Tram berhenti di gate E-6, kami menuju keluar dan naik melalui escalator ke lantai atas. Sambil berjalan menuju ke arah baggage claim, kami becengkerama seakan tidak pernah ada rasa takut dan khawatir. Lalu mengambil bagasi pada nomor 23 khusus buat penumpang pesawat MAS dengan kode MH 10. Ada yang mengggunakan trolly ada yang langsung menarik koper masing-masing. Di perjalanan menuju exit door, aku melihat 2 lelaki setengah baya berlari di ruang tunggu. Di tangannya ada selembar kertas bertuliskan “ Indonesia” dengan label “ Play for Peace”. Lelaki itu, bernama Damian Zimmerman. Dia menyambut kami dengan penuh keramahan. Welcome to Zurich, I am Damian, Nice to meet you. Kami pun memperkenalkan diri masing-masing. Kami juga berkenalan dengan Isabelle, perempuan yang selalu menjadi contact person aku sewaktu mengurus program ini.
Damian, lelaki yang berambut panjang, dengan tinggi badan 190 cm dan tampak begitu bersahabat, bertanya kepada kami. Apa kalian mau menunggu di sini ? Kita harus menunggu teman-teman dari negera lain. Kita sedang tunggu rombongan dari Afrika Selatan. Mungkin kita akan menunggu selama dua jam, bagaimana ? Saya tawarkan kalian untuk berjalan-jalan berkeliling sekedar window shopping di dalam bandara. Tentu dengan senang hati, tawaran itu kami sambar saja. Soalnya, kami baru kali ini menginjakkan kaki di Eropa. Walau sebenarnya Swiss sendiri tidak masuk dalam kelompok Uni Eropa, ini adalah perjalanan pertama kami ke Eropa. Kami berjalan menuju escalator yang tak jauh dari barang yang kami simpan. Aku tiba-tiba berbalik ke bagasi, seorang lelaki berbadan gemuk dan agak sedikit pendek berkata, Okay Sir, Do not worry, I am watching your baggage. My name Damian too. There are two Damian but we have the different last name. begitu katanya. Aku kemudian mengejar anak-anak yang sudah meraih lantai dua. Kami berjalan melirik kiri kanan,memperhatikan barang-barang yang di pajang di etalase toko-toko itu. Tak lama kemudian, kami tiba di ruang tunggu yang di tempat itu ada susunan batu pahatan yang bagus, juga ada patung boneka. Kami memanfaatkan tempat ini untuk diabadikan dalam foto. Ada yang terkagum-kagum, ada yang dengan ekspresi gembira melenggang mengelilingi toko-toko itu. Apalagi tiba-tiba di veranda ada 2 mainan yang lucu, seperti anjing dan sapi yang bersuara dan bergerak-gerak sendiri. Kelihatannya sangat lucu. Pada Fitra ku katakan, wah, kalau aku masih punya anak, aku akan beli mainan itu. Ya,aku sering membeli mainan buat anak-anak ku, Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunisa, ketika mereka masih hidup sebelum bencana tsunami yang melanda Aceh. Sudahlah sir, kata Fitra. Nanti sir jadi sedih. Mata kami pun tertuju pada hal yang lain. Keinginan membeli sesuatu muncul dalam hati. Tapi kami sendiri belum punya uang Swiss. Di dompet kami yang ada cuma rupiah, ringgit, dolar dan mungkin Euro. Kita perlu tukar uang dulu ya, kataku kepada anak – anak. Nanti kalau kita ingin beli sesuatu, tak punya CHF. Karena itu, aku bertanya pada Damian di mana kami bisa menukar uang. Sejenak Damian tertegun. Okay, lets go down stair, katanya. Kami pun ikut turun ke lantai bawah melewati tangga. Di sudut bagian tengah, tampak sebuah toko mirip kantor travel. Yeah, you can change your money there, kata Damian. There is a money changer. Kami pun berjalan menuju outlet yang bernama Travelex, Worldwide money itu. Kecuali Mulya dan Popon, karena mereka harus ke toilet dulu. Firna dan Suci berdiri di depan outlet menukarkan uang mereka, lalu datang yang lain. Aku menukar 100 Euro dan 46 dolar dengan CHF 203.60. Aku mengamabil uang itu dan slip penukaran. Aku memperhatikan slip itu. Ku baca-baca dengan teliti, karena aku takut kalau aku silap. Aku berbalik menuju tempat duduk sembari memperhatikan sejumlah uang yang ku miliki. Aku membaca kertas itu, ku baca Commission Free ! next time order your money online. Di slip itu ditulis juga web site- nya, www.travelex.co.uk. Bahkan kalau mau kirim lewat email juga bisa.karena ada dibubuhkan alamat emailnya. Mau tau ? emailnya : customerservice@travelex.com. Nah, karena kami memang sudah berada di unit 5 Maple Grove Business centre, Lawrance Road, Hounslow, Middlesex,TW4 6DR itu, ya tidak perlu online. Menghitung duit di tangan, terasa sangat sedikit, karena untuk membeli sesuatu di Swiss harganya cukup mahal. Dan aku merasa tidak punya uang cukup untuk itu. Ya, apa yang bisa dibeli dengan uang hanya 200 an itu. Ya, sudahlah,kataku.
Popon dan Mulya yang tadinya mau ke toilet, tampak turun dari lantai 2. Mereka juga mau membeli CHF dengan ringgit yang dibelinya saat di bandara antara bangsa Malaysia. Kami menunggu mereka selesai, Damian pun menjelaskan kami tentang koin dan cara menghitungnya. Dengan bercanda, kami berkata, we want to buy something here. Can we buy many things with this small amount of money? Wow, you can.but not many things. Ha ha. Ia ketawa.
Kami meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar tempat kami menyimpan barang-barang. Sambil berjalan-jalan, mata kami terus saja meloloti barang-barang yang di pajang di etalase pertokoan itu . Mata melihat pada harga. Kelihatannya murah, ya hanya 12 Franch Swiss. Tapi, uang kami sangat sedikit. Ah,lupakan soal belanja dulu. Kami rupanya tidak langsung menuju tempat keluar itu, tapi melewati depan pintu check in. Tak jauh dari tempat check ini itu, ada gate masuk ke taman observation. Kami diajak Damian masuk ke tempat itu. Damian pun mencoba masuk, tapi rupanya harus pakai tiket. Lalu Damian keluar membeli 13 tiket. Kami masuk dengan pemeriksaan yang cukup ketat, semua yang ada di badan berbentuk metal seperti ikat pinggang harus dilepaskan dan dimasukkan dalam keranjang berserta HP dan yang lainnya.
Melewati pintu pemeriksaan, di mulut anak-anak terdengar suara kekaguman melihat indahnya bandara Flughafen Zurich dengan dikelilingi panorama yang sangat indah dan sejuk. Mata kami liar melumati keindahan Zurich. Anak-anak beraksi bagaikan paparozzi yang mengintip setiap fenomena dengan kamera mereka. Pokoknya, memang indah dan serba teratur. Kami punya waktu hanya sedikit, lalu Damian mengajak kami keluar dari tempat itu, kembali ke pintu keluar dekat barang-barang yang kami simpan.
Tiba di tempat penyimpanan barang, para peserta dari Afrika Selatan dan Amerika latin, sudah menunggu. Kami mengambil barang-barang dan keluar sambil membawa satu apel di tangan yan diambil dari keranjang apel disediakan panitia. Kami membawa barang ke luar menuju bis yang di parkir di pinggir bandara. Sopir bis memasukan barang ke bis dan kami satu persatu masuk atau naik ke bis. Fitra dan Irma duduk di seat paling depan. Aku dan Hazri, Zulfikar mengambil posisi paling belakang. Karena di belakang ada seat yang ditata seperti duduk di restoran saja. Tak lama kemudian Malvin pun ikut gabung. Di samping kami ada seorang anak Afrika Selatan, Solomon namanya. Damian datang membagikan roti dan air mineral. Ia tidak memberikannya pada anak Afsel, karena tidak termasuk dalam kelompok Damian. Kami mulai memakan makanan Eropa ini di bis yang sedang meninggalkan bandara Flughafen, Zurich menuju Trogen Village. Roti itu terasa nikmat mungkin karena perut mulai terasa lapar.
Dengan mulus bis meluncur di jalan toll menuju Trogen. Melintasi jalan yang dikelilingi panorama yang sangat indah, dihiasi hutan-hutan rakyat yang tertata rapi dengan lahan pertanian dan sapi-sapi sedang merumput, kami meninggalkan Flughafen, bandara Zurich. Di antara kami, ada yang seakan tak puas-puasnya memandang keelokan pemandangan di sepanjang jalan itu. Rasanya, tak sepicing mata pun mata ku terpejam, walau sebenarnya perasaan ngantuk bergantungan di pelupuk mataku. Namun, aku tidak mau melewatkan kesempatan sekali ini menikmati keindahan Swiss.
.
Perjalanan dari Flughafen ke Pestalozzi Children Village di Trogen memakan waktu lebih kurang 2 jam. Sekitar 10 waktu setempat, kami tiba di Trogen Village. Bis berhenti tepat di depan dapur. Di sebelahnya ada restoran dan Gym. Satu per satu kami menuruni tangga bis. Sopir bis membuka bagasi dan mempersialakan kami mengmabil barang-barang bawaan kami. Damian, lelaki jangkung yang menjadi guide rombongan kami, membawa kami ke rumah nomor 9. Ketika masuk rumah, yang terbuat dari kontruski serba kayu dengan model Eropa ini, kami masing-masing dipersilakan untuk melihat-lihat ruangan. Silakan pilih, kata Damian. Yang penting, satu kamar sesuai dengan bed yang ada. Anda suka yang mana, begitu meminta kami memilih ruang mana yang kami sukai. Untuk kamar yang besar bisa diisi dengan 4 orang peserta. Sementara aku menempati satu kamar dengan ruangan yang berukuran 3 x 1.8 meter.
Udara di luar rumah, bahkan juga di dalam terasa sangat dingin. Padaal, pada bulan Agustus ini, di Swiss lagi musim summer. Namun, suhu udara pada siang hari berada sampai pada 15 derajat Celcius. Kami merasa enggan untuk keluar rumah. Damian, sang pembimbing kami di rumah nomor 9 ini, tidak menyia-nyiakan waktu. Mungkin juga karena ini tanggung jawabnya, ia memanggil beberapa peserta dan supervisor dari Indonesia ke dapur. Di sini, Damian menjelaskan tentang cara-cara penggunakan dapur. Di sini, tampaknya segalanya self service. Mau makan, ingat waktu makan,lalu ambil ke dapur umum. Ingin nyuci, ya silakan gunakan mesin cuci. Mau minum, ya buat sendiri. Tidak ada yang membuat atau melayani. Ya, maklum sajalah dapur orang –orang Eropa. Soal dapur, ya silakan urus sendiri.