Karya: Gemma
Perkenalkan, namaku Perkasa, abang dari semua tiga adikku. Sebagai abang tertua, memberi contoh kepada tiga adik lelaki tidaklah mudah. Walau kehormatan yang dimiliki Ayah dan Ibuku di kota ini sangat terjaga, kami seolah lahir terbawa beban; menjaga kekayaan. Ayah adalah pemimpin dari perusahaan yang ia dirikan dan Ibu adalah wakilnya. Mereka bertemu di masa mudanya. Saat itu Ibu salah satu karyawati paling teliti dan punya trik dagang yang kuat.
Pabrik beras milik Ayah tidak jauh dari rumah. Tempat tinggal kami dikelilingi sawah dan laut. Seringkali dahulu aku mengajak tiga adikku, Ranu, Gani, dan Mursi menuju pabrik beras. Ditemani penjaga kami, sekaligus pengasuh laki-laki, Pak Wiyoko. Sebelum sampai, sembari membawa penasaraan, diminta kepada kami oleh Pak Wiyoko agar membawa satu batang padi, masing-masing mendapat jatah satu di sawah seluas seratus hektar di tanah milik Ayah dan Ibu.
Kesungguhan yang dimiliki Wakil Ayahku, dipanggil ‘Nyonya Karin’—sekaligus Ibuku tidak lagi diragukan. Sempat menjadi karyawan, ia berkontribusi sangat banyak untuk perusahaan. Berbekal kepandaian bersiasat dagang, ditambah dengan kreasi sehat beras ala Ayahku, menjadi hebat dan semakin maju perusahaan beras itu.
***
Hari berpindah, bulan menambah, tahun demi tahun. Aku, Perkasa, di umur yang terbilang pas sebagai ‘umur produktif’ waktu itu, yaitu duapuluh tujuh tahun dan pengganti Ayah dalam memimpin. Karyawan yang dimiliki Ayah dan Ibu setuju menjadikan aku pengganti. Ya, mereka karyawan yang masih sama, banyak yang umurnya sudah lebih tua dariku. Jarang bisa kutemukan karyawan pabrik di sebuah desa kecil memiliki karyawan muda seperti aku. Sudah tidak umurnya lagi Ayah dan Ibu memimpin. Mereka akan memetik buah yang akan ditanam sejak muda itu, haus ibadah dan gemar menyebarkan kebaikan.
***
“Bang, mobil siapa itu banyak sekali di garasi bawah rumah?” tanya Gani, adik ketiga yang sedang sibuk mengurus desertasi pendidikan strata tiganya.
“Itu mobil kita, abang yang beli dari hasil keuntungan perusahaan” jawaban itu kuberikan saat setelah salat dzuhur di belakang rumah yang penuh hehijauan.
Ya, Gani cukup kritis dengan segala hal, baik itu moral atau materil, ia adalah pengawas di keluarga kami.
“Tapi bang, bukankah itu yang tidak kita perlukan sebetulnya? Kenapa tidak kita berikan saja kepada yang lebih memerlukan, atau jika tidak—ditabung saja hasil untung perusahaan. Seperti kata Ayah dulu saat membawa kita jalan di pabrik lamanya?” nada lemah tapi menusuk.
Di dalam salat aku sering berdoa agar Allah selalu membuka kebutaan, menjelaskan yang masih tuli dari hatiku. Yang dibilang Gani amat benar adanya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin membunuh satu demi satu kekayaannya sendiri, padahal kekayaan itu yang kelak akan membawa kejayaan untuk orang-orang. Mimpi yang besar itu menyatukan orang-orang besar, itulah kenapa ketika aku tau bahwa aku adalah anak dari seorang pemimpin besar—aku yakin bahwa akulah orang yang juga besar itu.
“Lalu bagaimana pendapatmu, harus abang jual atau disedekahkan langsung untuk rumah sakit?” tanyaku.
“Untuk menebus kesalahanmu, bagaimana jika kau mengabdi untuk rakyat, dengan memberikan tumpangan untuk pelajar yang rumahnya jauh dari sekolah sekaligus kurang mampu?” Nampak sekali jawaban dari calon doktor.
“Baiklah, langsung saja sekarang, apa kau sudah salat, dek?” umur kami hanya berbeda dua tahun, tetapi aku tetap memanggilnya ‘dek’, setidaknya dia masih adik kecilku.
“Aku baru pulang dari masjid, Ayah jadi imam tadi.” Jawaban sekaligus penutup percakapan siang yang sehat dari Gani.
***
Tidak kusadari, berjalan tujuh tahun pelayananku untuk sesame. Setelah ajakan Gani, aku menjadi tau bahwa dengan kesalahanlah seseorang akan belajar. Dari belajar lah seseorang akan maju. Teringat olehku, masa dimana lariku selalu jatuh, jalanku amat pelan, banyak bermain sedikit belajar, banyak bicara tanpa tau manfaatnya. Masa kecil yang indah di desa. Di masa itulah ketika senyumku tidaklah palsu. Bermain dengan tiga adikku adalah kesenangan tiada tara.
Mengingatkanku dengan cerita Ranu, anak kedua setelah aku. Ia menikah di umur yang sangat muda, Sembilan belas tahun, dengan perempuan yang lebih tua enam tahun. Wajar saja, dengan kelemahan lekas suka dengan lawan jenis itulah Ranu dilamar perempuan kaya. Restu Ayah dan Ibu selalu ada untuk kami anak-anaknya, bahkan Ranu yang ingin sekali menikah. Tetapi bahagialah Ranu, Allah menjodohkan seorang yang baik dengan yang baik pula.
Tak sengaja setelah dua tahun pernikahannya, terdengar Kabar Ranu ditipu, hingga terbelit hutang miliaran jumlahnya. Rumah yang ia miliki ditarik oleh bank, anak dan Ibu pergi meninggalkan. Demikianlah perempuan, diuji Allah kesetiaannya dengan mencabut segala yang pernah dimiliki lelakinya. Apakah dengan kekosongan, istri Ranu, Hana, mampu bertahan? Tidak jawabnya. Ranu terlantar di ujung negeri, tak mampu pulang tak mampu mengabarkan. Kabar yang aku dan istriku terima itulah yang mampu ia sampaikan setelah bangkrut. Orang yang menipunya hilang. Entah bagaimana kabarnya sekarang akupun coba menemukan.
***
Ayah dan Ibu tak kuberi tau tentang Ranu, terheran-heran mereka karena tak seperti biasanya Ranu tidak datang saat bulan puasa dan lebaran. Sudah lima tahun Ranu tak kunjung pulang.
“Adakah sedikit kabar dari negeri ujung tempat istri Ranu dilahirkan, Perkasa?” menandakan Ibu yang semakin rindu dengan anak paling tampan dan banyak bisanya itu.
“Tidak ada, Ibu, aku mencoba mengirim surat lewat Marwa, tetapi belum juga dibalas” balasan pertanyaan yang serba salah, cukup aku yang memakan pahitnya, walau kebenaran harus diungkap, walau dosaku bertambah. Sungguh, betapa aku bodoh menyembunyikan ini.
Marwa, perempuan setia yang menemani. Teman hidup berjalan, satu-satunya bunga yang tak pernah layu di hatiku. Kesetiaannya menjaga Ayah dan Ibu yang sakit membuat aku semakin bersyukur. Mungkin jika tidak karena istriku Marwa, Ayah dan Ibu tidak hanya sakit ditubuh, tapi juga sakit di hati. Marwa datang sebagai pelembut suasana sakit Ayah dan Ibu, hadirnya meluruskan gelisah menjadi tenang. Pandai menghibur dengan kasih dan sayangnya terhadap kedua orang tuaku. Karena Marwa, aku adalah orang yang paling bersyukur di dunia. Mungkin itu juga pelajaran bagi Marwa setelah kedua orang tuanya meninggal di saat ia masih berumur remaja.
Aku mengerti, rindu yang dialami Ayah dan Ibu kepada Ranu amat besar. Aku hanya tidak mau menambah sakit Ayah dan Ibu punya dengan kabar pahit itu.
Memiliki orang yang penyayang, selalu hangat dalam cinta keluarga adalah kebahagiaan. Bagaimana tidak—Aku lahir dari pemimpin yang wibawa, karisma, bijaksana dan cendikia. Istrinya mulia hati, sabar menanti, pandai dalam mandiri dan besar berpribadi. Adik pertamaku, Ranu, kuat menghadap masalah, walau tentu ceritanya itu gerah. Ranu tak pernah menyerah. Ia yakin bahwa keadaan sulit itu akan kalah. Gani, fisikawan, badan kecil otak semua.
***
Menjadi hidup bukan pilihan siapapun, aku tidak pernah memilih untuk dimana aku dilahirkan dan dimana aku akan dimatikan. Yang ku yakini, Allah akan memberikan bahagia di akhir dan apabila tidak juga bahagia, maka itu bukanlah akhir. Ya, di umur enampuluh tiga tahun kini, Aku kehilangan semuanya, bahkan istriku. Gani tak kunjung menemuiku setelah diterima menjadi Guru Besar di perkuliahan Jerman. Empatpuluh tahun yang sama, Ranu belum juga kembali. Apakah ia sudah semakin kaya di sana, ataukah hanya aku yang tersisa dari saudara.
Jatuhku tidak saja ke tanah, tetapi semakin dalam dan dalam. Suatu saat aku yakin, Gani dan Ranu datang untuk menemui dan membaca surat wasiat yang ku simpan di atas meja kerja tempat dulu Ayah memimpin. Aku selalu yakin, Allah mendatangkan sulit bersama hadirnya kemudahan.