Oleh Tabrani Yunis
Rasa sakit hati, kerapkali muncul ketika kita menggunakan jalan, baik di jalan-jalan raya, maupun di jalan-jalan yang sempit atau gang. Rasa sakit hati kita itu yang pertama adalah pada kondisi jalan di negeri kita yang banyak rusak seperti berlubang dan berlumpur serta ada yang hancur-hancur karena dibangun dengan mentalitas yang korup. Walau sebenarnya,para pejabat kita sudah banyak melakukan study banding ke luar negeri melihat bagaimana bangsa lain membangun negeri mereka. Mereka sudah ke Negara-negara di Asia seperti Thailand, Singapore, Malaysia dan lain-lain, bahkan ke Eropa, Amerika dan Australia, namun kenyataannya, hasil dari study banding tersebut tidak ada. Study banding jalan terus, pembelajaran tinggal cerita belaka. Karena jalan di negeri kita tetap saja sama yakni berlubang dan rusak saat sebelum dan sesuadah study banding. Sehingga, tidak salah kalau di Indonesia dikatakan bahwa pembangunan jalannya memang dibangun dengan methodology tambal sulam. Sehingga ada pameo kalau di Indonesia banyak lubang di jalan dan sekaligus banyak lubang yang berjalan. Ironis bukan?
Terlepas dari buruknya mentalitas pembangunan, seperti halnya pembangunan jalan di negeri kita, rasa sakit hati yang sangat menusuk kita adalah pada mentalitas masyarakat kita, pengguna jalan. Kita sebagai bangsa yang mengagung-agungkan sebagai orang timur yang berbudaya, beradab, saling menghargai dan serta patuh terhadap aturan, malah sebaliknya cendrung berbalik. Apa yang kita saksikan di jalan – jalan umum, masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang punya adab dan etika di jalan raya. Buktinya, ketika di persimpangan jalan dipasangkan lampu lalu lintas yang terdiri dari tiga warna itu kita hanya jadikan satu warna. Betapa banyak pengemudi kenderaan, baik sepeda, sepeda motor dan mobil, banyak yang tidak peduli dengan larangan melewati lampu merah. Mereka tidak ubahnya seperti orang buta warna saja. Kalau pun mengenal warna, hanya satu warna, yakni hijau semua. Para pengguna jalan sering tidak sabar dan terkesan seperti orang sibuk yang sedang dalam keadaan buru-buru, walau sebenaranya tidak ada yang dikejar. Ujung-ujungnya melanggar aturan di lampu lalu lintas tersebut.
Banyaknya realitas lain yang mengenaskan dilakukan oleh para pengendara kenderaan bermotor di jalan –jalan raya dan jalan-jalan sempit di daerah kita.. Ada tanda dilarang masuk, namun tetap masuk juga. Dilarang parkir, malah semakin diparkirkan kenderaan itu di bawah papan larangan. Dilarang belok, juga dia belokan. Celakanya, jalan satu arah dijadikan dua arah. Mungkin hampir semua larangan yang ada dalam undang-undang dan rambu-rambu lalu lintas yang harus kita patuhi itu dilanggar oleh sebagian besar pengguna jalan, baik pengemudi maupun pejalan kaki. Para pelanggar itu bukan saja dari kalangan masyarakat awam, bahkan dari instansi yang tingkat disiplinnya tergolong tinggi, atas nama oknum, sangat banyak yang melanggar rambu-rambu lalu lintas tersebut.
Idealnya, pengguna jalan, baik pejalan kaki, apalagi pengemudi kenderaan bermotor harus mematuhi semua aturan itu untuk kenyamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas. Namun dalam realitasnya hingga saat ini, semua aturan tersebut dilanggar begitu saja, tanpa ada rasa bersalah dan rasa malu. Sebaliknya malah ada yang merasa bangga. Ironis bukan?
Benar, ini memang ironis. Apalagi kita yang berdomisili di negeri yang bersyariat Islam seperti di Aceh ini. Realitas ini sangat kental kita temukan di Aceh. Setiap detik pelanggaran itu dilakukan oleh kebanyakan para pengguna jalan, baik pejalan kaki maupun penggunak kenderaan bermotor seperti sepeda motor dan mobil pribadi, truk dan angkutan umum lainnya. Ketika kita bangga dengan sebutan Aceh sebagai negeri Serambi Makkah yang berlandaskan pada pola yang bersyariat Islam, maka seharusnya kita bisa berlalu lintas para pengguna jalan bisa menjadikan syariat sebagai rambu-rambu berlalulintas. Karena syariat Islam mengajarkan kita adab di jalan raya. Idealnya, tidak ada yang melanggar rambu-rambu lalu lintas seperti mengabaikan lampu merah, tidak memakai helm, tidak kebut-kebutan di jalan yang ramai, tidak serta main serobot dan lain-lain. Karena, selama ini kita memang sangat terganggu dan merasa tidak nyaman dengan tindakan pelanggaran aturan lalu lintas tersebut. Celakanya, pelanggaran itu terus berlangsung. Wajar saja kalau kita bertanya-tanya mengapa kita menggunakan jalan dan berkenderaan bak berlalu lintas di negeri beruk saja?
Banyak factor yang mendorong kita berperilaku seperti beruk berlalu lintas di negeri kita ini. Secara internal adalah kurangnya kesadaran dari para pengguna jalan untuk mengatur diri mereka agar bisa membuat pengguna jalan yang lain berlalu lintas yang aman dan tertib. Kedua, tidak sabar dalam berlalu lintas. Ketiga, bisa jadi kita memang mewarisi sifat buruk sebagai bangsa Indonesia sebagaimana yang dikatakan oleh Mukhtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia dengan 10 wajah buruk bangsa ini, suka menerabas dan sebagainya.
Banyak factor lain seperti merasa frustasi terhadap buruknya penanganan lalu lintas oleh pihak yang berwajib, sebagai factor eksternal. Factor eksternal lain karena tidak adanya contoh teladan yang baik dari yang membuat kebijkan atau aturan lalulintas seperti polisi sendiri. Dalam kenyataannya banyak pihak polisi termasuk polantas yang melanggar aturan yang ditegakkannya. Ini, bisa disebabkan oleh ketidak disiplinan pihak polisi sendiri.
Hal lainnya adalah amburadulnya tata kota dalam konteks pengaturan rambu- rambu lalu lintas, tempat parkir, serta tidak adanya alat kontrol seperti kamera. Adanya praktek menyelesaikan kasus di jalan, tidak melalu tilang, juga menjadi penyebabnya. Bukan hanya polisi, tetapi Dinas perhubungan sendiri bisa menjadi salah satu penyebab buruknya budaya berlalu lintas di negeri kita ini. Apalagi kalau tidak bisa membangun sinergi antara polantas dengan Dinas perhubungan , maka kondisi di jalan raya bisa semakin buruk. Padahal, kapasitas staff yang belum begitu bagus menyebabkan tata cara membagi tempat belokan menjadi sebab meningkatkan kesemrawutan lalu lintas. Jarak tempat belok yang tidak pas di simpang empat telah ikut membuat buruknya system laulintas kita. Ini jelas menjadi kesalahan manusianya yang membuat angka kecelakaan itu tinggi.
Suatu ketika Kompas.com edisi 31 Maret 2009 memberitakan bahwa 80 persen. kecelakaan.bermula dari.kesalahan manusia. Sebagian besar kecelakaan di jalan terjadi akibat dari kegagalan pengendara untuk menyadari munculnya situasi kritis. Akibatnya, ia terlambat dalam menganalisis situasi kritis tersebut dan tidak dapat bereaksi secara benar dan tepat waktu. Ketika tiba-tiba berhadapan dengan situasi yang tidak terduga, pengendara tidak mempunyai waktu dan ruang yang cukup untuk bereaksi secara benar. Analisis terhadap kecelakaan, baik di tempat-tempat percobaan maupun dalam kehidupan nyata di jalan, memungkinkan para pakar mencatat kesalahan-kesalahan pengendara dan mencarikan jalan untuk mengatasinya.
Dari 40 persen kasus, pengendara tidak berada dalam kondisi yang prima untuk mengenali situasi kritis sehingga tidak sempurna saat melakukan manuver untuk menghindarinya. Bisa jadi pikirannya melanglang buana karena ia melaju di ruas jalan yang rutin dilaluinya (hal yang terjadi pada banyak orang), atau karena perhatiannya tersita oleh hal-hal yang tidak berhubungan dengan aktivitas berkendaranya. Misalnya, sejenak mengubah stasiun radio, atau mencoba membaca layanan pesan singkat (SMS) dan mencoba membalasnya. Pikiran yang melayang sejenak itu bisa berakibat fatal. Kondisi pengendara yang tidak prima itu bisa dipicu oleh alkohol, obat-obatan, atau kecepatan mobil yang sangat tinggi.
KIranya akibat dari cerobohnya atau kurang sadarnya masyarakat, baik masyarakat biasa, menengah kelas atas dan pejabat dalam menggunakan jalan dan berkenderaan, serta buruknya pelaksanaan hokum lalu lintas dan amburadulnya penggunaan marka jalan, korban di jalan raya setiap hari terus terjadi. Kecelakaan lalulintas menjadi pembunuh terbesar ke 3. Di Indonesia.
Dalam konteks Aceh, setiap hari ada banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Oleh sebab itu, setiap tahun jumlah kejadian kecelakaan terus meningkat. Modus Aceh.co edisi 01 Maret 2017 memberitakan bahwa “ angka kecelakaan lalu lintas di Provinsi Aceh, sepanjang tahun 2016 tercatat meningkat sekitar 52 persen dibanding tahun 2015. Jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di Aceh selama 2015 sebanyak 1.976 kasus dan di tahun 2016 meningkat sebanyak 3.006 kasus. Angka kenaikan mencapai 1.030 kasus atau 52 persen. Sedangkan korban yang meninggal dunia akibat laka lantas di tahun 2015 sebanyak 821 orang dan di tahun 2016 sebanyak 854 orang.
Jadi cukup besar dan ini sangat memprihatinkan kita. Ya, memang begitu besar angka kematian dan kerugian harta benda akibat kecelekaan di jalan raya selama ini di negeri kita, yang penyebabnya adalah karena human error. Semua itu karena kelalain kita. Karena kebodohan kita dan rendahnya kesadaran kita. Inikah potret kita dalam berlalu lintas? Haruskah kita lestarikan mesin pembunuh manusia yang kita sebut dengan kecelakaan lalulintas ini?
Selayaknya kita kembali membangun budaya, adab berlalulintas yang Islami. Khusus di Aceh yang dominan muslim dan menjalankan syariat Islam, pasti selama ini diajarkan adab yang baik di jalan raya. Jadi, yakinlah bahwa kita bisa membangun perdaban baru di jalan raya. Kita pasti bisa lebih santun di jalan raya. Banyak hal yang bisa dilakukan secar individu maupun komunal. Hal yang paling efektif adalah dengan memulai dari diri sendiri. Memulai dari keluarga dengan cara tidak membonceng anak sambal melanggar rambu lalu lintas, tidak memberikan kenderaan kepada anak yang masih di bawah umur dan lain-lain. Sementara kepada pihak petugas/ Polantas, harus meninggalkan pendekatan penertiban pengguana jalan dengan pendekatan berbasis razia, tetapi melakukan penegakan aturan secara berkelanjutan dan kontinyu. Kita pasti bisa belajar santun di jalan raya. Ketika kita semakin santun di jalan, maka angka kecelekaan dan kerugian harta bendapun akan bisa dikurangi. Mari kita mulai dari sekarang.