Oleh Farah Febriani
Mahasiswi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Mahasiswi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Di sebuah ruang perkuliahan…
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Sarah, seorang perempuan cerdas dengan gamis birunya merapikan buku dan melangkah mendekati seorang perempuan berkacamata. Umurnya sekitar 30-an. Berpakaian rapi dengan sebuah laptop mini yang terletak didepan meja kerjanya.
“Bu, saya boleh bertanya sesuatu terkait pelajaran kita hari ini? Tanyanya malu-malu. Sungguh, ini kali pertama ia memberanikan diri untuk menanyakan masalahnya kepada seseorang yang tidak memiliki attachment (kedekatan) dengannya. Ia sadar, selama ini seseorang yang berada di depannya adalah sosok yang tegas dan disiplin keras. Tapi, ia tidak peduli dengan hal itu. Ia yakin, seseorang yang saat ini berada di depannya tidak seburuk apa yang ia pikirkan.
“Ya, ada apa Sarah? Kamu duduk di samping saya saja ya. Sebentar saya selesaikan tugas saya sedikit lagi. Perempuan tersebut terus merapikan dan menyelesaikan tugas tugasnya. Wajahnya terlihat teduh dan “welcome” dengan siapapun. Beberapa menit kemudian, ia membetulkan posisi duduknya tepat di depan Sarah.
“Saya ingin cerita bu. Saya harap, saya bisa mendapatkan solusi dari ibu,” Sarah memulai pembicaraanya dengan wajah yang tampak gugup. Kali ini, ia merasa seperti mau diinterview kerja, namun lebih tepatnya ini adalah sesi konseling (konsultasi psikologis). Pandangannya menyebar ke seluruh ruangan. Tangannya mengetuk ngetuk meja secara berulang. Kakinya juga turut ia gerakkan. Ia ragu, apakah masalah ini harus ia ceritakan?
“Begini bu, hmmm…,” Sarah menarik nafas panjang. “Saya dibesarkan dari latar belakang keluarga yang tidak utuh. Orang tua saya telah berpisah 15 tahun yang lalu. Kejadian tersebut berdampak pada diri saya hingga saat ini. Saya merasa seperti kurangnya kasih sayang, emosi saya tidak stabil dan saya selalu menyalahkan kedua orang tua atas apa yang terjadi pada saya saat ini. Bahkan, suatu hari saya pernah memutuskan untuk tidak ingin menikah karena rasa kesal saya pada sosok yang berlabel “Laki-laki”. Saya ingin orang tua saya kembali berdamai. Menurut ibu, apa yang harus saya lakukan?” tanyanya penuh harap.
“Begini Sarah…Banyak faktor yang membuat sepasang sumai-istri memutuskan untuk berpisah. Mungkin ketidakcocokan, perbedaan visi misi atau ada yang disebut dengan “Bounder”. Bounder itu adalah masalah kecil yang tidak diselesaikan, terus ditumpuk dan ketika masalah masalah lain muncul, maka akan meledaklah emosi antar pasangan sehingga lahirlah perceraian tersebut. Saat ini, Sarah hanya butuh komunikasi dengan orang tua. Sampaikan pada mereka dengan sopan dan baik. Selesikanlah dulu masalah tersebut dengan “menerima”. Masalah itu perlu kita hadapi bukan dihindari. Dalam islam, disebut dengan “Ikhlas”. Kita tidak pernah tau hikmah apa yang Allah sampaikan pada setiap masalah yang Ia berikan. Saya dulu juga sempat gagal menikah. Saya bersyukur. Seandainya saya jadi menikah dengan dia, saya tidak tahu masa depan saya akan seperti apa. Belakangan saya ketahui, bahwa ia adalah laki-laki yang jahat. Memang, kita butuh waktu untuk sampai pada tahap “Healing” (penyembuhan). Tidak mungkin, semua kita dapatkan dengan instan. Tapi, satu hal yang saya ingin sampaikan adalah ketenangan hati akan kita dapatkan dari Allah. Curhat dengan manusia mungkin akan terasa lega, tapi bagaimana dengan hati? Apakah kita mendapatkan ketenangan? Cobalah mengadu padanya di sepertiga malam. Meminta padanya pada sujud dhuha yang panjang. Barengi dengan sedekah, puasa dan membaca Al quran. Kamu tahu?
Obat dari segala masalah adalah Al-quran. Tahap pertama yang harus kamu jalani adalah “acceptance”. Terima. Ikhlaskan. Hadapi. Jauhi bertanya dengan kata-kata mengapa harus saya ya Allah? Apa salah saya? Toh, saya sudah salat, sudah puasa, sudah mengaji juga. Padahal jauh di sana, Allah ingin menaikkan derajatmu dengan cobaan yang ia berikan. Ia ingin yang terbaik buat kamu, meski kamu tidak mengetahui hikmahnya saat ini. Allah gak butuh kita. Kita yag butuh Allah. Kita masuk syurga bukan karena ibadah kita, tapi karena Rida Allah, kan?”
Sarah mengangguk pelan. Tanpa bisa dicegah, air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. Ia sadar, sabar dan ikhlas adalah kunci utama dari setiap masalah. Hanya saja, dalam penerapannya masih belum sempurna. Sarah kembali memperhatikan wajah teduh itu. Prasangka orang terhadap perempuan di depannya kini telah lenyap dari fikiran.
“Setelah ikhtiar, maka jalan terakhir adalah tawakkal. Meski banyak teori yang mengatakan seperti ini, tapi tetap tumpuan terakhir kita adalah Allah. Jalankan shalat wajib tepat waktu, maka Allah akan mengatur urusan hidupmu. Percayalah,” pesan perempuan itu menutup pembicaraan.
Sebelum ia membereskan bukunya dan beranjak pergi, ia kembali berpesan pada Sarah.
“Sarah, suatu saat nanti, jika kamu sudah “acceptance” dengan semua masalah kamu. Kamu perlu konseling lanjutan untuk memodifikasi prilakumu dan mengubah pola pikirmu yang salah. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk masa depan yang lebih baik lagi. Saya yakin, kamu mampu,” Bu Ika, seorang psikolog konseling keluarga dan perkawinan, pergi meninggalkan ruang kelas sembari mengucapkan salam pada Sarah dan dua orang teman disampingnya. Sarah tersenyum.
Kini, ia mendapatkan “insight” (pencerahan/ hidayah) dari masalah yang selama ini ia hadapi. Hanya ada dua kata “ikhlas dan sabar”, kuncinya. Kembalikan semua masalah pada Allah. Biarkan Allah yang mengatur hidupnya. Jangan lupa ikhtiar dan tawakkal. Tanpa keduanya, hidup serasa kurang sempurna.