Oleh Indah Sriwindhari
Bunda, pernahkah kau merasakan hal ini?
Ketika kehadiran sang buah hati belum juga ada pasca pernikahan. Apakah yang engkau rasakan, Bunda? Rasa sedih dan keinginan yang besar akan kehadiran sang buah hati bukan? Segala usaha senantiasa engkau lakukan dan segala do’a engkau panjatkan agar Sang Kuasa segera mengabulkan keinginanmu.Bukankah begitu Bunda?
Penantian itu baru berakhir bahagia ketika dua garis merah tertera pada test pack kehamilan. Pada saat itu apakah yang engkau rasakan Bunda? Rasa syukur, haru dan bahagia pasti menyertaimu. Hari demi hari engkau lalui. Rasa mual, pusing, tidak enak tidur, tidak enak makan, sakit punggung, sakit pinggang, pasti engkau rasakan dari awal kehamilan hingga kandunganmu membesar. Tapi engkau tidak pernah mengeluh, semua engkau jalani dengan ikhlas karena engkau sangat menyayangi dan mencintai calon buah hatimu. Bahkan saat persalinan tiba, engkaupun rela mempertaruhkan nyawa demi kehadiran sang buah hati tercinta.
Ketika tangisan pertama terdengar, kalimat thayyibah segera meluncur dari bibirmu. Perjuangan terbesar telah engkau lalui, perjuangan antara hidup dan mati. Rasa sakit luar biasa yang tak bisa terungkapkan dengan kata-kata. Namun benar, rasa sakit yang segera hilang ketika melihat sang buah hati hadir di hadapan mu. Allahu Akbar. Alhamdulillah. Pasti kalimah itu yang engkau ucapkan. Segera setelah itu engkau bertambah peran menjadi seorang ibu bagi anakmu.
Hari berganti hari, engkau mulai belajar bagaimana cara mengasuh anak. Memandikannya, mengganti popoknya, memakaikan bajunya, memasang bedungnya, menggendongnya, bahkan engkau rela tidur malammu terganggu saat sang buah hati terbangun karena haus dan lapar. Tidak hanya sekali, bahkan dua hingga empat kali engkau terbangun karena tangisnya. Tapi apakah engkau marah karena tidurmu terganggu? Tentu tidak Bunda. Esok paginya waktumu kembali untuk sang buah hati. Rutinitas sebagai ibu dan istri kembali engkau jalani. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Hari, bulan dan tahunpun berganti. Tak terasa sang buah hati telah besar. Ia mulai belajar berbalik kiri dan kanan, telungkup, maju dan mundur, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, berlari dan berbicara. Namun dalam melewati hari-harinya pasti ada saja hal yang kadang membuatmu tersenyum, tertawa, bahagia, kesal dan juga marah. Itu wajar Bunda.
Saat sang buah hati tercinta menangis, marah, berteriak, mengamuk, apa yang engkau rasakan Bunda? Apakah engkau geram dan tak sabar ingin juga membentak, memarahi bahkan mencubit atau memukulnya agar ia diam dari amarah dan tangisannya? Atau apakah engkau akan membiarkan dan berusaha sekuat mungkin untuk besabar sampai ia puas dengan tangisannya?
Saat sang buah hati meminta sesuatu yang menurut kita tidak cocok untuknya apakah kita segera mejawab dengan kata-kata yang bijak dan memberi alasan akan penolakan kita terhadap keinginannya? Ataukah kita dengan segera menjawab dengan kasar agar ia berhenti meminta dan merengek? Atau langsung mengabulkan keinginannya karena tidak ingin mendengar tangisannya?
Saat ia mulai pada fase bertanya apa yang dilihat dan dialaminya apakah kita sudah sabar untuk mendengar dan menjawab akan semua pertanyaannya? Ataukah kita akan menjawab dengan disertai amarah karena kita bosan dan capek menjawab pertanyaan yang menurut kita adalah pertanyaan sepele?
Saat ia beraksi dengan mengamuk dan menangis di keramaian, apakah kita siap untuk menghadapinya? Membujuk dan mendiamkannya dengan sabar?
Saat sang buah hati enggan untuk makan, mandi, gosok gigi, merapikan kembali mainan dan buku-bukunya yang berantakan, membuang sampah pada tempatnya apakah kita juga sabar menghadapinya? Atau kita langsung memarahinya agar ia mau menuruti apa yang kita perintahkan?
Saat sang buah hati berantam, mencubit dan memukul adik atau temannya, apa yang kita lakukan? Segera kembali mencubit, memukul dan memarahinya? Bahkan disertai bentakan dengan suara yang besar disertai pelototan agar si anak takut dan jera? Apakah itu cara yang terbaik menurutmu Bunda?
Saat kau dapati anakmu bermain kotor, bermain tanah, pasir, batu bahkan becek dan lumpur apakah engkau akan segera memarahi dan menariknya agar berhenti? Atau sebaliknya, engkau akan bermain bersama mereka?
Bunda.. sungguh banyak hal yang terjadi dalam kehidupan anak kita. Semua itu adalah proses pembelajarannya. Bukankah waktu kita kecil dulu seperti itu juga. Kita dulu juga pernah menangis, marah, kesal bahkan berteriak dan mengamuk bila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Apakah perlakukan yang diberikan orangtua kita sama dengan perlakukan kita terhadap anak kita? Lebih baikkah atau lebih burukkah?
Namun jangan lupa Bunda, ia juga punya banyak kelebihan. Jangan sepelekan kelebihan dan kepintarannya. Jangan enggan untuk memuji dan mengucapakan terima kasih atas segala perlakuan positifnya. Berikan imbalan yang akan membangun kepercayaan dirinya. Jangan malu untuk meminta maaf bila memang kita melakukan kesalahan terhadapnya.
Ketika ia sudah bisa makan sendiri, minum sendiri, memakai baju dan celana sendiri, memakai kaos kaki dan sepatu sendiri, bahkan mandi sendiri. Jangan sungkan untuk memujinya. Pujian kita akan membuatnya semangat dan membentuk ion-ion positif dalam tubuhnya.
Ketika ia rukun saat bermain dengan adik atau teman, beri kembali pujian padanya. Jangan hanya kita menegur dan meresponnya ketika ia berantam atau berebut mainan dengan adik atau temannya.
Ketika ia pintar melantunkan doa dan surat-surat pendek beri ia semangat untuk lebih banyak menghafal dan jelaskan imbalan apa yang akan ia dapat kelak.
Belum telambat bagi kita untuk selau berbenah hari demi hari untuk menjadi orangtua yang terbaik baik anak-anak kita. Siapa yang tidak mau disayang, dicintai, dihormati, dipatuhi dan didengarkan oleh anak-anaknya? Semua kita pasti mau. Semua kita pasti ingin. Namun semua butuh proses, proses bertahap dan panjang. Berikan contoh dan teladan yang baik untuk anak-anak kita.