Oleh Tabrani Yunis
Malam itu, usai melakukan aktivitas di beberapa desa, di wilayah Pesangan Selatan, Bireun, Aceh, ada waktu tepat untuk menelpon seorang sahabat. Maka, tangan pun memencet nomor handphone seorang sahabat yang berdomisili di kota Bireun. Sahabat yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Guru yang tergolong sudah senior itu, kini menjadi pengawas sekolah di kabupaten Bireun. Selain senior, beliau juga sebagai ketua PGRI di wilayah Kabupaten Bireun. Kami memanggilnya dengan sebutan Zainuddin Karim. Ia sudah menyelesaikan S2 dengan gelar MPd. Tidak seperti aku yang hanya jebolan S1. Namun penampilannya biasa saja dan selalu bersikap suka membantu dan bersikap terbuka dan kocak. Menjadi sangat menarik untuk diajak bicara soal pendidikan. Mudah diajak untuk berdiskusi sembari menyeruput segelas kopi.
Di ujung pembicaraan lewat telepon itu, kami sepakat untuk sama-sama menuju ke sebuah warung kopi usai salat magrib. Kami memilih warung kopi yang menyajikan berbagai sajian produk kopi Arabika Gayo yang menjadi pilihan selera kami. Warung itu bersebelahan dengan warung nasi bebek Bireun yang menggoyang lidah di tengah kota Bireun itu. Sambil memesan kopi Arabika Gayo, kami memesan nasi bebek yang terkenal di Bireun dan Aceh itu. Percakapan pun dimulai. Agar percakapan tidak sia-sia yang bisa membuat fitnah, seperti banyak dilakukan orang secara langsung dan lewat media social, kami pun sebagai orang yang selama ini suka mengajak orang-orang untuk membaca dan menulis, membangun gerakan literasi, maka percakapan kami terfokus pada jejak langkah kabupaten Bireun membangun gerakan literasi selama ini.
Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini, persoalan kualitas pendidikan nasional dan kualitas pendidikan di daerah, termasuk Aceh adalah persoalan klasik yang hingga kini belum mampu merangkak naik. Aceh sebagai daetah yang dulu memiliki julukan keistimewaan di bidang pendidikan dan memiliki dana pendidikan yang cukup besar hingga kini hanya mampu bertengger di papan bawah. Bahkan lebih ironis, karena dikalahkan dari daerah-daerah lain yang dana pendidikannya jauh lebih kecil dibandingkan Aceh. Jadi, sangat layak merasa malu. Ya, selayaknya memang sangat memalukan, namun persoalan kualitas pendidikan di Aceh tetap menjadi hal yang memalukan.
Bisa jadi sudah banyak survey, atau kegiatan identifikasi masalah yang dilakukan oleh pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten, namun sayangnya hasil identifikasi tersebut cendrung lebih melahirkan proyek-proyek pendidikan yang tidak mengakar, tidak menyelesaikan akar persoalan yang dihadapi oleh daerah ini terkait dengan rendahnya kualitas pendidikan di Aceh dan daerah tingkat dua di Aceh, seperti halnya Bireun.
Bisa jadi, perintah Kabupaten Bireun, salah satu kabupaten di Aceh mulai tersadarkan bahwa persoalan rendahnya kualitas pendidikan di daerah kabupaten Bireun bersumber dari masalah rendahnya minat baca. Masyarakat, khususnya masyarakat sekolah selama ini memiliki minat baca yang rendah, atau sebaliknya masyarakat sekolah mau membaca, namun tidak memiliki sumber bacaan yang menarik untuk dibaca.
Agaknya, bila kita menapak jejak literasi di Bireun, langkah pertama bergeraknya semangat untuk maju dimulai dengan kedatangan seorang pegiat literasi dari Surabaya, yakni Dr. Satria Dharma pada tanggal 10 November 2014. Kehadiran Satria Dharma ke Bireun membuka mata dan cakrawala para pemangku kebijakan di bidang pendidikan di daerah ini. Beliau memaparkan tentang pentingnya literasi kepada lebih kurang 400 kepala sekolah dan guru tingkat TK, SD, SMP dan SMA di Bireun yang bertempat di Aula Sukma Bangsa, sebuah sekolah Swasta bantuan pemirsa Metro TV itu.
Sekitar setahun berselang, tepatnya pada awal Januari 2016, pemerintah kabupaten Bireun mulai mencari format kota Literatur ke Surabaya. Untuk bisa mencari format ke Surabaya, maka para pegiat literasi yang salah satunya adalah Zainuddin Karim, mencoba meyakinkan kepala Dinas Pendidikan dan Bupati untuk belajar literasi di Surabaya. Mendapat tanggapan positif dari Bupati dan kepala Dinas pendidikan saat itu, maka pada tanggal 11 Februari 2016 Bupati Bireu, Ruslan Abdul Gani, mendeklarasikan Bireuen sebagai kabupaten literasi. Usai pendeklarasian tersebut, pada tanggal 3 Maret 2016, Bupati Bireun, Ruslan Abdul Gani, mengirimkan 20 orang personil pendidikan ke Surabaya, yang terdiri atas pengurus Organisasi guru, PGRI, Kobar GB dan IGI ditambah beberapa sekolah dan guru. Mereka selama 3 hari di Surabaya belajar dan mengunjungi sejumlah pustaka dan sekolah-sekolah yang sudah mengembangkan program literasi dari semua jenjang sekolah.
Sebagai tindak lanjutnya, Bupati Bireun membuat team gerakan literasi kabupaten Bireun dengan melibatkan berbagai unsur Pemkab dan Dewan beserta pihak terkait lainnya. Team ini berada di bawah koordinasi Drs. Zainuddin MPd. Dengan demikian, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan dakwah sosialisasi ke semua jenjang sekolah di Kabupaten Bireun. Hampir semua sekolah dan jenjang pendidikan di Bireun ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Ketika memulai kegiatan dari gerakan literasi ini, maka masalah yang pertama muncul adalah kekurangan buku bacaan. Kekurangan itu dialami di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar, hingga sekolah menengah atas (SMA dan sederajat). Kondisinya semakin terasa buruk, karena di Bireun banyak bahkan tidak ada toko buku khusus yang menyediakan banyak bacaan bagi keperluan masyarakat pendidikan di daerah ini.
Melihat persoalan ini, Team literasi Bireuen melakaukan audiensi ke DPRK Bireun untuk menyampailan aspirasi tentang bagaimana pemerintah Kab Bireuen menganggarkan dana penyediaan buku non pelajaran. Kondisi buruk ini, mendapatkan tanggapan positif dari pihak Kabupeten yang direalisasikan dengan menydiakan anggaran sebesar Rp 500 juta untuk membeli buku bacaan.
Selain itu, sebagai langkah lanjut yang sangat dibutuhkan adalah membangun sinergi dengan para pihak yang selama ini mungkin sudah melakaukan aktivitas yang sama. Oleh sebab itu, team literasi Bireun membangun sinergi dengan USAID Prioritas, Balai baca dan Asosiasi Perpustakaan Indonesia untuk melakukan gerakan literasi secara bersama-sama. Di tataran sekolah, kegiatan literasi dilakukan dengan berbagai cara seperti mengadakan lomba pojok baca, sebagai bentuk antusias para pengelola sekolah di daerah ini. Agar kegiatan membaca menjadi kebiasaan dan kebutuhan setiap orang, maka setiap sekolah di wilayah kabupaten Bireun melakukan kegiatan rutin, membaca 15 menit setiap hari sebelum pelajaran jam pertama dimulai. Kegiatan ini berlangsung setiap hari. Dengan demikian, anak-anak bisa dapat meningkatkan minat baca dan sekaligus kemampuan membaca di sekolah, sehingga secara bertahap, kualitas belajar dan kualitas pendidikan daerah ini juga bisa lebih baik.
Setelah berjalan lebih kurang dua tahun, kegiatan literasi di Kabupaten Bireun, tampaknya memberikan sinyal positif dan menggembirakan. Hal itu terbukti dengan temuan team literasi.
Temuan itu, ada seorang siswa SMA N 2 Bireun yang telah membaca sebanyak 102 buku selama 8 bulan. Ia bukan hanya membaca, tetapi mampu mencerikan kembali isi buku yang ia telah ia baca. jadi hasilnya dahsyat bukan?
Memang dahsyat, ternyata pekerjaan yang dikerjakan dengan sepenuh hati itu, tanpa disangka-sangka membawa keberuntungan bagi daerah ini. Betapa tidak, ternyata secara nasional, Kabupaten Bireun mendapat peringkat ke 9 dari seluruh Indonesia sebagai kota literasi dengan predilat A. Penilaian ini adalah penilaian dari Kementrian Pendidikan Jakarta. Inilah buah manis atau hasil kerja keras team literasi, Dinas pendidikan kabupaten Bireun, Pemkab beserta kepala sekolah, guru dan peserta didik dalam membangun gerakan literasi di kabupaten Bireun, Aceh ini. Tidak rugi dengan upaya beberapa sekolah yang sudah memberikan sertifikat kepada siswa yang sudah membaca buku. Misalnya, untuk yang sudah membaca 10 buku mendapat sertifikat dari kepala sekolah. Yang sudah 10 ke atas, sd 20 sertifikatnya diberikan oleh ketua team kabupaten Bireuen. 20- 30 mendapat sertifikat dari kepala Dinas dan yang 102 di atas diberikan oleh Bupati Bireun.
Selayaknya, langkah hebat yang sudah dilakukan oleh Kabupaten Bireun ini bisa direplikasi oleh daerah lain di Aceh khususnya, agar kualitas pendidikan Aceh ke depan bisa melejit naik di berbagai daerah kabupaten kota di Aceh. Bukan hanya di level kabupaten kota di Aceh, tetapi diharapak akan mencakup di level nasional. Kita patut memberikan apresiasi yang besar kepada Pemkab Bireun, Tim Literasi beserta masyarakat sekolah di Bireun. Semoga tidak hanya sampai pada batas waktu sekarang, tetapi kegiatan ini diharpkan terus berlanjut hingga kualitas pendidikan di Bireun dan Aceh benar-benar memuaskan hati. Semoga.