Oleh: Nurbaiti
*Mahasiswi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Koordinator Badan Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI) Wilayah Aceh-Sumatera Utara.
Kekerasan seksual terhadap anak menjadi ancaman besar di Indonesia. Melonjaknya kekerasan seksual di Indonesia membuat semua orang harus waspada. Anak perempuan dan laki‐laki memungkinkan menjadi korban kekerasan seksual. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak dapat kita amati dari banyaknya kasus yang diberitakan di media dan juga kasus yang ditangai oleh lembaga hukum. Selain itu, masih banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang tidak terungkap dari pihak korban karena alasan malu atau merasa terancam jika melapor.
Mengapa Anak Dijadikan Sebagai Objek Kekerasan Seksual?
Finkelhor (1999) menunjukkan bahwa anak dari kelompok tertentu lebih rentan terhadap pelecehan seksual dibandingkan dengan yang lainnya. Mereka adalah anak-anak dari keluarga yang bercerai, anak yang hidup dengan orang tua tiri atau wali, anak-anak dari keluarga yang melakukan kekerasan, cacat fisik seperti kecanduan alkohol, obat-obatan dan masalah kesehatan mental (Paulauskas, 2013). Pelecehan seksual diantaranya juga pada anak-anak jalanan, anak-anak yang berada di lembaga pengasuhan anak, anak yang mengalami kesulitan ekonomi, dan anak yatim yang miskin. Anak yang menjadi objek kekerasan seksual cenderung lebih lemah baik secara fisik, psikologis, ekonomi maupun sosial dibandingkan dengan pelaku, sehingga mereka cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menentang atau melawan pelaku kejahatan tersebut.
Anak-anak mudah sekali untuk dibujuk dengan iming-iming makanan atau mainan. Anak-anak juga tidak mempunyai keberanian untuk menolak, terutama pada orang yang dikenalnya. Hal ini tak terlepas dari cara berfikir anak yang cenderung pragmatis dan sederhana dalam menganalisa. Ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi target kekerasan seksual, yaitu: anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak yang rendah (Hertinjung, 2009).
Siapa Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak?
Siapapun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Lalor dan McElvana (2010) mengatakan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah anggota keluarga, kerabat, tetangga, atau mereka yang dikenal dan dipercaya oleh anak. Berdasarkan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan pada Komisi Nasional Perlindungan Anak, pelaku kekerasan terhadap anak bisa bisa ayah kandung, ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, paman, tante, saudara kandung, kakek, nenek, tetangga, bapak guru, ibu guru, anak, teman ataupun pacar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarang kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang asing/tidak dikenal oleh korban (Hertinjung, 2009).
Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Menurut Konvensi Hak Anak (KHA), bentuk kekerasan seksual yaitu: eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan untuk tujuan prostitusi dan pornografi. Kekerasan seksual bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, onani, pelecehan seksual, atau perbuatan inses (hubungan seksual dengan sedarah/keluarga).
Ciri-ciri Korban Kekerasan Seksual
Orang tua maupun guru di sekolah hendaknya mengenali ciri-ciri anak sebagai korban kekerasan seksual agar mereka tidak terlambat untuk ditangani. Umumnya anak yang menjadi korban kejahatan seksual tidak langsung melapor pada orang tua atau guru. Ciri-ciri perubahan pada anak yang perlu diwaspadai menurut Maharani, dkk. (2015) yaitu : sulit tidur, mimpi buruk, menerima hadiah yang tidak bisa dijelaskan, takut terhadap orang dewasa tertentu, rewel tidak jelas, penggunaan internet berlebihan, menunjukkan perilaku seksual tidak tepat usia (misalnya: menyebutkan kata-kata seksual, melakukan masturbasi), perubahan perilaku secara tiba-tiba, terlihat tidak nyaman (insecure), kembali mengompol, bersikeras menghindari seseorang anggota keluarga tertentu, terus menyimpan rahasia, luka di area tertentu, dan sakit di area intim.
Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak
Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak fisik emosional dan kepada korbannya. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya. Muncul gangguan-gangguan psikologis seperti Pasca-Trauma Stress Disorder (PTSD), kecemasan, gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif. Selain itu, korban yang trauma merasa adanya pengkhianatan, trauma secara seksual, merasa tidak berdaya, rasa takut, merasa malu dan bersalah. Dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua. Weber dan Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari.
Penanganan
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak harus secara menyeluruh. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, keluarga, masyarakat, dan aspek hukum maupun dukungan sosial. Mengingat kasus yang dihadapi adalah anak yang masih berada dalam proses perkembangan. Kewaspadaan pada lingkungan merupakan cara yang paling ampuh untuk menanggulang kekerasan seksual pada anak. Orang tua, guru, dan orang-orang terdekat mempunyai andil besar. Perlindungan yang diberikan kepada anak salah satunya adalah dengan membekali anak dengan keterampilan dan memberikan pemahaman sesuai usia anak dengan bahasa yang mudah dipahami. Mengajarkan bahwa bagian tubuh anak tidak boleh disentuh oleh sembarang orang, mengajarkan anak untuk selalu berpakaian rapi dan menutup aurat atau menutup bagian-bagian tubuh anak yang harus dijaga, dan membiasakan anak untuk menceritakan berbagai pengalamannya saat di sekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya.