Oleh Maghfirah Belangi
Mahasiswa Semester 2 Psikologi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh
Di zaman sekarang, kita tidak lagi asing dengan kata “Globalisasi”. Globalisasi yang sesuai dengan namanya, memang sudah membawa pengaruh yang mendunia dalam berbagai lapisan dan aspek kehidupan. Kata globalisasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu Globalization (gabungan dari kata global yang berarti mendunia dan lization yang berarti proses). Globalisasi diartikan sebagai suatu proses yang menyeluruh atau mendunia dimana setiap orang tidak terikat oleh negara atau batas-batas wilayah. Artinya, setiap individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi di manapun dan kapanpun melalui media elektronik maupun cetak.
Aceh pun tidak luput dari proses yang mendunia tersebut. Globalisasi telah membawa berbagai dampak, baik itu positif maupun negative dalam masyarakat Aceh. Di sini, saya tidak mendukung maupun menyalahkan globalisasi, akan tetapi saya hanya ingin memberi sedikit gambaran bagaimana globalisasi dalam masyarakat Aceh dewasa ini. Salah satu proses mendunia yang dibawa globalisasi adalah perubahan. Perubahan dalam hal apa saja, mulai dari perubahan gaya hidup, pola pikir, sampai pada kebudayaan.
Saya akan ceritakan satu persatu, dimulai dari perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini kesemuanya ingin serba praktis, karena sudah didukung oleh teknologi dan industri. Misalnya, Ibu-ibu yang dulunya harus memeras santan dengan menggunakan tangan, sekarang sudah dimudahkan dengan dijualnya santan-santan kemasan. Bumbu-bumbu masakan tidak lagi susah digiling dengan ulekan sejak munculnya penggiling otomatis yaitu blender, atau bahkan ibu-ibu saat ini sudah tidak mau repot-repot membuat bumbu sendiri karena sudah tersedianya bumbu-bumbu siap saji yang dijual di pasar tradisional maupun pasar modern. Contoh lainnya dalam hal memasak nasi tidak lagi menggunakan periuk, karena sudah adanya Magic com, tinggal pencet, maka selesai. Sampai dalam hal mencuci baju. Sekarang ini tidak lagi harus repot-repot dengan tangan sampai pegal, mesin pencuci baju dan laundry sudah tersedia di mana-mana.
Selanjutnya, tidak hanya dalam hal perubahan gaya hidup, globalisasi juga membawa perubahan dalam hal pola pikir. Kini masyarakat Aceh lebih senang duduk berjam-jam di warung kopi daripada menghabiskan waktunya di masjid. Apalagi setelah kota Banda Aceh menjadi kota sejuta warung kopi, keramaian di warung-warung kopi semakin terlihat dan bahkan panggilan adzan pun sudah tidak teralu dihiraukan. Pola pikir dalam hal pergaulan pun mulai berubah, dulu masyarakat Aceh kental dan berpegang erat pada nilai-nila moral. Tapi apa yang kita lihat sekarang? Pergaulan bebas marak terjadi, berpacaran sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan tersedianya tempat-tempat khusus sejoli yang sebenarnya belum sah dalam ikatan pernikahan.
Globalisasi memang tidak hanya membawa dampak negative, kita tidak bisa memungkiri bahwa pembangunan fisik saat ini jauh lebih baik dibanding beberapa tahun silam. Tapi bagaimana jika globalisasi itu justru memudarkan kebudayaan-kebudayaan masyarakat Aceh sendiri? Budaya adalah hasil dari manusia. Manusia tanpa budaya tidak lagi bisa disebut manusia yang utuh. Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa kita lihat dengan munculnya trend-trend pengantin modern. Linto dan dara baro tidak lagi menggunakan baju pengantin khas Aceh, tetapi sudah lebih bangga menggunakan baju-baju pengantin yang kebarat-baratan. Begitupun dengan pelaminannya yang saat ini mulai dibuat di gedung-gedung, ‘tidak elite jika membuatnya di rumah’, begitupun pemikiran beberapa masyarakat Aceh sekarang ini. Perubahan budaya lainnya muncul saat menjelang lebaran, kue-kue lebaran yang biasanya sangat khas Aceh seperti timphan, sekarang digantikan dengan kue-kue kering konvensional, nastar juaranya.
Itu hanya sebagian kecil dari perubahan yang terjadi akibat globalisasi. Belum lagi jika dilihat dari anak-anak yang kini semakin cepat dewasa sebelum waktunya, diakibatkan sejak kecil sudah terikat dengan gadget dan melupakan permainan anak-anak seperti petak umpet dan pecah piring. Jika sudah demikian, apa perubahan-perubahan itu tidak membawa efek psikologis bagi masyarakat Aceh? Tentu saja perubahan gaya hidup, pola pikir, dan kebudayaan secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada kondisi psikis seseorang. Seperti yang dilansir di HabaDaily.com, jumlah pasien sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari sini bisa dilihat bahwa kondisi psikis masyarakat Aceh makin memburuk meskipun pembangunan fisik di Aceh terus meningkat.
Mengapa demikian? Daerah Aceh adalah daerah yang mayoritasnya muslim, akan tetapi nilai-nilai keislaman itu semakin memudar digantikan dengan perubahan-perubahan yang bersifat mencari kesenangan duniawi. Padahal, seseorang yang berpegang teguh pada agamanya dan lebih mementingkan kehidupan akhirat hidupnya akan lebih tenang. Dalam Islam diajarkan salat, yang mana secara psikologis salat itu merupakan sarana pengobatan jiwa atau mempunyai fungsi kuratif terhadap penyakit dan gangguan kejiwaan.
Dalam pandangan ahli jiwa, ampunan terhadap dosa dan kesalahan merupakan obat bagi gangguan kejiwaan, karena salah satu penyebab gangguan kejiwaan adalah merasa bersalah atau berdosa. Lantas bagaimana jika nilai-nilai keislaman masyarakat Aceh sudah luntur digilas arus globalisasi? Jangan salahkan globalisasinya karena itu pasti terjadi, tapi salahkan individu yang tidak bisa memilah-milah perubahan yang dibawa oleh globalisasi itu sendiri sehingga menghilangan nilai-nilai kebudayaan luhur. Disini saya tidak mencoba untuk menutup diri dan menghilangkan globalisasi, akan tetapi saya mencoba membuka mata dan pikiran masyarakat Aceh bahwa kebudayaannya bisa saja hilang ditelan globalisasi jika itu tidak dilestarikan.