oleh: Pangki T. Hidayat
Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education
Di tengah usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP), Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru menggulirkan hak angket untuk komisi antirasuah tersebut. Ironisnya lagi, sidang paripurna DPR dengan segala keganjilannya pun malah mengakomodir usulan hak angket untuk KPK itu. Padahal bila dirunut dari konstruksi persoalan sesungguhnya, penggunaan instrumen hak angket untuk KPK adalah salah kaprah karena dipaksakan. Sebagaimana yang nampak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III dan KPK (19/4), awal mula usulan hak angket hanyalah karena adanya sejumlah nama anggota dewan yang disebut telah menekan Miryam S Haryani.
Mafhum diketahui, dalam sidang tipikor kasus korupsi e-KTP Miryam malah mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama dirinya (24/3/2017). Alasannya, ada tiga penyidik KPK yang membuatnya tertekan dalam pembuatan BAP. Satu diantaranya yakni Novel Baswedan yang beberapa waktu lalu disiram air keras oleh orang tak dikenal. Belakangan setelah dikonfrontir oleh hakim, terungkap fakta bahwa tidak ada unsur paksaan dari penyidik KPK dalam pembuatan BAP. Dalam sidang itu pula, penyidik KPK Novel Baswedan menyebut berdasar keterangan Miryam ada sejumlah anggota dewan yang menekan politisi Hanura itu untuk mencabut BAP-nya terkait kasus korupsi e-KTP. Nama-nama yang disebut diantaranya yaitu Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Desmon J Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding.
Dalam konteks itulah, Komisi III bersikeras untuk membuka rekaman pemeriksaan dan BAP Miryam. Tujuannya tidak lain untuk mengetahui benar atau tidaknya nama-nama anggota dewan seperti yang disebut oleh Novel telah menekan Miryam. Maka, sulit dimungkiri jika usulan hak angket yang digulirkan oleh Komisi III DPR semata-mata hanya untuk melindungi sesama koleganya di DPR. Sebab, sudah disadari jika dokumen penyidikan dibuka di luar persidangan, akan ada potensi bagi nama-nama yang disebut bisa menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Kecuali itu, argumen lain yang dikemukakan oleh Komisi III untuk menggulirkan hak angket sejatinya sudah dituntaskan oleh KPK. Semisal terkait laporan keuangan KPK, kenyataannya sudah diproses dan diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Negara Hukum
Perlu digarisbawahi, penggunaan hak angket DPR semestinya tidak boleh menabrak (proses) penegakan hukum. Landasannya sangat jelas, yaitu Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Maknanya, segala sesuatu di negara ini, tak terkecuali proses politik seperti hak angket DPR mesti tunduk dan patuh pada ketentuan hukum yang ada. Dalam konteks ini, KPK sedang menangani perkara kakap korupsi e-KTP yang kuat dugaan melibatkan banyak pihak, termasuk puluhan nama anggota (dan mantan anggota) dewan. Jika diintervensi menggunakan hak angket, maka ada potensi korupsi e-KTP tidak dapat diusut secara tuntas. Selain itu, mau tak mau KPK pun harus membagi fokus, pikiran, dan tenaganya untuk menghadapi angket DPR tersebut.
Oleh karenanya, jika anggota dewan ingin melaksanakan fungsi pengawasannya dalam konteks penegakan hukum yang sedang berjalan (pro justicia), maka mekanisme yang tepat untuk ditempuh semestinya juga melalui jalur hukum. Semisal, dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk membuka dokumen penyidikan. Jamak disadari, sidang MK pun pernah membuka transkrip rekaman Anggodo Widjojo. Hasilnya seperti diketahui bersama, Anggodo terbukti bersekongkol dengan sejumlah penegak hukum untuk “mengkriminalisasi” dua pimpinan KPK, Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Atau jalur lainnya, anggota dewan yang disebut namanya menekan Miryam bisa mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai individu. Misalnya, dengan menggunakan delik pasal pencemaran nama (Pasal 310 KUHP).
Pelanggaran Hukum
Selain itu, jika ditelaah secara mendalam penggunaan hak angket untuk KPK terkait pembukaan rekaman dan BAP Miryam S Haryani justru merupakan wujud pelanggaran terhadap (penegakan) hukum itu sendiri. Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17/2014 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tegas mengamanatkan bahwa penggunaan hak angket dibatasi oleh tiga hal. Yaitu, pelaksanaan UU dan/ kebijakan pemerintah, berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, dan berkaitan adanya dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itu, pengajuan hak angket untuk KPK jelas tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang diamanatkan oleh pasal 79 ayat (3) UU MD3. Sebab, tujuan utama hak angket secara nyata hanya untuk kepentingan sejumlah nama anggota dewan yang diduga telah menekan Miryam untuk mencabut BAP dirinya soal korupsi e-KTP.
Setali tiga uang bila merujuk ketentuan UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), terutama pasal 17. Dalam pasal itu ditegaskan bahwa informasi yang bila dibuka berpotensi menghambat penegakan hukum termasuk informasi yang dikecualikan untuk dibuka di luar persidangan. Pada titik ini, hak angket DPR jelas adalah sebuah proses politik, bukan proses persidangan (baca: hukum). Jadi jika rekaman pemeriksaan dan BAP yang notabene termasuk dokumen penyidikan dibuka di ruang DPR, hal demikian jelas merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan pasal 17 UU KIP.
Karena itu, seyogianya Komisi III DPR tidak meneruskan usulan menggulirkan hak angket untuk KPK. Pun jika sudah terlanjur diajukan untuk dibahas dalam sidang paripurna DPR, hak angket untuk KPK mesti ditolak demi tegaknya hukum di negeri ini. Jika wakil rakyat yang terhorman saja tidak bisa menjadi teladan dalam upaya menegakkan hukum di negeri ini, lantas siapa lagi yang bisa diharapkan?. Maka itu, menjadi harga mati bagi anggota dewan untuk menolak penggunaan angket terhadap komisi antirasuah negeri ini.