Banda Aceh, 8 Mai 2017. Sebanyak 7 perempuan yang saat ini menjalankan misi sebagai agen perdamaian dari beberapa provinsi di Indonesia datang ke Aceh untuk bersilaturahmi dan belajar bersama tentang pengalaman perempuan Aceh bertahan hidup pada masa konflik, bencana tsunami, dan masa damai. Mereka ingin melihat secara langsung kehidupan dan peran perempuan Aceh dalam membangun perdamaian pasca konflik tersebut. Sebagai salah satu rangkaian kegiatan tersebut, ke tujuh perempuan ini yang didampingi oleh Hanifah dan Fanani dari AMAN Indonesia, pada hari Sabtu, 6 Mai 2017, ke 7 perempuan itu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan menulis laporan atau narasi tentang best practice dari kegiatan tersebut. Kegiatan ini dilakukan, karena setiap peserta diwajibkan menulis semua temuan dari best practice tersebut untuk kemudian bisa dibagikan ceritanya ke setiap sekolah perempuan perdamaian, di tempat mereka.
Umi Khulsum, salah satu peserta yang ikut latihan menulis sehari bersama majalah POTRET, saat berkenalan bercerita “ Aku lahir di Jakarta. Aku seorang ibu rumah tangga biasa dengan 3 anak dan satu suami. Beberapa waktu lalu, aku berkenalan dengan Mbak Hanifah dari AMAN Indonesia. Ia mengajakku untuk ikut bergabung mengikuti kegiatan di Sekolah Perempuan Perdamaian di Pondok Bambu Jakarta. Karena aku hanya sebagai ibu rumah tangga murni dan berpendidikan rendah, ajakan mbak Hanifah itu aku sambut dengan perasan takut. Aku merasa sangat tidak percaya diri. Namun, kemudian aku diyakinkan oleh mbak Hanifa dan akhirnya aku ikut bergabung di Sekolah Perempuan Perdamaian tersebut. Di sinilah, aku mulai belajar beroganisasi, belajar berbicara atau berkomunikasi di depan sejumlah perempuan lain. Rasa percaya diriku pun tumbuh dan alhamdulilah, kini aku sudah berani berbicara, sudah berani ikut berdiskusi, ikut seminar dan memberikan pendapat ketika ikut diskusi dan lain-lain. Hari ini, aku sangat senang bisa ikut belajar menulis bersama Pak Tabrani Yunis di kantor Redaksi majalah POTRET di lantai 2 POTRET Galery di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh.
Isiqomah, perempuan paruh baya dari Sekolah Perempuan Perdamaian Wonosobo, Jawa Tengah, juga ikut serta dalam rombongan silaturahmi dan saling belajar tentang kehidupan perempuan Aceh di masa konflik dan damai ini. Selain itu, juga ada dua orang perempuan hebat dari Poso yang hadir bersama. Kedua perempuan hebat itu adalah Roswin Wuri dan Novi Malinda Jampuri. Roswin Wuri, adalah presidium 24 Sekolah Perempuan Perdamaian Indonesia yang sehari-hari menjadi pendeta yang menjembatani komunitas Muslim dan Kristen di Poso. Ia memiliki segudang pengalaman di masa konflik Poso dan ikut membangun dan merawat perdamaian di Poso bahkan juga berdamai dengan alam. Sementara Novi Malinda Jampuri, perempuan yang sudah berusia 50 tahun itu sangat aktif mengelola Sekolah Perempuan Perdamaian Poso Bersatu. Katanya, ia mulai menggeluti kegiatan di Sekolah itu dan mengikuti kegiatan AMAN Indonesia sejak tahun 2009.
Di antara ketujuh perempuan hebat tersebut ikut juga seorang perempuan yang masih sangat muda dan baru menikah sebulan lalu, Lutfiah dari sekolah Perempuan Perdamain di Jember, Jawa Timur. Ke tujuh perempuan ini didampingi oleh Hanifah dan Fanani dari AMAN Indonesia yang berkantor di Jakarta.
Nah, karena sebagian besar di antara mereka belum punya pengalaman menulis hal tersebut, maka sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian belajar tersebut adalah kegiatan “ Menulis Sehari” pada hari Sabtu, 6 Mai 2017 yang diselenggarakan di kantor majalah POTRET, sebagai media perempuan kritis dan cerdas, yang terbit di Banda Aceh itu. Jadi seharian itu, ke 7 perempuan tersebut belajar bersama, menyusun dan membuat tulisan tentang catatan perjalanan seminggu di Aceh.
Agar mereka bisa menyusun cerita atau laporan perjalanan yang berisi best practice dan atau lesson learned, maka mereka membutuhkan sejumlah informasi, catatan pembelajaran yang mereka peroleh selama berada di Aceh. Salah satu catatan yang mereka sudah dapatkan adalah dari kegiatan Silaturahi dan berbagi pengetahuan dan pengalaman situasi perempuan Aceh dalam konflik dan perdamaian yang diselenggarakan di aula kantor Dinas Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Aceh. Kegiatan yang dilakukan pada hari Jumat pagi, dengan menghadirkan pembicara masing-masing kepala DP3A, Ibu Nevi Ariani dan Suraiya Kamarizzaman, aktivis perempuan Aceh yang sudah meraih beberapa pengjargaan itu.
Ternyata informasi yang mereka terima masih sangat sedikit, yak arena kegiatan menulis sehari itu dilaksnakan pada hari kedua dari kunjungan mereka. Kondisi menyulikan mereka membuat catatan tentang best practice tersebut. Namun, untuk membuktikan bahwa mereka mampu menulis dan harus melahirkan tulisan, maka salah satu strategi yang digunakan untuk menuangkan semua yang ada dalam temuan mereka, dimulailah tulisan tersebut dengan menceritakan tentang diri mereka, apa yang mebuat mereka bisa sampai ke Banda Aceh, untuk apa, dan apa saja temuan yang menarik dan tidak menarik, yang menjadi pelajaran penting bagi mereka yang akan mereka replikasi setelah kembali ke daerah masing-masing.
Dengan cara ini, akahirnya tulisan mereka mengalir dan pada sore harinya, catatan perjalanan mereka sudah tersusun dan mereka bisa melanjutkan catatan best practice itu di hari berikutnya selama berada di Banda Aceh. Alhamdulilah, ternyata 7 perempuan pembangun atau agen perdamaian ini bisa membawa pulang dan membagi cerita kepada perempuan-perempuan lain di sekolah perempuan perdamaian di daerah masing-masing.
Pada akahir acara yang ditutup pada pukul 17.00 WIB, ketujuah perempuan ini diajak dan diundang untuk mau menulis di majalah POTRET, majalah Anak Cerdas dan www.potretonline.com. Selain itu, mereka juga diperkenalkan media menulis yang bisa mandiri dilakukan postingan tulisan, tanpa harus melewati editor yang mungkin menilai tulisan kita tidak layak, sehingga tidak dipublukasikan. Oleh sebab itu, karena perempuan memang memerlukan banyak media untuk belajar dan memuat tulisan, maka keberadaan Kompasiana sangat membantu mereka yang mau menulis. Nah, apa yang membahagian hati adalah ketika kita punya pengalaman dan ketrampikan menulis, kita bisa saling berbagi. Berbagi itu indah dan sangat membantu.