Yogyakarta sekitar tahun 1986, hari belum lagi pukul 7 pagi, ketika sekelompok orang terlihat mengerumuni sebuah mobil sedan yang terparkir di tepi sebuah jalan utama. Pemandangan yang terlihat di balik kaca mobil cukup mengagetkan. Tiga anak manusia, satu perempuan dan dua laki-laki sedang melakukan perbuatan mesum di dalam mobil yang masih menyala. Rupanya diketahui kemudian dalam pemeriksaan polisi, ketiga anak muda tersebut dalam pengaruh obat bius dan alkohol stadium berat, sehingga ‘teler’ dan tidak sadar ketika melakukan tindak asusila.
Perbuatan ketiga anak muda itu cukup menggegerkan kota yang disebut sebagai ‘Kota Pelajar’, ‘Kota Budaya’, dan ‘Pusat Peradaban Jawa’ . Hingga harian lokal ramai mengulas peristiwa tersebut. Sebelumnya di sekitar 1982-1983, issu ‘Kumpul Kebo’ di kalangan mahasiswa di Yogyakarta juga merebak di berbagai surat kabar nasional. Terakhir, adanya penelitian tahun 2002 bahwa sekitar 97,05 % persen mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak lagi perawan. [1]
Di Banda Aceh, tahun lalu juga terjadi penggerebekan sebuah salon yang disinyalir sebagai tempat transaksi perzinaan. Banda Aceh sebagai sebuah ibukota provinsi yang bersyariat Islam tidak bisa pula luput dari dunia permesuman yang terjadi secara diam-diam maupun terbuka. Penulis pernah memergoki seorang perempuan yang tiba-tiba berjalan cepat keluar sebuah hotel di Banda Aceh pada pagi hari, sehingga security hotel dan reseption sempat berujar pelan bahwa mereka kecolongan.
Hal-hal yang disebut di atas, adalah contoh dari betapa budaya permissive (serba boleh) dan kebebasan seks adalah bagai dua sisi mata uang yang selalu bergandengan, hingga tidak lagi mengenal batas buday, tata nilai komunitas atau tata aturan yang telah diciptakan. Penggunaan narkoba dan minuman keras adalah ‘manik-manik perhiasan’ bagi dunia gelap tersebut yang bertindak sebagai stimulan.
Kita juga harus menyadari bahwa peristiwa di Yogyakarta dan Banda Aceh adalah sebuah puncak gunung es dari kerusakan mental budaya yang begitu meluas terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Ibukota negara Jakarta dan daerah lain yang tidak punya predikat kota bernilai budaya atau kawasan yang bukan berlabel daerah syariat Islam. Serial buku “Jakarta Undercover” adalah etalase terbuka dari pelbaga tindak kebebasan seks dan budaya pemissive yang terjadi di lingkungan elite dan professional perkotaan Jakarta ataupun kota-kota besar lain seperti Bandung dan Surabaya. Demikian pula dengan perilaku ‘Vicky’ yang diberi gelar ‘penjahat kelamin’ oleh beberapa eks teman dekatnya dari kalangan selebritis.
Kita juga cukup terpukul dengan terkuak lebarnya tindak memalukan dari pengurus sebuah partai politik yang menggunakan label partai agama, tidak hanya dalam kasus korupsi, tapi juga penggunaan perempuan dalam memuluskan transaksi bisnis dan politik menggunakan uang haram dikalangan politisi.
Dunia barat mengenal praktek kebebasan seks dan permissivisme selama tidak mengganggu kepentingan publik. Di barat pula, remaja usia 18 tahun sudah diperbolehkan untuk tinggal mandiri di apartemen atau rumah terpisah dengan orangtuanya dan mempraktekkan pola hidup bersama dengan teman lain jenis.
Dunia barat amat menghargai apa yang mereka sebut sebagai kebebasan individual dan hak asasi manusia, termasuk penentuan atas hak hidup mandiri, pilihan menentukan pasangan hidup sesama jenis atau berlainan jenis kelamin dan pilihan dalam praktek-praktek kebebasan seks itu sendiri. Semua hal tersebut oleh dunia barat dikenal sebagai wilayah ‘freedom of individual right’ yang harus dihormati. Agamapun harus menghormati wilayah itu hingga tidak bisa ikut mencampuri urusan yang menjadi hak individual. Beberapa ketentuan mengikat dari otoritas agama di barat semisal fatwa gereja untuk menentang homoseksual dan aborsi, tenggelam oleh arus besar kebebasan individu.
Etos/tata nilai dunia timur tentu saja amat berbeda dari apa yang berlaku di barat. Namun betapapun ketatnya tata nilai agama dan budaya dalam etos ketimuran, tetap kesulitan untuk mengendalikan watak dasar manusia dalam urusan pelampiasan nafsu hewani tersebut. Globalisasi informasi, keterbukaan jaringan dunia maya, dan bisnis peredaran film-film biru serta narkoba, adalah kembang setaman kapitalisme dan liberalisme yang merupakan tantangan terbesar upaya para rohaniwan agama dari pendangkalan tata nilai yang melanda generasi muda para pelajar, mahasiswa/i, professional dan politisi tua-muda dan kaum teknokrat-birokrat yang dimanjakan teknologi informasi. Sungguh sebuah pisau bermata dua, bagi kemajuan peradaban manusia dan bagi perusakan tata nilai agama-budaya dunia timur.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengerem laju kerusakan moral anak bangsa yang dapat mengancam tata-kehidupan dan mengundang berbagai penyakit sosial serta tindak human trafficking untuk melayani nafsu rendah pebisnis asing dan lokal dikota-kota industri semacam Batam dan Singapura ?
Diperlukan satu pandangan baru atau redefinisi kebebasan yang kebablasan dalam euphoria globalisasi informasi dan teknologi maju saat ini. Peran agamawan, pejabat publik yang concern terhadap perlindungan anak dan kerusakan moral generasi muda, serta peran orang tua sebagai benteng terakhir setelah guru di sekolah harus direvitalisasi untuk menyelamatkan generasi penerus.
Pendidikan seks perlu diberikan untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang berbahayanya seks bebas, dan penyakit akibat hubungan kelamin tak terkendali dan amoral, serta bertentangan dengan nilai-nilai religi. Peran orangtua yang harus mengawasi putra-putrinya secara ekstra ketat di era keterbukaan informasi saat ini menjadikan tumpuan penyelamatan generasi muda sebagai tanggungjawab semua pihak yang peduli terhadap terpeliharanya tata nilai yang mesti dijaga bersama.
[1] Hasil penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan Yogyakarta, 2002.