Oleh Trance Taranokanai
Penulis berdomisili di Jakarta
Dewasa ini kejahatan seksual berkembang dengan pesatnya dan menimpa para remaja. Tak hanya di dunia nyata, dunia maya pun disebut-sebut memegang andil dalam penyebaran virus satu ini. Teknologi yang semakin mudah dan canggih menjadikan khalayak lebih tertarik dengan media ini. Tak ada yang salah dengan kemajuan teknologi. Yang salah adalah si pemakai yang menyalahgunakan keberadaannya. Tak bisa dipungkiri, keberadaan teknologi tak hanya digandrungi, namun juga menjadi media penting dimana pergerakannya begitu cepat. Lihat saja, ketika kita mengklik suatu nama yang dibutuhkan, maka dengan mudahnya ribuan situs akan muncul hanya dalam waktu persekian detik. Berbeda rasanya ketika kita mencari di perpustakaan. Tentunya akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Itulah sebabnya, media online lebih digemari oleh khalayak ramai.
Dari hasil penelusuran google dengan keyword kejahatan terhadap anak lewat online, terdapat sekitar 1.730.000 materi yang membahas topik ini di berbagai websites. Dan berdasarkan salah satu situs di http://sosbud.kompasiana.com per 31 Oktober 2012 dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara pelanggar tertinggi kejahatan seksual online terhadap anak di Facebook sebanyak 6 kasus dengan jumlah upload foto 18,747 gambar.
Selain itu, dalam situs http://www.tempo.co, dikatakan pula bahwa berdasarkan hasil Survei di Indonesia tahun 2008 terhadap 1.625 siswa Sekolah Dasar (SD) kelas 4-6 di wilayah Jabodetabek yang menunjukkan 66% di antaranya telah menyaksikan materi pornografi online. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati itu menunjukkan bahwa materi pornografi diperoleh anak dengan persentase 24% via komik, 18% via games online, 16% melalui situs porno, 14% melalui film dan telepon selular. Berbagai alasan pun dikemukakan mulai dari pengaruh teman, hanya sekedar iseng, hingga takut dianggap tidak gaul. Banyak dari para remaja yang kurang memahami dampak buruk yang ditimbulkan dari materi pornografi tersebut. Sungguh ironis bukan?
Lalu, apa yang negara lakukan pada tindak pidana kasus yang satu ini? Tak ada tindakan signifikan yang sudah diambil oleh aparat penegak hukum dalam memberikan sanksi terhadap para pelaku. Semakin hari tindak kriminal seksual secara online semakin merajalela dengan luasnya. Semua itu terkait karena tak adanya undang-undang yang membatasi usia pengguna media online. Sistem akses yang mudah, murah dan cepat menjadikan momok tersendiri bagi para orangtua akan tumbuh kembang anaknya.
Keberadaan media online diyakini benar manfaatnya, namun disisi lain ia seperti dua sisi mata uang yang saling menyatu dimana ada manfaat namun diikuti oleh kerugian. Sulit rasanya memisahkan dan mencari solusi atas kasus ini. Untuk itu, hal yang paling bijak adalah dengan memberikan edukasi serta penyuluhan kepada para orangtua agar dapat memantau setiap perkembangan dan perilaku si anak. Hal ini juga ditujukan agar orangtua mampu memberikan pemahaman pendidikan seksual yang terbaik dan tepat dalam penyampaiannya pada anak. Karena bagaimanapun juga anak membutuhkan pengenalan pendidikan seksual tersebut ketika anak sudah mulai mengenal anggota tubuhnya.
Tentu saja pendidikan ini harus disesuaikan dengan porsi dan usia anak. Hal ini bermanfaat agar si anak tidak memperoleh edukasi seksual dari tempat dan sumber yang salah. Serta sebagai orangtua sudah seharusnya menghilangkan pola fikir bahwa pendidikan seksual pada anak bukanlah sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Selain itu, penanaman landasan moral, agama dan norma-norma kesopanan harus pula ditumbuhkan oleh para orangtua sejak anak berusia dini. Itu sebabnya, dibutuhkan kedisiplinan dan aturan –aturan yang bermula dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Setidaknya, hal ini diharapkan dapat memberi solusi dan sedikit mengurangi angka kriminalitas seksual online yang terjadi di negara ini.
Sudah selayaknya keluarga memperhatikan buah hati hingga wilayah sosial si anak. Sebuah bentuk perhatian yang tegas, disiplin dan bertanggungjawab namun bukan bersifat pengekangan. Keintiman antara hubungan suami-isteri, orangtua dan anak juga diyakini mampu merubah generasi yang lebih baik. Semua berawal dari rumah. Itu sebabnya, sebaiknya antara ayah dan ibu menyamakan dahulu persepsi dan aturan di rumah untuk anak-anaknya. Kemudian, jalinlah komunikasi yang baik antara anak dan orangtua agar tercipta suasana rumah yang kondusif. Setidaknya, beberapa hal tersebut mampu membentuk karakter untuk generasi yang berakhlak baik sesuai ajaran agama dan norma-norma yang ada. Sehingga, nilai persentase akan tindak kriminalitas seksual melalui online dapat ditekan seminim mungkin.