Oleh: Hj. Dewi Laily Purnamasari, Ir.MM
Pandangan konservatif telah membatasi perjuangan perempuan hanya dalam ruang sempit bernama keluarga. Sesungguhnya, pandangan tauhid, paradiqma kesetaraan manusia dan keadilan, memberikan peluang kepada perempuan untuk melakukan perjuangan dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Perjuangan membangun kebersamaan dan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan dan menghapus segala bentuk kezaliman. Perjuangan keadilan bagi perempuan tentu tidak melulu untuk perempuan, tetapi juga untuk kehidupan yang adil, kedamaian, kesejahteraan bagi semua, perempuan dan laki-laki.
Bercermin pada sejarah 84 tahun lalu. Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta yang diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Kongres ini adalah bentuk ‘pemberontakan kecil’ kalau tak ingin disebut sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap Kongres Pemoeda yang menghasilkan Soempah Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia 1928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Organisasi yang mengikuti Kongres di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.
Menurut Nasaruddin Umar dalam kepemimpinan harus mendahulukan sifat rujuliyyah / maskulin yang dibisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan daripada sifat nasawiyyah / feminine yang juga bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Sepakat dengan pemikiran Muhammad Abduh dan Abdullah Yusuf Ali, bahwa sifat maskulin adalah qawwam . pemimpin, pengayom, pengelola, penguasa atau penanggung jawab bagi sifat feminine.
Jelaslah bahwa kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam wilayah politik baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa, tidak berdasarkan jenis kelamin, melainkan pada kemashlahatan publik. Kepemimpinan menuntut kualifikasi keahlian, keterampilan, dan prestasi dari pemimpin. Sehingga kepemimpinan perempuan sama halnya dengan kepemimpinan laki-laki telah memiliki landasan teologis yang afirmatif dan jelas. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam urusan politik.
Sebagaimana judul tulisan. Di atas, sebenarnya tanggal 22 Desember bukan Hari Ibu : Tapi Hari Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan, karena tak semua perempuan adalah seorang Ibu, bisa saja dia seorang anak-anak, gadis remaja, perempuan lajang, juga janda. Maka kurang tepat dan jauh dari esensi perjuangan perempuan melawan ketidakadilan, bila hari Ibu diperingati dengan lomba memasak, berkebaya, atau sesuatu yang dinisbatkan kepada pekerjaan domestik dan diidentikan kepada tugas perempuan di rumah. Kurang tepat pula bila hari perjuangan itu hanya satu hari saja dalam satu tahun, bukan ?
Seharusnya semangat Kongres Pertama itulah yang terus kita perjuangkan. Faktanya, di era kekinian perempuan dan berbagai permasalahannya seperti kesehatan reproduksi, keselamatan ibu hamil dan melahirkan, HIV/AIDS, poligami, perkawinan di bawah tangan pada kelompok perempuan marjinal, pelacuran, tingkat pendidikan yang rendah, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan dan anak, upah dan hak-hak pekerja perempuan, akses terhadap kebijakan publik, minimnya perempuan di parlemen dan pemimpin perempuan masih harus diangkat dan dibahas untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Jika seorang perempuan mampu menunjukkan prestasi sesuai bidang yang dikuasainya – dijalaninya dengan penuh semangat, maka seharusnya penilaian atas mereka tak lagi berdasarkan jenis kelamin. Pertanyaan kritis dari pernyataan tersebut adalah, ‘bagaimana caranya agar perempuan mampu berprestasi ? jika senyatanya masih sangat banyak duri, halangan, rintangan, tantangan, bahkan ancaman bagi perempuan untuk menggapai prestasi?’
Banyak hal yang perlu diluruskan kembali, teks-teks agama yang ditafsirkan kembali sesuai konteks, peraturan-peraturan negara yang dikaji kembali, konstruksi sosial-budaya-ekonomi-politik yang dibangun kembali untuk menempatkan perempuan sebagaimana Tuhan menyatakan dalam firman-Nya : “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. 9 : 71).
Partispasi aktif perempuan di berbagai bidang kehidupan adalah bentuk perjuangan. Khusus bagi perempuan penulis, tentu ingat dengan pelopor gerakan perempuan seperti Rohana Koedoes (Sumatera barat 1910-an ), Ani Idrus (Sumatera Utara 1947-1950-an), dan Nilakusuma (Bandung, 1950-an). Mereka adalah jurnalis. Pena para perempuan di era kekinianpun terus bergerak mewarnai langit kehidupan dengan warna-warni pelangi harapan. Kelak, di masa yang akan datang tak ada lagi diskriminasi, kekerasan, pelecehan, dan perlakuan tak adil kepada perempuan. Perempuan dapat berdiri tegak sama sejajar bermitra secara harmonis dengan laki-laki, bagi terciptanya kehidupan yang sejahtera bagi kemanusiaan, tanpa saling merendahkan. Sehingga eksistensi perempuan dapat diakui sebagai bagian yang menyatu – tak terpisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan. Allah SWT menggambarkan kehidupan ini sebagai penciptaan yang tidak sia-sia, termasuk penciptaan laki-laki dan perempuan : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.” (QS. 49 : 13).