Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Perhelatan Pemilu Legislatif 9 April 2014 telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah menetapkan hasilnya pada Jumat, 10 Mai 2014 di Gedung KPU, Jakarta Pusat. Dengan ketetapan KPU tersebut, masyarakat Indonesia sebagai pemilih sudah mengetahui posisi suara masing-masing partai politik. PDI Perjuangan yang sebelumnya sebagai oposisi, meraih suara terbanyak dengan jumlah suara mencapai 18,95 %. Ada 10 partai politik yang dinyatakan lolos dan mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republilk Indonesia ( DPR RI). Nama-nama wakil rakyat yang akan ke kursi parlemen pun sudah diumumkan. Mereka yang dinyatakan lolos dan mendapatkan kursi pun sudah dengan penuh gembira, merayakan kemenangan itu sambil menyambut saat-saat pelantikan tiba
Sementara Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia yang dinyatakan tidak memenuhi ambang batas parlemen, tidak mendapatkan jatah kursi di DPR, terpaksa harus menerima kenyataan yang sangat memilukan. Begitu pula dengan ribuan caleg yang gagal meraup suara dan kusri di Parlemen. Mereka, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima semua kenyataan yang membuat jiwa goncang. Apalagi bagi yang sudah berhabis-habisan mengeluarkan biaya dan tenaga dengan berbagai cara, baik halal maupun haram, namun tetap gagal. Banyak yang mungkin meratapi dan merasa sedih menghadapi kenyataan itu, namun juga ada yang menerima dengan lapang dada.
Begitu pula bagi kaum perempuan, perhelatan Pemilu legislative kali ini menyedihkan. Hasil pemilu 2014 ini, ternyata sejumlah perempuan yang sudah berpengalaman di Senayan dan pada musim Pemilu 2014 memilih maju lagi ke DPR RI, tidak lagi mendapatkan kursi, karena berbagai alasan kecurangan dan lainnya. Padahal, mereka secara kualitas dipandang cukup berillian, namun tersungkur dan tidak bisa masuk lagi ke Senayan. Selain hilangnya wajah-wajah perempuan yang katanya punya reputasi dan kualitas bagus, kenyataan juga menunjukan bahwa jumlah keterwakilan perempuan di DPRI Senayan juga berkurang. Seperti yang ditulis dalam Rumah Pemilu.org, 19 Mai 2014 bahwa “ wajah perempuan calon anggota legislatif di DPR periode 2014-2019 akan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan caleg di DPR hasil Pemilu 2009. Dari sebelumnya 18 persen atau 103, kini turun menjadi 17 persen atau 97 perempuan caleg. Ironisnya lagi, laporan ”Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014” yang dilakukan Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol FISIP UI) pun menyebutkan, kebanyakan perempuan caleg berasal dari kerabat elite dan pejabat partai politik.
Artinya penurunan secara kuantitas terjadi, ketika kaum perempuan sedang berusaha meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan ke DPR, sebagaimana quota yang diberikan sebesar 30 persen. Idealnya, pada Pemilu tahun 2014 ini quota 30 keterwakilan perempuan tersebut bisa dicapai, namun sayangnya stagnan pada angka 18 persen. Ironis bukan?
Memang sangat ironis, apabila kita kaitkan dengan agenda perempuan untuk mencapai angka 30 persen di parlemen. Apalagi, Manajer Riset dan Data Puskapol UI dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (12/5) mengatakan bahwa penurunan ini, berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan perempuan di DPR yakni 33,6% pada Pemilu 2009 dan naik menjadi 37% pada pemilu 2014 sejalan dengan adanya Peraturan KPU yang mengatur minimum 30% pencalonan perempuan dalam daftar calon tetap di setiap dapil DPR/DPRD,”
Kondisi ini semakin memperihatinkan di puncak klimaks politik, sejalan dengan pemilihan calon Presiden dan wakil presiden tanggal 9 Juli 2014. Ketika pasangan Capres dan Cawapres sudah diumumkan, dimana PDIP dengan koalisinya telah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kala ( JK). Lalu, kubu Gerindra dan koalisinya menentapkan Prabowo dan Hatta Rajasa (Prahara) sebagai calon Presiden dan wakil Presidennya, posisi perempuan ternyata tidak kelihatan dalam pencalonan tersebut. Posisi kaum perempuan hanya akan menjadi pemasok suara terbanyak atau hanya menjadi penonton saja pada bulan Juli 2014 ini.
Idealnya pula di tengah hiruk pikuknya persiapan dan pencalonan Presiden dan wakil Presiden ini, ada calon-calon tangguh dari kalangan perempuan dicalonkan sebagai calon presiden maupun wakil presiden. Namun posisi politik perempuan terasa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena dalam perspektif kelamin, bahwa semua calon Presiden dan wakil Presiden adalah laki-laki, tanpa kehadiran perempuan di dalamnya. Oleh sebab itu, realitas ini harus menjadi catatan penting bagi pergerakan politik perempuan di tanah air.
Menurunnya jumlah perempuan anggota legislative di DPR RI, serta absennya perempuan pada pemilihan calon Presiden dan wakilnya saat ini, menjadi hal yang memprihatinkan. Tentu banyak basis alasan yang membuat kita prihatin. Antara lain, Pertama, dalam perspekstif jenis kelamin penduduk, jumlah pemilih perempuan sangat besar dan potensial. Kementerian Dalam Negeri (2012) melaporkan, 49,13 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya jumlah yang besar ini, seharusnya menjadi modal besar bagi perempuan untuk mendorong meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Kedua, secara yuridis, pemberlakukan kebijakan afirmatif quota 30 persen keterwakailan perempuan dalam UU No.8/2012, Pasal 55 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, adalah sebuah peluang emas bagi perempuan. Apalagi Pasal 56 ayat 2 semakin menekankan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Ditambah lagi kekuatannya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013 pada Pasal 11b,11d, 24 ayat 1c-d dan ayat 2. Artinya, secara yuridis, peluang yang diberikan kepada perempuan sudah cukup besar dan kuat. Ketiga, derasnya dukungan masyarakat internasional untuk menerapkan gender mainstreaming, di pemerintahan dan juga partai politik, sesungguhnya adalah sebuah kekuatan politik yang sangat besar bagi gerakan politik perempuan di Indonesia. Apalagi dukungan para pihak yang peduli dan bekerja untuk isu pemberdayaan, penguatan dan advokasi hak-hak politik perempuan, baik secara individu, kelompok, lembaga/ institusi selama ini di Indonesia sudah cukup besar. Individu, kelompok dan institusi ini, selama ini sangat gencar melakukan aktivitas yang mendorong partisipasi perempuandalam politik. Bukan hanya mendorong, tetapi membangun kapasitas politik perempuan. Masih banyak lagi potensi yang memberikan peluang perempuan untuk bisa menambah jumlah dan kualitas perempuan di parlemen. Namun, faktanya, dalam Pemilu legislative 2014 dan Pilpres 2014 ini, masih jauh dari harapan. Jangankan melewati angka quota 30 %, mendekati saja masih susah.
Agaknya, penurunan secara kuantitas, mungkin juga secara kualitas keterwakilan perempuan di DPRI, di tingkat provinsi dan kabupaten kota, harus menjadi bahan kajian bagi kaum perempuan, aktivis perempuan, politisi perempuan dan semua stake holders yang sedang giat-giatnya memperjuangkan hak politik perempuan di Indonesia. Sehingga, apa yang selama ini disuarakan pada baliho, spanduk, stiker kaos dan media lainnya yang memuat pesan-pesan seperti, “ Partisipasi Perempuan Dalam Pemilu Harus Ditingkatkan”, women vote women atau ajakan Ayo memilih Caleg Perempuan” harus dikaji ulang.
Tentu saja, tidak ada kata terlambat. Semua akan melewati proses, apalagi proses membangun kesadaran dan kapasitas politik perempuan. Secara faktual bahwa garis start perempuan dalam dunia politik, sebagai ranah public, memang selama ini berbeda dengan laki-laki. Laki-laki, karena keistimewaan yang ditambalkan pada merekam, telah lebih dahuu memulai dan menguasai ranah ini. Oleh sebab itu, wajar saja kalau jalan yang ditempuh oleh perempuan dalam politik praktis, selalu dihadapatkan dengan kondisi jalan yang terjal dan penuh hambatan. Pengalaman juga membuktikan bahwa selama ini memang terasa sulit bagi perempuan untuk menjalankan aktivitas politik, apalagi untuk bersaing mendapat kursi di parlemen, karena berbagai factor penghambat dan ancaman. Kaum laki-laki yang umumnya penguasa panggung politik dan sudah lama terjun ke politik, merasa tidak nyaman, bila perempuan yang secara afirmatif diberikan peluang untuk meraih 30 persen quota keterwakilan perempuan. Wajar saja, kalau dalam proses rekruitmen dan penetapan calon anggota legislative, perempuan menjadi sesuatu yang perlu diganjal dengan berbagai cara atau malah sebalinya dimanfaatkan untuk memenuhi quota partai politik.
Melihat masih sulitnya perempuan berkecimpung secara fair di dunia politik, masih susahnya menerobos jalan menuju parlemen dan puncak kekuasaan politik, maka perlu ada selalu usaha berkesinambungan dan intensif untuk menyiapkan diri, melakukan orientasi dan pendidikan politik. Saatnya untuk melakukan pengkajian mendalam dan holistik untuk mengidentifikasi lagi semua masalah yang dihadapi selama ini, mencari factor penyebab baik secara eksternal, maupun internal. Lalu, kemudian membangun kembali mimpi untuk menuju Pemilu berikutnya, menyiapkan kader-kader politisi perempuan serta melakukan pendidikan politik yang lebih giat terhadap perempuan dan juga laki-laki agar mereka siap memberikan dukungan dan kepercayaan kepada perempuan. Bukan hanya kuantitas, tetapi sekali gus kualitas.
Tentu yang juga harus dilakukan adalah agar aktivis, organisasi-organisasi-organisasi perempuan dan organisasi yang bekerja untuk isu perempuan serta gerakan-gerakan perempuan yang sudah ada harus benar-benar mengimplementasikan kata sinergi dan koordinasi, bukan hanya retorika, untuk menggalang kekuatan. Perempuan sudah memiliki banyak kekuatan. Oleh sebab itu, Women vote women yang selama ini menjadi agenda, juga harus bisa mendorong semua perempuan bahkan laki-laki untuk memberikan suara mereka kepada perempuan pada Pemilu mendatang. Dengan cara ini, Insya Allah perempuan tidak menuju titik nol, tetapi tiba di titik klimaks. Saatnya perempuan memimpin.