ilustrasi/ suara.com |
Oleh: Dzumairi (Kabid Perencanaan Pembangunan Ekonomi dan Ketenagakerjaan pada Bappeda Kab. Aceh Selatan. Tinggal di Tapaktuan)
Pagi itu aku berdiri di dekat sebuah batu besar di kebun pala warisan orang tuaku di Gunung Alur Naga. Nama gunungnya menyeramkan, karena konon dahulu kala di sanalah sepasang naga dan seorang putri anak pungut naga bermukim. Aku melepaskan lelah karena baru saja mendaki hingga ketinggian sekitar 100 meter dari jalan raya. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak menginjakkan kaki di kebun pala ini. Dari ratusan pohon pala yang dulu ditanam oleh Ayahku (Almarhum) hanya tersisa dua pohon, sedangkan yang lainnya mati diserang hama penggerek batang dan penyakit jamur akar putih hingga awal tahun 2000. Serangan hama dan penyakit pala ini merupakan musibah yang memilukan bagi masyarakat Aceh Selatan, karena pala merupakan komoditas unggulan. Saat krisis moneter diakhir tahun 90-an, harga pala naik melejit yang kalau disetarakan dengan harga beras kira-kira lima kali lebih mahal harga pala. Sebagai gambaran, saat ini harga pala “hanya” dua kali lebih mahal dari harga beras, tapi masih sangat prospektif untuk menggerakkan roda perekonomian daerah.
Setelah konflik berakhir, masyarakat mulai kembali menanam pala, akupun tak mau ketinggalan. Tanah kebun pala peninggalan orang tuaku aku tanami kembali dengan bantuan seorang saudara yang bersedia menanam dan merawat pohon pala. Tentu saja aku harus menyiapkan bibit dan ongkos tanam serta biaya perawatan. Aku malu kalau kebun pala itu ku biarkan kosong, malu pada Ayahku, malu pada kampung halamanku. Tak dapat kubayangkan dulu Ayahku menanam pala itu, merawatnya dan memetik hasilnya. Hasil kebun pala itu ikut memberi kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan kami sekeluarga serta membiayai pendidikanku dan kakak-kakakku.
Dari dekat batu itu aku menyapukan pandang ke arah kampungku Batu Itam dan kota Tapaktuan. Kampungku terlihat jelas di sini, namun kota Tapaktuan hanya nampak ujungnya saja, tepatnya ujung Gunung Lampu. Tapak-nya “Tuan” sang pembunuh naga terukir di ujung Gunung Lampu ini. Lambat-lambat aku mengarahkan pandangan ke laut lepas yang begitu tenang namun kadang-kadang menakutkan saat badai datang.
Kampungku merupakan bagian dari Kecamatan Tapaktuan, Ibu Kota Aceh Selatan. Diapit oleh gunung yang merupakan bagian pengunungan Bukit Barisan di sebelah timur dan Samudra Hindia di sebelah barat. Sebagian besar penduduknya adalah pekebun pala, namun ada juga nelayan. Tapi, nelayanpun juga memiliki kebun pala. Tanaman pala merupakan tanaman turun-temurun dan sudah menjadi ikon budaya di Aceh Selatan. Pala ditanam untuk diambil buahnya, dari buah pala ini diambil bijinya untuk kemudian disuling sehingga menghasilkan miyak pala. Daging buah pala dapat digunakan sebagai bahan baku manisan pala, sirup pala bahkan balsam pala.
Aku menyandarkan diri pada batu besar itu, kutatap langit yang cerah, burung layang-layang beterbangan dan sesekali menukik dan bermain-main di atas ombak. Perahu nelayan yang sedang berlayar pulang juga tak luput dari pandanganku. Kualihkan tatapanku ke bawah, ke kaki bukit yang kelihatannya menyatu dengan laut. Di bawah sana ada pantai “Sawang Kabau”, pantai yang sangat indah, ada “batu belah” di sana, konon di pantai inilah tempat “Putri Naga” mandi laut. Dulu aku sering bermain-main di pantai ini, mencari “lolak” sejenis siput laut yang dagingnya sangat kugemari. Kadang-kadang aku juga mencari rumput laut yang oleh Ibuku (Almarhumah) kemudian diolah menjadi agar-agar. Namun rumput laut jenis ini (Gelidium spp) hampir tak tumbuh lagi di pantai Aceh Selatan setelah gempa Nias Maret 2005 bersamaan dengan menurunnya permukaan tanah/karang. Dulu pantai “Sawang Kabau” sepi, hampir tak ada orang berumah di sana. Aku mengira-ngira sekarang ini sudah berapa banyak orang berumah di pantai ini. Oya, ada bangunan memanjang di sana yang kabarnya digunakan sebagai tempat peternakan ayam potong.
Tiba-tiba aku ingat salah seorang pemilik rumah di sana, seorang perempuan yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal dia sedang hamil. Sepengetahuanku, orang tua perempuan itu berasal dari Kab. Aceh Singkil (waktu itu masih bagian dari Kab. Aceh Selatan), negerinya Syekh Abdul Rauf yang lebih dikenal dengan nama Syiah Kuala. Perempuan itu adik dari teman sekolahku di Madrasah Tsanawiyah. Yang aku ingat, dia sangat kuat dan tegar.
Saat itu, sekitar tahun 1998, aku diajak oleh abangku, untuk memanen pala di kebun “Alur Naga” ini. Ketika masih di jalan raya, perempuan itu menyapa abangku, “Bang, nanti palanya jual sama saya setengah ya!,” pintanya, abangku menjawab “boleh”. Aku berpikir, kok dia hanya minta beli setengah, namun aku diam saja. Kira-kira pukul 15 sore, aku lihat perempuan itu sudah berada di kebunku, dia membawa parang, bambu (sukatan volume 2 liter) dan karung. Dia ikut membantu membelah pala untuk diambil bijinya, ini memang kebiasaan pembeli pala pada waktu itu di kampungku, tujuannya agar kita menjual semua pala kepada dia. Kira-kira satu jam dia membantu kami membelah pala, perempuan itu mengeluarkan sukatan bambu, hasil sukatan dimasukkan ke dalam karung. Setelah dua karung penuh diisi dengan pala, dia menggendong satu karung dan membawa turun ke jalan raya, kemudian dia naik lagi ke kebun untuk mengambil satu karung sisanya dan membayar harga pala. Inilah enaknnya panen pala, ketika masih di kebun saja kita sudah bisa terima uang.
Masih ada kira-kira tiga karung pala yang tidak dibeli oleh perempuan itu, lalu kami bawa ke pembeli pala yang lain. Harga pala ketika masih di kebun sedikit lebih murah dibandingkan dengan kalau dijual langsung di kampung. Tapi kata abangku, kalau kita menjual kepada perempuan itu, berarti kita ikut membantu kehidupannya. Kira-kira sepuluh hari kami memanen pala dan selama itu pula perempuan yang dalam keadaan hamil itu membeli dua karung pala dari kami. Ternyata modalnya hanya cukup untuk membeli dua karung pala saja, di samping itu kondisinya yang sedang hamil tidak memungkinkan dia untuk naik-turun gunung berulang-ulang setiap hari.
Aku tercenung mengingat kisah perempuan itu, rasanya aku melihat kembali dia merangkak naik ke kebun pala ini. Begitu tegar dia berjuang untuk mempertahankan hidupnya dan calon bayinya. Bukan dia saja perempuan yang seperti itu, masih banyak perempuan-perempuan lain yang rela bekerja keras mencari rezki yang halal untuk membiayai hidup keluarganya. Tiba-tiba suara “siamang” sejenis monyet membuyarkan lamunanku, pada saat yang sama suara adzan pun berkumandang dari Masjid Raudhatul Mukminan, pertanda waktu dzuhur telah tiba.
Epilog
Pagi ini ku telpon Pak Keuchik (Kepala Desa) menanyakan kehidupan perempuan itu. Dia masih tetap berjuang untuk mempertahankan hidupnya dan anak gadisnya yang sudah beranjak remaja. Walaupun dia sangat tegar, namun dia menyerah pada kondisi ditinggalkan begitu saja oleh suaminya tanpa dicerai, tak mampu dia menuntut hak-haknya dan hak anaknya walaupun sudah difasilitasi oleh Keuchik. Dia juga telah meminta surat pindah dari Keuchik, kembali ke kampung halaman nenek moyangnya di Singkil. Perempuan itu juga menyerah, meninggalkan kampung dan rumah yang dia cintai karena tak tahan dengan bau yang berasal dari peternakan ayam.